Pitan

Panglima Perang Padri Menikah, Imam Bonjol Beli Tanah untuk Mahar di Manado

Makam Imam Bonjol di Lotak, sembilan kilometer dari Manado. Panglima Perang Padri menikah lagi, Imam Bonjol membelikan tanah di Koka sebagai mahar pernikahannya.

Tuanku Imam Bonjol dibuang ke Manado oleh Belanda pada 1838. Ikut bersamanya ada anak, yaitu Sutan Saidi; keponakan, yaitu Abdul Wahab; dan semenda, yaitu Bagindo Tan Labih.

Selama Perang Padri berlangsung, Bagindo Tan Labih menjadi panglima perang. Ia oleh Imam Bonjol dinikahkan dengan keponakan Imam Bonjol.

Ketika di Manado, Bagindo Tan Labih menikah lagi dengan perempuan Koka bernama Watok Pantow. Imam Bonjol membeli tanah di Koka seluas satu hektare, lalu ia berikan kepada Bagindo Tan Labih sebagai mahar pernikahannya.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Oohya! Baca juga ya:

Ini Sebab Orang Kalang yang Jadi Selir Hampir Dibunuh Raja Majapahit, Anaknya Jadi Adipati Palembang

Nama Bagindo Tan Labih sering pula ditulis sebagai Bagindo Talabiah atau Bagindo Tolebo. “Kalau lidah Pariaman pengucapannya Bagindo Talabiah, kalau lidah Manado pengucapannya Baginda Tolebo,” ujar Harris Harlianto, keturunan ke-7 Bagindo Tan Labih, Jumat (17/5/2024).

Bagindo Tan Labih memang berasal dari Pariaman. Tepatnya dari Nagari Kuraitaji di pesisir Pariaman.

Sebelum dibuang ke Ambon pada akhir 1838, Belanda membuang mereka ke Cianjur, Jawa Barat. Ia dibuang k Cianjur pada Januari 1838.

“Ia diperlakukan sebagai tawanan perang, ditandu dari Bukittinggi sampai ke Padang secara beranting, dan langsung menaiki kapal yang menanti di Pulau Pisang,” kata Sjafnir Aboe Nain Dt Kando Marajo.

Dari Ambon mereka dipindah ke Manado. “Mula-mula ke Koka, terakhir ke Lotak, Distrik Kakaskasen, Karesidenan Manado,” kata Sjafnir Aboe Nain.

Oohya! Baca juga ya:

Nama Presiden Soeharto Ditulis di Keset, OPM Injak-Injak Setiap Hari, Ini Kata Kontras Soal Penyebutan OPM oleh TNI

Keturunan Bagindo Tan Labih di Koka memakai nama belakang Baginda. Pada 1988, 60 persen penduduk Koka merupakan keturunan Bagindo Tan Labih dan Watok Pantow. Mereka beragama Kristen.

Ada keturunan yang pindah ke Pineleng, Malalayang, dan Kampung Banjar. Yang pindah ke sini tetap beragama Islam.

Imam Bonjol juga membeli tanah di Lotak. Orang Belanda bernama Agisir menjual tanahnya ke Imam Bonjol seharga 160 gulden. Oleh Residen Manado, Imam Bonjol dipindahkan dari Koka ke Lotak.

Kopral Belanda ditugasi mengawal Imam Bonjol di Lotak sejak 1850. Nama kopral itu Apolos Minggu.

Imam Bonjol diangkat oleh Mayor Paul Fredrik Parengkuan sebagai panglima perang di Lotak. Atas bantuan pemimpin Perang Padri itu, Apolos Minggu menikah dengan anak perempuan Paul Fredrik Parengkuan.

Pada 2013 saya berkunjung ke makam Imam Bonjol. Keturunan Apolos Minggu, yaitu Ainun Minggu, menjadi penjaga makam Imam Bonjol saat itu.

Oohya! Baca juga ya:

Diperlukan Sultan Agung, Orang Kalang Dapat Ilmu Pertukangan dari Mana?

“Cerita rakyat setempat menyatakan, Tuanku Imam hilang dibawa musuh ke utara pada saat hari perkawinan Apolos Minggu dengan Wilhelmina Parengkuan,” kata Sjafnir Aboe Nain.

Jenazah Imam Bonjol ditemukan dalam kondisi kepala terpisah dari badannya. Residen Manado dalam laporannya kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada 13 November 1854 menyatakan bahwa Imam Bonjol meninggal pada 6 November 1854.

Tunjangan Imam Bonjol kemudian dialihkan kepada tiga orang. Sutan Saidi memperoleh 20 gulden dan 20 kilogram beras.

Abdul Wahab memperoleh 7,6 gulden dan 20 kilogram beras. Bagindo Tan Labih mendapatkan 8,4 gulden dan 20 kilogram beras.

“Tuanku Imam dikuburkan di tanah yang dibelinya dari Tuan Agisir,” kata Sjafnir Aboe Nain. Pada 1855, Belanda memulangkan Sutan Saidi dan Abdul Wahab ke Minangkabau. Bagindo Tan Labih tetap tinggal di Koka dan meninggal pada 1888.

Priyantono Oemar

Sumber rujukan:
- Bianglala Kehidupan Bagindo Tan Labih, karya Sjafnir Aboe Nain Dt Kando Marajo (2016)
- Tuanku Imam Bonjol, karya Drs H Sjafnir Aboe Nain Dt Kando Marajo (2008, cetakan ketiga edisi revisi)

Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator

Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.

Redaksi
[email protected]