Lincak

Panglima Perang Diponegoro Ini Jadi Sasaran Kristenisasi di Tondano

Panglima Perang Diponegoro dan 63 pengikutnya dibuang ke Tondano, Minahasa. Mereka ternyata juga menjadi sasaran Kristenisasi oleh Penginjil Belanda.

Membangun perkampungan di Tondano, Minahasa, kiai dari Jawa dan pengikutnya ini ternyata menjadi sasaran kristenisasi juga. Panglima Perang Diponegoro itu dibuang ke Minahasa bersama 63 pengikutnya.

Para pengikutnya menikah dengan perempuan-perempuan Minahasa, baik yang sudah beragama Kristen maupun yang masih beragama suku. Setelah menikah, orang-orang Minahasa itu mengikuti agama suaminya yang dari Jawa.

Penginjil Belanda, Riedel dan Schwarz, datang di Minahasa pada 1831 untuk melakukan kristenisasi. Riedel pun berusaha mengajak orang-orang Jawa pengikut panglima Perang Diponegoro itu, yaitu Kiai Mojo, masuk Kristen, itukah yang membuat panglima Perang Diponegoro itu, yaitu Kiai Mojo, berusaha meracuni penginjil Belanda itu?

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Oohya! Baca juga ya:

Ini Batu yang Dulu Jadi Tempat Shalat Imam Bonjol di Manado

Riedel sering menemui Kiai Mojo. Panglima Perang Diponegoro itu sering pula diundang ke rumah Riedel. Penginjil Belanda itu bahkan memberi Kiai Mojo sebuah Bibel.

Rupanya, upaya Riedel mengkristenkan orang-orang Jawa Tondano gagal. Tapi di kemudian hari, muncul perselisihan berpuluh tahun di kalangan generasi penerus para pengikut panglima Perang Diponegoro itu.

“Terjadilah permusuhan keturunan pihak laki-laki yang disebutnya orang Jawa dengan keturunan/kerabat-kerabat perempuan yang disebut orang Kristen.” Demikian diktat Jaton, Identitas Keturunan Pengikut Diponegoro dan Kiai Mojo di Sulawesi Utara.

“Permusuhan itu berlangsung berpuluh tahun. “Permusuhan yang ditanamkan Belanda di kalangan mereka nanti berakhir sesudah pergolakan PRRI/Permesta di MInahasa,” lanjut diktat itu.

Pergolakan PRRI/Permesta 1957-1961 itu menyadarkan generasi tua memberikan kesadaran betapai mereka masih berkerabat. Karena mereka lahir dari keturunan pernikahan campuran Jawa Tondano (Minahasa).

Oohya! Baca juga ya:

Panglima Perang Padri Menikah, Imam Bonjol Beli Tanah untuk Mahar di Manado

Kiai Mojo dibuang ke Minahasa pada 1829 bersama 63 pengikutnya yang kesemuanya laki-laki. Mereka kemudian menikah dengan perempuan Minahasa dan tinggal di desa yang didirikan oleh Kiai Mojo, Desa Tegalrejo.

Pemakaian nama Tegalrejo untuk mengingat kampung Diponegoro di luar keraton, yaitu Tegalrejo. Kampung itu dibakar oleh Belanda yang membuat Pangeran Diponegoro menggelorakan perang, dikenal dengan Perang Diponegoro atau Perang Jawa.

Selain sebagai penasihat perang, Kiai Mojo juga menjadi salah satu panglima perang dyang memimpin 500 prajurit. Tapi Kiai Mojo kemudian berselisih dengan Pangeran Diponegoro.

Kiai Mojo, sang panglima Perang Diponegoro, mengincar posisi pemimpin agama. Karenanya, ia menyarankan agar Diponegoro hanya menjadi pemimpin pemerintahan saja, tak perlu merangkap pemimpin pemerintahan sekaligus pemimpin agama.

Diponegoro tidak setuju dengan usulan itu. Mengetahui perselisihan itu, Belanda kemudian mendekati Kiai Mojo yang setelah dibuang ke Tondano, Minahasa, menjadi sasaran kristenisasi.

Pada 31 Oktober 1828, Belanda mengajak Kiai Mojo berunding. Namun perundingan itu gagal.

