Saat Bangun Keraton, Anak Sultan Agung Tarik Pajak Gila-gilaan dan Terapkan Larangan Bepergian
Pada 1648 anak Sultan Agung, Amangkurat I, mulai membangun keraton baru. Pada waktu bersamaan, ia menyaksikan penguasa-penguasa pesisir semakin kaya.
Kehadiran loji Kompeni di Jepara dan datangnya kapal-kapal Kompeni, tak juga memberikan keuntungan kepada Amangkurat I. Maka, pada 1651, anak Sultan Agung itu pun mengadakan sensus penduduk, untuk pengenaan pajak --yang gila-gilaan-- dan terapkan larangan bepergian.
Petugas-petugas pajak dikerahkan untuk mengawasi keluarga-keluarga, dengan beban penarikan pajak satu riyal. Jika gagal mendapatkan pajak satu riyal, mereka diwajibkan menyetor 10 ikat besar padi.
Oohya! Baca juga ya:
Juru Taman Sultan Agung; Jin Penolong Raja-Raja Mataram, Benarkah Orang Italia?
Anak Sultan Agung itu pun mengawasi peguasa pesisir dengan ketat. Kebebasan Kompeni di pesisir menjadi terbatas.
Ia mewajibkan kapal-kapal Barat yang berlabuh harus disertai petugas Kompeni. Maka, kapal-kapal yang tidak bisa membawa petugas Kompeni tentu akan berupaya memberi hadiah besar kepada Amangkurat I.
“Sebagai akibat konsep Sunan itu, dengan sendirinya tiada seorang pun di antara hamba sahayanya itu akan memiliki uang,” tulis utusan Kompeni, Van Goens, mengenai nasib para penguasa pesisir setelah dierlakukan kebijakan baru oleh anak Sultan Agung.
Adanya loji Kompeni mendorong Kompeni memproduksi banyak kici. Kici adalah perahu kecil bertiang dua.
Keberadaan kici sangat diperlukan oleh Kompeni. Tapi, pembuatan kici ini juga tidak memberi keuntungan kepada anak Sultan Agung.
Oohya! Baca juga ya:
Rembang menjadi pusat pembuatan kici. Kayu jati didapat dari penjual kayu di Semarang.
Sejak 1651, semua pendapatan para penjual kayu dari Kompeni harus diserahkan kepada anak Sultan Agung. Yang tidak menyerahkan akan bernasib buruk.
Tukang-tukang kayu yang ikut bekerja dalam pembuatan kici itu juga terkena pungutan pajak. Mereka harus membayar pajak dari upah yang mereka terima dari Kompeni.
Pengangkutan gabah juga dipajaki. Kapal-kapal yang datang di Jepara biasanya memiliki keperluan membeli beras.
Jadi, tak ada yang terbebas dari pungutan pajak dari anak Sultan Agung itu. Baik beras maupun kayu.
Setiap keluarga yang mengangkut gabah wajib menyerahkan 25 ikat atau 10 ikat besar. Gabah itu diolah menjadi beras.
Oohya! Baca juga ya:
Dari padi saja, anak Sultan Agung akan menerima dari 500 ribu wajib pajak. Anak Sultan Agung menerima 12,5 juta ikat gabah.
Sewaktu Sultan Agung mengizinkan pembangunan loji Kompeni, Sultan Agung menyatakan bahwa Mataram tidak memerlukan pajak dari Kompeni. Tapi rupanya, sepeninggal Sultan Agung, hal ini dimanfaatkan oleh para penguasa pesisir untuk memperkaya diri sendiri.
Maka, sejak 1648, anak Sultan Agung menerapkan pengenaan pajak bagi kapal yang akan meninggalkan pesisir utara. Namun dalam beberapa waktu, aturan ini tidka ditaati, sehingga dilakukan pengawasan yang ketat.
Akibatnya, kapal-kapal yang berlabuh di pesisir utara pulang dengan membawa sedikit beras. Sudah susah mendapat pasokan beras, di kapal masih kena bea cukai pula ketika hendak meninggalkan pesisir utara.
Hubungan dagang Kompeni dengan anak Sultan Agung semakin memburuk setelah 1651. Maka, Kompeni perlu berbaik-baik kepada anak SUltan Agung.
Oohya! Baca juga ya:
Bicara Simbol, Beda Jokowi dengan Sunan Kudus dalam Membangun Kota
Tentang larangan bepergian, Van Goens pernah memberi usul kepada anak Sultan Agung. Hingga 1652, Van Goens sudah empat kali datang di Mataram sebagai utusan Kompeni sejak anak Sultan Agung naik tahta.
Pada masa Amangkurat I, Van Goens datang mulai 1648. Lalu datang lagi pada 1649, 1651, dan 1652.
“Justru dengan membiarkan kawulanya berlayar dan menjadi kaya, Raja akan dapat menarik pajak yang lebih besar dari mereka, sehingga pada suatu waktu negerinya pun akan menjadi kaya raya,” kata Van Goens.
Anak Sultan Agung bergeming. Ia tetap menerapkan larangan bepergian bagi orang-orang Jawa, karena ia mempunyai alasan sendiri.
“Rakyat saya, seperti kamu sekalian, tidak memiliki sesuatu apa pun. Tetapi semua milik mereka adalah hak saya, dan tanpa pemerintahan yang keras maka sehari pun saya tidak akan bisa bertahan sebagai raja,” jawab anak Sultan Agung kepada Van Goens.
Karena raja menganggap miliki rakyat adalah milik raja, tak heran jika Amangkurat I dari keraton memerintahkan pemungutan pajak sesukanya.
Ma Roejan
Sumber rujukan:
Disintegrasi Mataram di Bawah Mangkurat I, karya Dr HJ de Graaf (1987)
Oohya! Baca juga ya:
Diponegoro Seharusnya Berbahagia, tapi Ia Nelangsa Amat di Hari Lebaran Kali Ini
Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
oohya.republika@gmail.com