Lincak

Sultan Agung Pun Menjatuhkan Hukuman Mati kepada Panglima Penyerbuan Batavia, Ini Alasan Raja Mataram Itu

Raja Mataram Sultan Agung juga menjatuhkan hukuman mati kepada panglima penyerbuan Batavia. Apa alasan Sultan Agung?

Raja Mataram menjatuhkan hukuman mati kepada Tumenggung Suro Agul-agul. Panglima penyerbuan Batavia itu telah melakukan kesalahan besar karena salah menjalankan perintah raja.

Dalam penyerbuan Batavia, Suro Agul-agul membawahkan Adipati Pekalongan Mandurorejo dan adik Adipati Pekalongan, Adipati Upo Sonto. Dua saudara kakak-beradik ini memiliki hubungan dekat dengan Raja Mataram Sultan Agung.

Tapi, kedua kakak-beradik itu mendapat putusan hukuman mati dari Suro Agul-agul atas nama raja, karena dianggap telah gagal dalam perang di Batavia. Raja Mataram Sultan Agung sebenarnya memerintahkan Suro Agul-agul menjatuhkan hukuman kepada pasukan Mandurorejo, bukan kepada Mandurorejo.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Oohya! Baca juga ya:

Kisah Guru Kakek Sultan Agung yang Pernah Menjadi Marbot dan Menemukan Emas di Kulah Masjid, Lalu Apa yang Dilakukan Mantan Perampok Itu?

Mandurorejo membawa anak cucu dan penduduknya di wilayah pesisir untuk menyerbu Batavia. Iajuga membawa meriam Mataram. ”Tetapi perasaanku mengatakan meskipun menang perang, aku tidak pulang. Pasti aku tidak pulang,” kata Mandurorejo kepada anak cucu.

Ketika Mandurorejo berangkat ke Batavia, ia berharap Batavia sudah hampir ditaklukkan oleh Tumenggung Baurekso yang datang terlebih dulu. Dengan begitu, Mandurorejo berharap tinggal menyita barang-barang Kompeni setibanya di Batavia.

Tetapi cerita berjalan lain. Tumenggung Baurekso meninggal dan pasukannya kalah dalam peperangan di luar benteng.

Pada 21 Oktober 1628, 2.866 prajurit Kompeni menyerang kemah-kemah pasukan Mataram untuk kedua kalinya. Kemah-kemah itu ada di luar benteng, yang hanya bisa dijangkau oleh Kompeni menggunakan kapal menyusuri Kali Ciliwung.

Mereka menyerang dari arah sungai dan darat, mengerahkan kapal-kapal yang setiap kapal memuat 150 prajurit. Kapal-kapal itu menyusuri Kali Ciliwung untuk mencapai kemah-kemah Mataram.

Oohya! Baca juga ya:

Guru Kakek Sultan Agung Meninggal, Lebih dari 20 Tahun Kemudian Menampakkan Diri di Depan Sultan Agung

Kemah Tumenggung Baurekso diserang pada kesempatan kedua, dalam pertarungan jarak dekat. Sebanyak 200 tentara Mataram gugur, termasuk Tumenggung Baurekso dan putranya.

Kemah-kemah Mataram di Marunda juga diserbu Kompeni. Kompeni hanya kehilangan 60 prajurit, tetapi sebanyak 140 prajurit kehilangan senjata karena direbut oleh orang-orang Mataram.

Mataram mengalami kerugian lebih besar. Dari 200 kapal yang dibawa orang-orang Mataram, setelah serbuan itu tinggal 50 kapal.

Kekalahan ini membuat Mandurorejo memikirkan siasat membendung Kali Ciliwung. Sebanyak 3.000 anak buahnya ia kerahkan untuk membendungnya agar kapal-kapal Kompeni tidak bisa melintasinya lagi.

Pekerjaan membendung Kali Ciliwung membuat anak buah Mandurorejo kehabisan tenaga. Setok pangan juga semakin menipis.

Baru berjalan sebulan, pembendungan Kali Ciliwung dihentikan karena orang-orang Mataram semakin kelaparan. Maka, dengan kekuataan seadanya, Mandurorejo mencoba melakukan serangan.

Oohya! Baca juga ya:

Benarkah Hanya Presiden Jokowi yang Rayakan Lebaran Idul Fitri di Luar Jakarta? Bung Karno....

Itu menjadi satu-satunya serangan yang dilakukan Mandurorejo, yaitu pada 27 November 1628. Ada 400 prajurit yang dikerahkan dalam dua gelombang serangan.

Dalam perang ini, Adipati Mandujrorejo sempat mengalami luka-luka. Banyak anggota pasukannya yang gugur dan banyak pula yang melarikan diri.

Dalam keadaan patah semangat, datang Panembahan Puruboyo yang mendapat tugas dari Raja Mataram Sultan Agung. Dengan kesaktiannya, Panembahan Puruboyo berhasil membuat tembok benteng Batavia retak, sehingga anak buah Manduroejo bisa masuk ke dalam benteng.

Setelah memberi bantuan, Panembahan Puruboyo kembali ke Mataram. Ia melaporkan kondisi Mandurorejo yang cedera.

Mendapat kabar itu, Sultan Agung meminta Mandurorejo menarik pasukannya pulang dan beristirajat di Kaliwungu. Tapi Mandurorejo diberangkatkan ke Kaliwungu sudah dalam keadaan tidak bernyawa.

Oohya! Baca juga ya:

Ikut Garebek (Grebeg) Besar di Demak Disebut Setara dengan Naik Haji, Lho Lho Lho Bagaimana Urusannya?

Panglima penyerbuan Batavia Tumenggung Suro Agul-agul telah membunuhnya lewat putusan hukuman mati bersama anggota pasukan Mandurorejo. Ada yang dipancung, ditusuk keris, dan sebagainya.

“Pada 1 Desember Tumenggung Suro Agul-agul memerintahkan mengikat Mandurorejo dan Upo Sonto berikut anak buahnya dan melalui pengadilan dan atas perintah Raja Mataram dihukum mati karena Batavia tidak ditaklukkannya dan karena mereka tidak bertempur mati-matian,” tulis Dr HJ de Graaf.

Ada 744 prajurit Mataram yang mendapat hukuman mati bersama Mandurorejo dan Upo Sonto. Mayatnya dibiarkan begitu saja ketika sisa-sisa prajurit Mataram pulang.

Mereka meninggalkan Batavia pada 3 Desember 1628. Jenazah Mandurorejo dibawa ke Kaliwungu untuk dimakamkan di Kaliwungu, sesuai perintah awal Raja Mataram Sultan Agung kepada Mandurorejo. 

Tapi hukuman mati yang diterima Mandurorejo tak sesuai dengan keinginan Raja Mataram Sultan Agung.

Ma Roejan

Sumber rujukan:
- Babad Tanah Jawi Buku II, penerjemah Amir Rochyatmo, penyunting Sapardi Djoko Damono dan Sonya Sondakh (2004)
- Puncak Kejayaan Mataram, karya Dr HJ de Graaf (2002, edisi revisi)

Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator

Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.

Redaksi
oohya.republika@gmail.com