Oohya! Baca juga ya:

Ini Sebab Orang Kalang yang Jadi Selir Hampir Dibunuh Raja Majapahit, Anaknya Jadi Adipati Palembang

Belanda terus mengawasi gerak-gerik Kiai Mojo. Suatu waktu, pasukan Belanda mengepung Kiai Mojo, tetapi rupanya pasukan Kiai Mojo sudah siap mati syahid.

Melihat hal itu, Belanda mengurungkan penyerangan, dan mengajak Kiai Mojo berunding lagi di Klaten. Pada kesempatan inilah Belanda menangkap Diponegoro secara licik.

Di Klaten, ketika sedang masuk ke tenpat perundingan, Kiai Mojo disergap Belanda. Belanda kemudian memaksa panglima Perang Diponegoro itu memerintahkan pasukannya menyerah.

Ia kemudian dibuang ke Minahasa pada 1829. Dua tahun kemudian datang penginjil Belanda Riedel dan Schwarz, yang dikemudian hari tercatat sebagai penginjil di Minahasa yang sukses.

Sifatnya yang ramah dan mudah bergaul, membuat banyak orang masuk Kristen karenanya. Orang-orang yang berkunjung ke rumahnya ia suguhi kopi dan kue.

Oohya! Baca juga ya:

Nama Presiden Soeharto Ditulis di Keset, OPM Injak-Injak Setiap Hari, Ini Kata Kontras Soal Penyebutan OPM oleh TNI

Penginjil Belanda dalam melakukan kristenisasi tak hanya menyasar orang Minahasa. Melainkan juga orang Jawa Tondano pengikut Kiai Mojo yang sudah mengislamkan perempuan-perempuan Minahasa yang menjadi istri mereka.

Riedel menguasai bahasa Melayu, dan cepat belajar bahasa daerah yang digunakan di Minahasa. Dalam Kebaktian Minggu yang semula diikuti sedikit orang, ia menggunakan bahasa Melayu.

Setelah menguasai bahasa daerah di Minahasa ia tak hanya menggunakan bahasa Melayu dalam kebaktiannya. Ia juga menggunakan bahasa daerah.

Pada tahun 1839, Riedel sudah perlu mendirikan gereja berisi 800 kursi. Kristenisasi yang ia lakukan sukses. Pada 1850, sebanyak 70 persen penduduk Tondano sudah ia baptis.

Selama bekerja di Tondano, Minahasa, Riedel dan Schwarz biasa mengundang Kiai Mojo setiap hari Sabtu. Riedel memberi hadiah Bibel kepada Kiai Mojo yang selama di Tondano rajin mengajarkan Islam.

Di Tondano panglima Perang Diponegoro itu dikenal dengan sebutan Ki Muslim atau Mbah Guru. Jika Diponegoro menyusun Babad Diponegoro selama menjalani masa pembuangan, Kiai Mojo menulis Alquran.

Oohya! Baca juga ya:

Diperlukan Sultan Agung, Orang Kalang Dapat Ilmu Pertukangan dari Mana?

Cerita tutur di Kampung Jawa Tondano menyebutkan bahwa panglima Perang Diponegoro, Kiai Mojo, pernah berusaha meracuni Riedel. Cerita itu menyebutkan Kiai Mojo dan pengikutnya menjadi sasaran kristenisasi oleh penginil Belanda.

Cerita tutur ini dimasukkan dalam isi diktat Jaton, Identitas Keturunan Pengikut Diponegoro dan Kiai Mojo di Sulawesi Utara. Diktat setebal 35 halaman itu tidak mencantumkan penyusun dan tahun penyusunan.

“Tapi akhirnya diketahui bahwa Kiai Mojo berusaha untuk membunuh Riedel dengan jalan meracunnya. Di sini, ternyata, walaupun Kiai Mojo sudah terasing, sikap menentang Belanda belum padam,” tulis diktat itu.

Priyantono Oemar

Sumber rujukan:
- Jaton, Identitas Keturunan Pengikut Diponegoro dan Kiai Modjo di Sulawesi Utara, tanpa tahun.
- Ragi Carita 1, karya Dr Th van den End (2005)

Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator

Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.

Redaksi
[email protected]

Berita Terkait

Image

Siapa Pakualam, Pangeran Yogyakarta yang Mendapat Hadiah Tanah di Grobogan dari Raffles?

Image

Di Grobogan Ada Tanah yang oleh Raffles Dihadiahkan kepada Pakualam