Lincak

Ini Batu yang Dulu Jadi Tempat Shalat Imam Bonjol di Manado

Batu besar datar yanag dulu dijadikan sebagai tempat shalat oleh Tuanku Imam Bonjol saat dibuang di Manado. Lokasinya sembilan kilometer dari Manado ke arah Tomohon.

Batu ini dulu ada di sungai. Imam Bonjol sering memanfaatkan batu itu selama ia menjalani pembuangan di Lotak.

Batu itu sekarang sudah diangkut ke daratan, di tempatkan di depan mushala yang dibangun di pinggir sungai, dekat lokasi awal batu itu. Dulu batu itu dipakai oleh Imam Bonjol sebagai tempat shalat.

Sungai itu ada di belakang makam Imam Bonjol di Lotak, sembilan kilometer dari Manado ke arah Tomohon. Imam Bonjol membeli tanah di Lotak dari orang Belanda, Agiris, seharga 160 gulden.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Oohya! Baca juga ya:

Panglima Perang Padri Menikah, Imam Bonjol Beli Tanah untuk Mahar di Manado

Sebelumnya, Imam Bonjol membeli tanah seluas satu haktare di Koka. Tanah itu lalu diberikan kepada panglima Perang Padri, Bagindo Tan Labih, untuk dijadikan mahar pernikahan.

Bagindo Tan Labih adalah semenda Imam Bonjol. Saat di MInangkabau, Imam Bonjol telah menikahkan dia dengan keponakan Imam Bonjol.

Di tempat pembuangan, Bagindo Tan Labih menikah lagi dengan perempuan Manado dari Negari Koka. Imam Bonjol lalu membelikan tanah untuk maharnya.

Imam Bonjol dibuang ke Manado beserta anaknya, Sutan Saidi; kemenakannya, Abdul Wahab; dan panglima perangnya yang juda semendanya, Bagindo Tan Labih. Imam Bonjol semula juga ditenpatkan di Koka, tetapi kemudian dipindah ke Lota.

Imam Bonjol juga dimakamkan di Lotak, sementara Bagindo Tan Labih dimakamkan di Koka. Sutan Saidi dan Abdul Wahab dipulangkan ke Minangkabau.

Oohya! Baca juga ya:

Ini Sebab Orang Kalang yang Jadi Selir Hampir Dibunuh Raja Majapahit, Anaknya Jadi Adipati Palembang

Selama tinggal di Lotak inilah Imam Bonjol sering memanfaatkan batu besar di kali sebagai tempat shalatnya. Batunya memang cukup besar, berwarna hitam, bisa dipakai shalat berjamaah dengan satu makmum.

Jarak lokasi batu ini sekitar 60 meter dari makam Imam Bonjol. Di makam ada keterangan mengenai batu ini:

Arah 60 meter ke belakang makam terdapat tempat keramat Tuanku Imam Bonjol, yaitu batu tempat shalat Tuanku Imam Bonjol. Di atas batu itulah Imam Bonjol sembahyang dan memohon kepada Allah SWT dan sekarang yang kita rasakan bersama yaitu kemerdekaan bangsa Indonesia. Sekarang ini dijadikan tempat shalat para pengunjung makam Imam Bonjol.

Menurut Nurdin Popa, marbot mushala, batu besar tempat shalat Imam Bonjol itu semula berada di sungai. Pada 2006 ada banjir besar, batu bergeser.

Karena takut jika ada banjir lagi batu hanyut terbawa arus, maka batu itu ditarik ke pinggir sungai. Kini, para peziarah bisa menggunakan batu itu sebagai tempat shalat.

Jika rombongan peziarah ke makam yang lokasinya berjarak sembilan kilometer dari Manado ke arah Tomohon itu banyak, bisa shalat di mushala. Batu bisa digunakan untuk shalat sunah sendirian.

Oohya! Baca juga ya:

Nama Presiden Soeharto Ditulis di Keset, OPM Injak-Injak Setiap Hari, Ini Kata Kontras Soal Penyebutan OPM oleh TNI

Kompleks makam Imam Bonjol ini dijaga oleh keturunan Apolos Minggu. Ia adalah kopral Belanda yanag mendapat tugas mengawal Imam Bonjol selama di Lotak sejak 1850.

Pada saat saya berkunjung ke sana pada 2013, penjaga makamnya adalah Ainun Minggu. Ia merupakan keempat Apolos Minggu.

Bangunan makam beratap khas rumah Minangkabau. Di dinding sebelah timur ada lukisan besar Imam Bonjol sedang menunggang kuda.

Imam Bonjol memimpin Perang Padri. Kaum Padri di Minangkabau saat itu adalah penganut Wahabi. Sedangkan tempat kelahiran panglima Perang Padri Bagindo Tan Labih di Pariaman merupakan pusat Tarekat Syattariyah.

Selama menjalani hidup di pembuangan, Imam Bonjol mendapat tunjangan dari pemerintah Hindia Belanda. Setelah meninggal, tunjangannya diberikan kepada Sutan Saidi, Abdul Wahab, dan Bagindo Tan Labih.

Sutan Saidi sebagai anak mendapat yang paling besar, yaitu 20 gulden beserta 20 kilogram beras. Sedangkan Bagindo Tan Labih sebagai semenda dan panglima perang, mendapat 8,4 gulden beserta 20 kilogram beras.

Abdul wahab mendapat yang paling paling kecil jumlahnya. Meski ia keponakan Imam Bonjol, yang ia terima 7,6 gulden beserta 20 kilogram beras, kalah dari jumlah yang diberikan kepada Bagindo Tan Labih.

Priyantono Oemar

Sumber rujukan:
Tuanku Imam Bonjol, karya Drs H Sjafnir Aboe Nain Dt Kando Marajo (2008, cetakan ketiga edisi revisi)

Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
[email protected]