Arus Balik Pramoedya tentang Sultan Demak yang Meninggal karena Permalukan Anak Buah
Sultan Demak Trenggono membawa 40 ribu prajurit ke Blambangan, tetapi ia meninggal tidak di medan perang, melainkan dibunuh anak buahnya yang merasa telah ia permalukan. Sastrawan Pramoeda Ananta Toer juga menyinggung kematian Sultan Demak ini di novel Arus Balik.
Ia menuliskannya di bagian penutup novel yang terbit tahun 1995 itu. Tapi ia tidak menyebut Trenggono dibunuh oleh anak 10 tahun di pertemuan membahas rencana penyerbuan benteng Panarukan.
“Trenggono sudah mati! Kubunuh dia dengan kerisku!” teriak Paulus mengumumkan kepada penduduk Blambangan seperti diceritakan di novel Arus Balik. Siapa Paulus, yang berani mengaku-aku telah membunuh Sultan Demak?
Blambangan menjadi ekspedisi terakhir Sultan Demak untuk menaklukkan wilayah-wilayah di Jawa. Ia memulai pada 1526 dengan menaklukkan Banten.
Penyerbuan Blambangan ia lakukan pada 1546, setelah kekuasaan Trenggono di jawa bagian utara sudah semakin kuat. Banyak wilayah yang melepaskan diri dari Majapahit kendati belum diserbu Demak.
Hal itu terjadi karena di Majapahit selalu terjadi perebutan kekuasaan setelah ditinggal Hayam Wuruk. Tuban dan Blambangan menjadi kerajaan yang masih menjadi kekuatan Majapahit.
Di novel Arus Balik, Pramoedya Ananta Toer menyebut ada pemuda di Tuban bernama Wiranggaleng, memiliki pacar bernama Idayu. Wirangggaleng kemudian menjadi Senopati Tuban dan memiliki dua anak: Gelar dan Kumbang.
Di masa tuanya, Wiranggaleng memilih menjadi petani bersama istrinya, Idayu, di wilayah Blambangan. Paulus masuk wilayah Blambangan sebagai mata-mata Demak.
“Paulus –tentu saja waktu itu iai tidak bernama demikian, entah apa—mendapat perintah untuk mengumpukna keterangan,” tulis Pramoedya Ananta Toer di Arus Balik.
Paulus kaget menemukan Wiranggaleng di sebuah huma di “dalam kepungan rimba belantara”. Paulus mengagumi penghuni huma itu, suami-istri yang sudah tua. Ketika ia mendekati huma, lelaki tua tegap mengawasinya curiga.
Mereka sudah berhadap-hadapan, dan tiba-tiba Paulus bersimpuh di kaki laki-laki tua itu dan berujar, ”Senopatiku, Senopatiku.” Laki-laki tua yang ditemui Paulus itu adalah Wiranggaleng, ayah resminya, bukan ayah kandungnya.
“Aku tinggal di luar zamanku. Dalam zaman ini tenagaku terlalu kecil untuk membendung kemerosotan besar,” ujar Wiranggaleng mengenai pilihannya tinggal di tengah hutan. Padahal semasa jadi senopati Tuban, ia memimpin pasukan ke Malaka bersama Adipati Unus.
Pada kesempatan itu, Paulus bersujud pada Wiranggaleng dan juga Idayu. Ia sempat menanyakan keberadaan adiknya, Kumbang, yang oleh Idayu diminta berkelana mencari ilmu agar kelak bisa mengalahkan musuh-musuh ayahnya.
Ketika Wiranggaleng-Idayu tahu Paulus masuk Blambangan sebagai mata-mata Trenggono, mereka merasa sedih. “Dan kau, sekarang kau hanya hamba seorang sultan yang dijijikkan Senopati,”ujar Idayu.