Lincak

Sultan Agung Meninggal, Kenapa Pejabat Penting Ditahan di Keraton?

Foto adegan film Sultan Agung. Sultan Agung mengumpulkan para pejabat penting, meminta dukungan atas penobatan Amangkurat I. Setelah Sultan Agung meninggal, para pejabat itu ditahan di keraton.

Setelah 1642, Tumenggung Wiroguno menjadi salah satu pejabat penting di Keraton Mataram. Sebelum meninggal, Sultan Agung memanggil para pejabat penting Mataram, termasuk Tumenggung Wiroguno.

Sultan Agung meminta mereka mendukung Pangeran Adipati Anom sebagai penggantinya. “Mereka diperintahkan agar menyetujui pengangkatan putra sulungnya. Kemudian mereka ditahan beberapa hari di keraton supaya tidak dapat mengadakan komplotan dan kerusuhan,” tulis Dr HJ de Graaf.

Mengapa para pejabat penting itu diduga akan menyusun kekuatan untuk melawan penobatan Pangeran Adipati Anom sebagai Amangkurat I? Mengapa pula pintu-pintu gerbang keraton dijaga ketat oleh para perwira?

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Oohya! Baca juga ya:

Kakek Sultan Agung Berjalan di Permukaan Laut tak Perlu Nenu yang Dipakai Nenek Moyang Orang Sumba Turun dari Matahari untuk Mencapai Daratan

Pada 1637, Pangeran Adipati Anom berusia 18 tahun dan sudah memiliki istri. Tapi ia menculik istri Tumenggung Wiroguno dan menikahinya secara diam-diam, tanpa sepengetahuan Sultan Agung.

Kasus ini memunculkan intrik di keraton. Ada komplotan yang menginginkan putra mahkota dialihkan kepada Pangeran Alit, adik Pangeran Adipati Anom.

Kakek Sultan Agung, Panembahan Senopati, pernah meminta ayah angkatnya, Sultan Pajang Hadiwijoyo untuk menghentikan kebiasaan merebut istri orang. Ternyata cucunya tak bisa meniru kakeknya.

Sang cucu, pangeran Adipati Anom, suka merebut istri orang. Namun, Sultan Agung menganggap tindakan Pangeran Adipati Anom hanya kenakalan anak remaja.

Sultan Agung memaafkan putra sulungnya itu dan tetap menjadikannya sebagai putra mahkota. Tapi ketika ia akan dinobatkan sebagai raja, Sultan Agung harus melakukan antisipasi.

Oohya! Baca juga ya:

Ternyata Ada Keturunan Raja Majapahit yang Jadi Presiden Indonesia, Juga Keturunan dari Ayah Angkat Kakek Sultan Agung

Jangan sampai ada perlawanan, jangan sampai ada perebutan kekuasaan. Sultan Agung melihat ada potensi terjadi perebutan kekuasaan, sepeninggalnya.

Pada tahun-tahun akhir pemerintahan Sultan Agung ada empat patih. Yaitu Tumenggung Wiroguno, Tumenggung Pasingsingan, Tumenggung Saloran, dan Tumenggung Singoranu.

Empat tumenggung ini menjadi pejabat penting keraton setelah Patih Mataram Kiai Ngabei Dirontoko meninggal pada 1642. Sepeninggal Dirontoko, tidak ada lagi patih utama.

Tumenggung Wiroguno merupakan pejabat yang paling menonjol di antara mereka di keraton Mataram. Tapi ia didampingi oleh tiga tumenggung lainnya.

“Bahwa tokoh kuat ini tidak diberi tugas sebagai tumenggung Mataram, mungkin timbul dari kekhawatiran terhadap ambisinya. Itulah sebabnya ditempatkan tiga pejabat di sampingnya,” kata de Graaf.

Keempat pejabat penting itu termasuk yang dikurung (ditahan) di keraton setelah Sultan Agung meninggal. Sebelum meninggal, Sultan Agung meminta bantuan Wiroguno untuk membuang keris ke laut. Ia tak ingin keris itu merepotkan di kemudian hari.

Oohya! Baca juga ya:

Benarkah Hanya Presiden Jokowi yang Rayakan Lebaran Idul Fitri di Luar Jakarta? Bung Karno....

"Kalau waktuku sudah tiba, janganlah ada dua raja. Kerisku Si Sengkelet buanglah ke laut,” kata Sultan Agung.

Setelah Wiroguno membuang keris, semua kebarat keraton dipanggil. Tak lama setelah menyampaikan pesan kepada Panembahan Puruboyo, Sultan Agung meninggal.

Gunung Merapi bergemuruh. Gerimis turun, ombak berdebur. Di alun-alun prajurit siaga dan menjaga tempat-tempat penyimpanan senjata dan mesiu.

Panembahan Puruboyo kemudian menobatkan Pangeran Adipati Anom sebagai raja baru dengan nama Amangkurat I. ia mendudukkan Amangkurat I ke singgasana gading keemasan.

Para abdi kemudian merangkak ke arah singgasana. Lalu satu per satu mereka mencium kaki raja baru sebagai tanda pemberian hormat dan sumpah setia.

Oohya! Baca juga ya:

Ikut Garebek (Grebeg) Besar di Demak Disebut Setara dengan Naik Haji, Lho Lho Lho Bagaimana Urusannya?

Amangkurat I kemudian menaikkan pangkat para pejabat penting. Termasuk Tumenggung Wiroguno.

“Baru setelah itu pintu-pintu gerbang dibuka kembali dan dimulailah dengan upacara kenegaraan pemakaman ayahnya, yang berlangsung dengan segala kebesaran dan kemegahan,” kata De Graaf.

Utusan Kompeni, Van Goens, membuat catatan mengenai penobatan Amangkurat I. “Mengenai putranya yang muda ini ... diusahakannya dengan sangat hati-hati dan bijaksana, supaya kekuasaan putranya atas kerajaan Jawa bahkan juga mendapat dukungan dari Wiroguno,” kata Van Goens.

Di kemudian hari, kekhawatiran Sultan Agung sebelum meninggal, terbukti. Pangeran Alit melakukan pemberontakan terhadap Amangkurat I.

Tumenggung Pasingsingan --salah satu dari empat pejabat penting yang ditahan di keraton semasa Sultan Agung meninggal-- memanas-manasi Pangeran Alit untuk merebut tahta. Menurut Pasingsingan, Pangeran Alitlah yang sebenarnya berhak naik tahta.

Ma Roejan

Sumber rujukan:
- Babad Tanah Jawi Buku II, penerjemah Amir Rokhyatmo dkk, penyunting Sapardi Djoko Damono dan Sonya Sondakh (2004)
- Disintegrasi Mataram di Bawah Mangkurat I, karya Dr HJ de Graaf (1987)

Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator

Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.

Redaksi
[email protected]

Berita Terkait

Image

Arus Balik Pramoedya tentang Sultan Demak yang Meninggal karena Permalukan Anak Buah

Image

Makan Siang Bergizi, Anak 10 Tahun di Batavia Meninggal karena Kurang Gizi