Pitan

Kakek Sultan Agung Berjalan di Permukaan Laut tak Perlu Nenu yang Dipakai Nenek Moyang Orang Sumba Turun dari Matahari untuk Mencapai Daratan

Sultan Agung pulang dari istana Nyi Roro Kidul berjalan di atas permukaan laut. Nenek moyang orang Sumba datang dari kaki langit melewati nenu. Foto nenu dilihat dari tepi Laguna Weekuri, Sumba Barat.

Senopati dan pamannya, Ki Juru Martani berbagi tugas setelah bintang jatuh menimpa Senopati. Kakek Sultan Agung itu disuruh ke laut selatan, Ki Juru Martani ke Gunung Merapi, untuk mengetahui kehendak Allah mengenai bintang jatuh itu.

Di laut selatan, kehadiran kakek Sultan Agung itu membuat ombak bergulung-gulung, ikan terlempar ke darat. Badai itu membuat Nyi Roro Kidul keluar dari istana, dan mengajaknya masuk ke istananya.

Pulang dari istana Nyi Roro Kidul, Senopati berjalan di atas permukaan laut, tak perlu menunggu datangnya nenu untuk mencapai daratan. Nenek moyang orang Sumba turun dari matahari, dari kaki langit melintasi nenu untuk mencapai daratan.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Oohya! Baca juga ya:

Ternyata Ada Keturunan Raja Majapahit yang Jadi Presiden Indonesia, Juga Keturunan dari Ayah Angkat Kakek Sultan Agung

Nenek moyang orang Sumba datang dari matahari. Saat matahari hendak tenggelam, mereka turun ke kaki langit. Dari kaki langit, menuju ke daratan dengan melintas di atas pantulan cahaya matahari yang membentang seperti jalan di permukaan laut, disebut nenu, sehingga tidak salah arah.

Orang Barat menyebut matahari hendak tenggelam sebagai sunset. Orang Sumba menyebutnya matalodu.

Kilau sinar matahari di permukaan laut itu oleh orang orang Barat disebut sun glitter atau sun reflection, orang Sumba menyebutnya nenu. KBBI belum mencatatnya sebagai kekayaan kosakata bahasa Indonesia.

Pada saat matalodu, jika tidak ada awan, sinar matahari memantul ke permukaan laut, jika dilihat dari daratan membentuk garis lebar seperti jalan di permukaan laut menuju ke matahari di kaki langit. Itulah yang disebut orang Sumba sebagai nenu.

Mereka menulis nenu, tetapi mengejanya sebagai ninu. Entah mengapa, huruf e di Indonesia tengah dan timur sering dieja sebagai i.

Oohya! Baca juga ya:

Sultan Agung Pun Menjatuhkan Hukuman Mati kepada Panglima Penyerbuan Batavia, Ini Alasan Raja Mataram Itu

Yang memunculkan nenu tak hanya matahari, melainkan juga rembulan. Orang Swedia menyebutnya mangata. “Mangata is a Swedish word that means the glimmering, road-like reflection that the moon creates on water,” tulis survivaltechniques.co.uk.

Memandangi nenu memang tidak ada puas-puasnya. Menurut cerita legenda di Sumba, seperti yang diceritakan oleh penenun Sumba, Karyawati Liwar, nenu adalah ‘jalan’ yang dilewati nenek moyang yang turun dari matahari lalu menuju ke daratan.

Bagi orang Sumba penganut agama Marapu, bayi datang dengan perahu dari seberang laut. Persis seperti kedatangan nenek moyang mereka dulu.

Karena itu, mereka memiliki doa menyambut kelahiran bayi. Mapawelingu la kiri awangu, mata lodu, mamai palehu mamai padangganggu. Artinya, yang datang dari kaki langit, matahari, yang datang untuk bertukar dan berdagang.

Bayi, bagi orang Sumba juga diibaratkan datang dari kaki langit. Mencapai daratan lewat nenu di atas permukaan laut.

Begitulah doa itu terucap ketika sirih-pinang sudah disajikan di ruang sudut kiri belakang rumah. Itulah tempat di rumah Sumba untuk perempuan yang hendak melahirkan.

Sang pendoa duduk di tiang persembahan meminta persalinan lancar. Lanjutan dari doa itu: Pakunduhuya na katiku tenamu, patanjiya na kamurimu. Artinya: Luruskanlah haluan perahumu dan luruskanlah arahmu.

Oohya! Baca juga ya:

Benarkah Hanya Presiden Jokowi yang Rayakan Lebaran Idul Fitri di Luar Jakarta? Bung Karno....

Ketika Ki Juru Martani meminta kakek Sultan Agung pergi ke laut selatan, Ki Juru Martani memintanya untuk meluruskan niat. Tak boleh orang yang bercita-cita menjadi penguasa Tanah Jawa, enak-enakan tidur saat bertapa.

Saat, Ki Juru Martani datang di Lipuro, kakek Sultan Agung sedang tidur-tiduran di batu pertapaan. Dari aktivitas pertapaan inilah kakek SUltan AGung bisa berjalan di atas permukaan laut.

Saat tidur-tiduran itulah muncul bintang jatuh berupa cahaya yang menimpa kakek Sultan Agung.

Priyantono Oemar

Sumber rujukan:
- Injil dan Marapu, karya FD Willem (2004)
- Awal Kebangkitan Mataram, karya Dr HJ de Graaf (1987)

Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator

Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.

Redaksi
[email protected]