Lincak

Ketika Diponegoro Memberi Wewenang kepada Militer untuk Memungut Pajak, Mengapa Ada Hukuman Cambuk?

Pertempuran tentara Belanda dengan pengikut Diponegoro di Selarong. perang adalah urusan militer. Tapi, ketika Diponegoro memberi wewenang kepada militer untuk memungut pajak, apa yang terjadi?

Diponegoro memisahkan urusan pemerintahan dan militer. Untuk urusan pemerintahan, ia mengangkat patih, untuk urusan militer ia mengangkat panglima perang.

Tetapi ketika prajurit diberi wewenang memungut pajak, apa yang terjadi? Mengapa Diponegoro mengeluarkan hukuman cambuk?

Urusan pemerintahan mencakup, di antaranya, soal pemungutan pajak: pajak tanah dan cukai pasar. Urusan militer saat ya urusan perang, karena militer tidak perlu memikirkan pendapatan.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Oohya! Baca juga ya:

Diponegoro Memberi Izin Sentot Panglima Perang Memungut Pajak, tetapi Mengapa Ia Menyesal Kemudian?

Perbekalam selama perang akan dipenuhi oleh patih. Pasokan perbekalan pasukan selama perang itu didapat dari setoran pajak yang dikumpulkan oleh patih.

“Meskipun sebagian besar hasil pajak berupa uang dan barang yang dipungut dari penduduk desa diserahkan kepada para panglima tentara Diponegoro, usaha yang sungguh-sungguh tampaknya dilakukan agar tugas militer dan pemerintahan tetap terpisah,”tulis Peter Carey.

Namun, ketika patih gagal menarik pajak sehingga pasukan di medan perang tidak mendapat pasokan perbekalan yang cukup, Diponegoro terbujuk memberi wewenang panglima perang memungut pajak. Adalah Sentot Prawirodirjo yang meminta izin dibolehkan memungut pajak dan dikabulkan Diponegoro.

Sentot adalah panglima perang untuk wilayah selatan Yogyakarta. Tanggung jawab wilayah utara Yogyakarta diserahkan kepada panglima perang Sumonegoro dan wilayah antara Kali Progod an Kali Bogowonto diserahkan kepada panglima perang Ngabdulkamid.

Diponegoro mengangkat Abdullah Danurejo menjadi patih. Ia membawahkan para bupati, yang ketika diperlukan, para bupati ini juga maju ke medan perang.

Oohya! Baca juga ya:

Kata Diponegoro, Anak Raja Majapahit yang Dibuang ke Grobogan Sungkem kepada Bidadari Sang Ibu Mertua untuk Dapat Restu

Tapi tugas utama para bupati adalah mengurus pemerintahan. Pangeran-pangeran dari keraton yang mendukung Diponegoro, selama perang diberi jabatan sesuai dengan jabatan sebelumnya yang dipegang oleh keluarganya di keraton.

Itulah sebabnya, Abdullah Danurejo diangkat sebagai patih. Keluarga Danurejo sudah menjadi patih Yogyakarta secara turun-temurun. Saat Diponegoro memulai perang pada 1825, patih Yogyakarta dijabat oleh Danurejo IV.

Untuk panglima perang, penunjukannya tidak berdasarkan asal-usul kebangsawanan mereka di keraton. Diponegoro membuat pertimbangan lain, yaitu mkenunjuk orang yang memiliki keberanian dan keperkasaan dalam pertempuran.

Meski dari kalangan biasa, jika dia memiliki keberanian dan keperkasaan dalam pertempuran, ia bisa menjadi panglima. Itu sebabnya, mereka yang ingin bergabung di dalam pasukan Diponegoro selalu diuji keberanian mereka.

Salah satunya adalah melompati jurang yang dalam. Jika lulus dan layak menjadi komandan, ia akan diberi pangkat tumenggung.

