Guru Kakek Sultan Agung Meninggal, Lebih dari 20 Tahun Kemudian Menampakkan Diri di Depan Sultan Agung
Sebelum meninggal, guru banyak raja, termasuk kakek Sultan Agung, menyepi di Kadilangu selama 10 hari sejak 1 Muharam. Tapi rupanya, banyak daerah yang mengaku juga kedatangan sang guru yang juga walisanga itu pada 1-10 Muharam itu.
Begitu wali itu meninggal pada 12 Muharam 1513 tahun Jawa (1592 Masehi), banyak daerah melaporkannya kepada Sultan Demak. Masing-masing tokoh dari berbagai daerah itu laporannya sama: sebelum meninggal, guru kakek Sultan Agung itu tinggal di daerah mereka sejak 1 Muharam.
Setelah berkelana ke berbagai daerah, Sang Wali itu hendak beristirahat 10 hari di Kadilangu. Ia telah lama membangun rumah di Kadilangu. Lebih dari 20 tahun kemudian, ia menampakkan diri di depan cucu Panembahan Senopati: Raja Mataram Sultan Agung.
Oohya! Baca juga ya:
Sehari semalam ia beristirahat di masjid setiba nya di Kadilangu. Saat itu datang bisikan kepadanya: hidup di awal-akhir, langgeng tidak berubah, telah benar-benar menyatu dalam ani'an mari'an.
Bisikan itu membuatnya untuk tidak berkelana lagi, tinggal merasakan enak, nikmat, dan manfaat dari kehidupan yang telah ia jalani di jalan Allah. Ia lalu menyerahkan kerisnya kepada putranya.
"Kelak tempatkan di pasarean, dekatkan di kuburan. Setelah saya pergi, kamu secara turun temurun jangan memberaniksn diri untuk memakainya," pesan Sang Wali setelah memberikan keris kepada putranya.
Kepada putranya ia jelaskan bahwa keris itu telah diberi doa oleh Sunan Lawu. Tak lama kemudian, ia pun meninggal dunia.
Dari Kadilangu lalu dikirim utusan untuk melaporkan kematian Sang Wali ke Sultan Demak. Tapi ternyata, juga datang dari berbagai daerah yang memiliki tujuan yang sama: melaporkan kematian Sang Wali.
Oohya! Baca juga ya:
Benarkah Hanya Presiden Jokowi yang Rayakan Lebaran Idul Fitri di Luar Jakarta? Bung Karno....
Dari Selo, Grobogan, Ki Ageng Getas Pandawa –ayah kakek Sultan Agung, melaporkan wali itu menjadi tamu di Selo selama 10 hari. Setelah meninggal, ia dimakamkan di Selo.
Sunan Panggung di Panggung, Sunan Ngudung di Ngudung, Ki Ageng Pandanaran (Sunan Bayat) di Bayat, Sunan Gunungjati di Cirebon, juga mengirim utusan ke Demak. Mereka juga melaporkan bahwa selama 1-10 Muharam, Sang Wali menjadi tamu mereka dan meninggal di daerah mereka.
Syekh Maulana Ibrahim di Pantaran dan Syekh Maulana Maghribi di Merapi juga melaporkan kematian Sang Wali itu. Di luar mereka, masih ada banyak lagi daftar orang yang melaporkan kematian Sang Wali yang bernama Sunan Kalijaga itu.
Sultan Demak bertanya ke setiap utusan mengenai penyebab kematian dan lama tinggal di daerah mereka. Jawaban mereka sama.
Tinggal di daerah mereka sejak 1 Muharam, meinggal karena sakit. Jenazah Sunan Kalijaga dilaporkan telah dimakamkan di makam leluhur gusti mereka.
Kepada Sultan Demak, para utusan bercerita pula kondisi Sunan Kalijaga ketika tiba di daerah mereka. Sunan Kalijaga dalam keadaan lesu, kelelahan.
Oohya! Baca juga ya:
Pakaian yang dikenakan, dilaporkan oleh masing-masing utusan dari berbagai daerah itu juga sama. Yang beda hanya satu, cerita soal keris.
Hanya utusan dari Kadilangu yang bercerita soal keris Sunan Kalijaga. Keris itu oleh Sunan Kalijaga diserahkan kepada puranya.
Mendengar laporan dari berbagai daerah itu, Sultan Demak limbung. Wajahnya pucat, dan hampir terjatuh pingsan.
Sultan Demak kemudian mengurung diri selama tiga hari. Keluarga keraton, para adipati, para abdi, tentu bersedih hati setelah Sultan Demak terus mengurung diri di kamar.
Sultan Demak baru berbicara setelah lewat tiga hari tiga malam. Ia meminta istrinya menyediakan santunan yang sama jumlahnya untuk semua tokoh yang didatangi Sunan Kalijaga sebelum meninggal.
Oohya! Baca juga ya:
Diponegoro Seharusnya Berbahagia, tapi Ia Nelangsa Amat di Hari Lebaran Kali Ini
Jumlah santunan untuk putra Sunan Kalijaga dibedakan jumlahnya. Lima kali lebih besar dari yang diberikan kepada tokoh-tokoh lainnya.
Sultan Demak lantas mengutus para adipati menyampaikan santunan. Para adipati berangkat, Sultan Demak kembali mengurung diri selama 40 hari.
Semasa hidupnya, Sunan kalijaga sempat menemui Panembahan Senopati, kakek Sultan Agung, yang sedang membangun Mataram. Ia memberi nasihat kepada adipati Mataram yang diangkat oleh Sultan Pajang pada 1584 Masehi itu.
Ia memberi nasihat agar Senopati tidak menyombongkan diri. Membangun keraton tanpa pagar dinilai oleh Sunan Kalijaga sebagai sifat tinggi hati, karena itu ia menyarankan agar dibuat pagar.
Saat Sultan Agung, cucu Panembahan Senopati, menjadi raja Mataram, Sunan Kalijaga menampakkan wujudnya menemui Sultan Agung ketika sedang beraktivitas loncat gunung.
Sunan Kalijaga menasihatinya, daripada loncat gunung tak ada guna, lebih baik kemampuannya iu dipakai untuk meloncat ke Makkah, shalat di Masjidil Haram.
Ma Roejan
Sumber rujukan:
- Babad Pagedongan (1941)
- Laku Hidup Kanjeng Dunan Kalijaga, terjemahan dari kitab kuno Serat Kaki Walaka, diterbitkan oleh Trah Kekuarga Besar Sunan Kalijaga (2007)
Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
oohya.republika@gmail.com