Lincak

Diponegoro Memberi Izin Sentot Panglima Perang Memungut Pajak, tetapi Mengapa Ia Menyesal Kemudian?

Sentot Prawirodirjo yang panglima perang meminta izin untuk memungut pajak, Diponegoro mengabulkannya. Tetapi menyesal kemudian, karena orang yang pedang pedang tidak bisa pegang uang.

Sebagai ratul adil, Diponegoro memungut pajak yang ringan. Ketika Sentot Prawirodirjo meminta izin diperkenankan menarik pajak, Diponegoro dengan berat hati mengabulkannya, tetapi menyesal kemudian.

Pada awalnya, Diponegoro enggan memenuhi permintaan Sentot, sang panglima perang yang masih muda itu. Dipoengoro khawatir, rakyat makin tertindas dan tidak lagi mendukung perjuangan.

Itulah sebabnya, Diponegoro mengumpulkan para penasihat utamanya untuk dimintai pendapat. Bagi Diponegoro, seseorang yang memegang pedang lalu juga memegang uang, akan membuat pedangnya menjadi tak terurus.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Oohya! Baca juga ya:

Diponegoro Menunjuk Sentot Jadi Panglima Perang Bukan karena Adik Ipar, tetapi Mengapa Sentot Kemudian Mengambil Keuntungan Pribadi?

Apalagi, Sentot dikenal bergaya hidup mewah dan boros. Sentot, adik ipar Diponegoro, sejak awal perang sudah bergabung dengan Diponegoro.

Usia Sentot saat itu baru 17 tahun. Pada1828, ketika usianya 20 tahun, ia diangkat menjadi ali basah, panglima senior perang (senopati).

Diponegoro tak ingin ada panglima perang yang ikut mengurus pemerintahan. Panglima perang ya mengurus perang, bukan mengurus pajak.

Biarlah pajak menjadi urusan Raden Adipati Abdullah Danurejo, yang ditunjuk oleh Diponegoro sebagai patih. Namun, Pangeran Ngabehi memberi nasihat, pemungutan pajak oleh panglima perang bisa mengatasi masalah seretnya pasokan keperluan prajurit.

Sentot memang mengajukan hal itu karena ada kasus prajurit mengalami kondisi sulit. Itu terjadi ketika Abdullah Danurejo mengalami kesulitan mengirim biaya ke resimen-resimen elite Diponegoro.

Oohya! Baca juga ya:

100 Tahun Wafatnya Diponegoro, tidak Omon-Omon Saja seperti Kata Prabowo Subianto

Akibat kesulitan pasokan perbekalan, Kiai Mojo dan 500 prajuritnya ditawan Belanda pada November 1828. Benteng-benteng yang dibangun Belanda untuk mempersulit gerak pasukan Diponegoro juga telah mempersulit Abdullah Danurejo bergerak memungut pajak.

Maka, mendengar saran Pangeran Ngabehi, Diponegoro mengabulkan permintaan Sentot. Tentu saja keputusan itu dibuat dengan berat hati. Diponegoro masih mengkhawatirkan urusan militer yang kemungkinan akan terbengkalai.

“Ia sekarang memerintahkan agar uang sebanyak 3.000 giden sebulan yang berasal dari cukai pasar di Kulon Progo dan Bagelen timur dibagi untuk Sentot dan dirinya,” tulis Peter Carey. Sentot mendapat 2/3, sedangkan Diponegoro mendapat 1/3.

Kekhawatiran Diponegoro terbukti di kemudian hari. Hal itu membuat Diponegoro menyesali keputusannya ketika Sentot tak cepat tanggap dan akhirnya kalah perang saat terlambat menyerbu benteng Belanda.

Tak lama setelah Sentot diberi wewenang memungut pajak, Belanda membangun benteng di Nanggulan di perbatasan Kulon Progo - Bagelen. Benteng ni termasuk salah satu dari tiga benteng Belanda yang besar.

Benteng Nanggulan bisa menampung lebih dari 200 prajurit dengan beberapa meriam. Saat benteng ini dibangun, Sentot sibuk memungut pajak.

“Sentot tidak cukup cepat bereaksi karena ia sibuk menerima laporan-laporan resmi dan uang, serta sibuk dengan penataan tentara,” tulis Peter Carey mengutip Babad Diponegoro.

Oohya! Baca juga ya:

Mengapa Banyak Mahasiswa Berminat Mengikuti E-Learning BSN untuk Materi Pengantar Standardisasi?

Memang Sentot kemudian mengirimkan pasukan berkekuatan penuh untuk menyerbu benteng pada Januari 1829, tetapi sudah terlambat. “Tentaranya dikalahkan dengan jumlah korban tewas yang besar,” kata Peter Carey.

Sentot terus memungut pajak. Bahkan ada petugas pajaknya yang berbuat kasar kepada rakyat. Hal yang tentu saja tidak disukai oleh Diponegoro.

Maka, pada Juni 1829, ada petugas pajak Sentot yang dihukum cambuk oleh Diponegoro di depan umum. Petuasg pajak Sentot itu telah memungut pajak lebih besar dari yang telah ditentukan.

Priyantono Oemar

Sumber rujukan:
Kuasa Ramalan karya Peter Carey (2012)

Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator

Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.

Redaksi
oohya.republika@gmail.com

Berita Terkait

Image

Satu Pesantren di Grobogan Jadi Kristen, Cucu Sang Kiai Kelak Jadi Pendeta

Image

Siapa Pakualam, Pangeran Yogyakarta yang Mendapat Hadiah Tanah di Grobogan dari Raffles?

Image

Di Grobogan Ada Tanah yang oleh Raffles Dihadiahkan kepada Pakualam