Nama Presiden Soeharto Ditulis di Keset, OPM Injak-Injak Setiap Hari, Ini Kata Kontras Soal Penyebutan OPM oleh TNI
Pemerintah telah mengganti penyebutan Organisasi Papua Merdeka (OPM) menjadi Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) atau Kelompok Separatis Teroris (KST) pada 29 April 2021. Tapi secara sepihak TNI menggantinya kembali dengan penyebutan sebagai OPM.
Kapuspen TNI Mayjen Nugraha Gumilar menyatakan, dengan menyebut sesuai nama yang mereka gunakan, TNI bisa menindak mereka secara tegas. “OPM adalah tentara atau kombatan dan berhak menjadi korban atau sasaran berdasarkan hukum humaniter,” kata Nugraha, April 2024.
Jika OPM berhak menjadi sasaran tindakan berdasarkan hukum hymaniter, bisakah OPM bertahan begitu lama? Pada 1980-an, OPM menyiapan keset di pintu masuk markas mereka dan nama Presiden Soeharto ditulis di keset itu, dan anggota OPM selalu injak-injak keset itu setiap hari.
Oohya! Baca juga ya:
Orang Kalang Ini Jadi Ayah Angkat Raden Patah, Bisa Giring Binatang Hutan ke Alun-alun Majapahit
Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto mengumumkan penyebutan kembali OPM pada 5 April 2024. Tetapi, Polri tetap menggunakan penyebutan KKB.
OPM memiliki sayap militer yang disebut Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB). TNI menyebut selama ini mereka telah melakukan pembunuhan dan teror.
Panglima TNI mengganti penyebutan KKB menjadi OPM tertuang dalam Surat Keputusan Panglima TNI Nomor STR/41/2024 tertanggal 5 April tahun 2024. Isi surat tersebut berupa perintah Panglima TNI kepada Panglima Komando Daerah Militer XVII/Cendrawasih dan Panglima Komando Daerah Militer XVIII/Kasuari untuk menggunakan kembali sebutan OPM.
Perubahan nama ini mendapat tanggapan dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Konras). Kontras menyebut, “berpotensi meningkatkan intensitas kontak tembak antara aparat TNI-Polri dan TPNPB dan tak menutup kemungkinan menyasar juga pada warga sipil”.
“Kekhawatiran ini cukup beralasan, sebab pendekatan yang dilakukan akan memusatkan militer menjadi garda terdepan yang bergesekan langsung dengan kelompok bersenjata di Papua.” Demikian pernyataan Kontras yang dirilis pada 21 April 2024.
Oohya! Baca juga ya:
Diperlukan Sultan Agung, Orang Kalang Dapat Ilmu Pertukangan dari Mana?
Konflik bersenjata di Papua juga memakan korban warga sipil. “Kami mencatat dalam medio tiga bulan terakhir saja yakni Januari hingga Maret 2024, setidaknya terdapat delapan warga sipil yang menjadi korban dari kekerasan dan kontak tembak di Papua,” kata Kontras.
Lebih lanjut Kontras menyatakan, perubahan penyebutan nama itu tidak diiringi dengan jaminan perlindungan terhadap warga sipil. “Merujuk pada prinsip hukum humaniter internasional, pada non-international armed conflicts atau konflik bersenjata non-internasional, warga sipil harus betul-betul dijamin haknya untuk terhindar dari aktivitas bersenjata,” kata Kontras.
Kontras memprediksi, setelah penggantian penyebutan nama itu, kontak senjata di Papua bisa menjadi semakin intens. Artinya proses damai akan semakin sulit dilakukan.
Nyatanya, sejak dari masa Orde Baru hingga kini, masalah OPM tak selesai-selesai juga. Meski mereka sangat radikal, pada masa Orde Baru ada saja anggota TPN OPM yang kemudian kembali ke NKRI.
Bagaimana, OPM bisa bertahan begitu lama sejak masa Presiden Soeharto? "Ada dugaan kuat seperti rahasia umum bahwa OPM sengaja dipelihara untuk kepentingan operasi militer, ekonomi, dan politik," ujar Socratez Sofyan Yoman dalam kata pengantar buku Tenggelamnya Rumpun Melanesia.
Saat buku itu diterbitkan pada 2007, Socratez menjadi ketua umum Badan Pelayanan Pusat Persekutuan Gereja-Gereja Baptis Papua. Penulis buku itu adalah Sendius Wonda, pegawai negeri sipil yang pernah ditunjuk menjadi pejabat bupati di Papua, yang juga bercerita soal OPM injak-injak keset bertuliskan nama Presiden Soeharto.
Oohya! Baca juga ya:
Prajurit Pakubuwono I Sudah Ikat Tombak, Kenapa akan Serang Lagi Sunan Amral?
Di buku itu, Sendius Wonda memang bercerita mengenai keset yang ditulisi nama Presiden Soeharto itu. "Setiap orang yang masuk harus menginjak tulisan itu dan berkata Republik Indonesia pengkhianat Papua Barat," kata Sendius Wonda.
Pada tahun 1980-an, ada anggota OPM yang tertangkap saat ABRI (nama lama TNI) melakukan operasi militer. Setelah keluar dari penjara, anggota OPM itu lalu kembali kepada NKRI dan melanjutkan sekolah pendeta.
Tapi setelah menjadi pendeta, ia dianggap oleh Sendius Wonda justru mengolok-olok orang Papua. Ia telah bertindak sesuai pola pikir NKRI.
Ia melakukan pernikahan campuran. Istrinya dari Batak.
Maka, ia sering membanggakan istrinya itu. Ia merasa berhak bangga sebab istrinya tidak hitam dan tidak berambut keriting.
Oohya! Baca juga ya:
Kenapa Yesus Kristus Diperkenalkan Sebagai Isa Almasih di Indonesia?
Di depan jemaatnya, ia mengaku sebagai anak Tuhan yang beruntung. Ia pernah mengalami penderitaan dan kemudian diberi istri yang cantik.
"Saya sebebarnya tidak ganteng, tidak mungkin kawin dengan perempuan yang cantik. Tetapi karena saya telah menjadi anak Tuhan sejati, sehingga Tuhan telah memberikan seorang istri yang paling cantik, yaitu yang menjadi istri saya dari Batak," kata pendeta itu seperti yang diceritakan oleh Sendius Wonda.
Pada masa itu, kasus pernikahan campuran bagi orang Papua masih 1: 1.000. Sendius menganggap pendeta itu keliru jika menganggap telah naik jelas setelah menikah dengan orang non-Papua.
Sendius Wonda menganggap dia telah menjadi orang Papua yang kehilangan jati diri. Betapa tidak, merasa menjadi jauh lebih baik setelah menikah dengan orang non-Papua mencerminkan hilangnya jati diri sebagai orang Papua.
Menurut Sendius Wonda, mantan anggota OPM itu telah menghina orang Papua. Sebelumnya, pendeta itu begitu bangga menjadi orang Papua, menjadi anggota OPM untuk memperjuangkan kemerdekaan bangsa Papua, bahkan selalu injak-injak keset bertulis nama Presiden Soeharto.
Ma Roejan
Sumber rujukan:
Tenggelamnya Rumpun Melanesia, Pertarungan Politik NKRI di Papua Barat, karya Sendius Wonda SH MSi (2007)
Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
[email protected]