“Sesudah itu pangkat basah (pasha) yang berarti panglima yang mandiri, dengan panglimanya yang paling senior: Sentot, sebagai ali basah, sang ‘pasha tinggi’,” tulis Peter Carey.

Oohya! Baca juga ya:

100 Tahun Wafatnya Diponegoro, tidak Omon-Omon Saja seperti Kata Prabowo Subianto

Pada 1828 Patih Abdullah Danurejo mengalami kesulitan memungut pajak karena terhalang oleh benteng-benteng yanag dibangun Belanda untuk mencegah gerakan pasukan Diponegoro. Akibatnya, Kiai Mojo bersama 500 prajuritnya yang sedang bertempur mengalami kekurangan pasokan perbekalan.

Kiai Mojo pun ditawan Belanda bersama 500 prajuritnya pada November 1828. Melihat hal ini, Sentot Prawirodirjo tak ingin prajuritnya di selatan Yogyakarta juga mengalami nasb serupa.

Maka, Sentot lalu berkirim surat kepada Diponegoro pada Desember 1828, meminta izin diperbolehkan memungut pajak langsung. Tentu hal ini membuat Diponegoro menjadi gusar, karena akan mencampurkan urusan pemerintahan dengan urusan militer di satu tangan.

Ia sebenarnya ingin menolak permintaan ini, tetapi Pangeran Ngabehi memberi nasihat dengan menunjuk kasus kegagalan Patih Abdullah Danurejo gagal memungut pajak. Sang Patih sempat menjadi sasaran kemarahan para panglima karena tidak mampu memungut pajak.

Maka, permintaan Sentot akan mengatasi hambatan gerak pemungut pajak anak buah patih. Jika Sentot yang memungut pajak, pemungut pajak sudah berada di wilayah yang tidak terhalang oleh benteng Belanda.

Oohya! Baca juga ya:

Mengapa Banyak Mahasiswa Berminat Mengikuti E-Learning BSN untuk Materi Pengantar Standardisasi?

Diponegoro memiliki pemikiran lain. Jika pangliam perang juga mengurusi pemungutan pajak, ia mengkhawatirkan urusan perang akan terbengkalai.

Kekhawatiran itu bernar terjadi setelah Diponegoro mematuhi saran Pangeran Ngabehi untuk memberi izin Sentot memungut pajak. Tak lama setelah Sentot diberi wewenang memungut pajak, Belanda membangun benteng di Nanggulan di perbatasan Kulon Progo - Bagelen.

Benteng Nanggulan ini termasuk salah satu dari tiga benteng Belanda yang besar. Bisa menampung lebih dari 200 prajurit dengan beberapa meriam.

Saat benteng itu dibangun, Sentot sibuk memungut pajak. “Sentot tidak cukup cepat bereaksi karena ia sibuk menerima laporan-laporan resmi dan uang, serta sibuk dengan penataan tentara,” tulis Peter Carey mengutip Babad Diponegoro.

Memang Sentot kemudian mengirimkan pasukan berkekuatan penuh untuk menyerbu benteng pada Januari 1829, tetapi sudah terlambat. “Tentaranya dikalahkan dengan jumlah korban tewas yang besar,” kata Peter Carey.

Oohya! Baca juga ya:

BSN Bicara Soal UMKM dan Carbon Capture Storage yang Disinggung Gibran di Debat Cawapres

Prujurit Sentot yang diberi tugas memungut pajak pun ada yang berbuat kasar kepada penduduk dan memungut pajak lebih besar dari ketentuan. Diponegoro harus memberikan hukuman camabut kepada praajurit nakal ini.

Priyantono Oemar

Sumber rujukan:
Kuasa Ramalan karya Peter Carey (2012)

Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator

Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.

Redaksi
[email protected]

Berita Terkait

Image

Siapa Pakualam, Pangeran Yogyakarta yang Mendapat Hadiah Tanah di Grobogan dari Raffles?

Image

Di Grobogan Ada Tanah yang oleh Raffles Dihadiahkan kepada Pakualam