Diponegoro Menunjuk Sentot Jadi Panglima Perang Bukan karena Adik Ipar, tetapi Mengapa Sentot Kemudian Mengambil Keuntungan Pribadi?
Namanya Abdul Mustopo Prawirodirjo. Ia biasa menggunakan nama Sentot sebagai samaran selama perang yang kemudian diangkat sebagai panglima perang oleh Diponegoro.
Ia bergabung dalam pasukan Diponegoro melawan Belanda ketika masih berusia 17 tahun. Menurut Peter Carey, ia kemudian diangkat sebagai ali basah (panglima senior perang yang mulia) bukan karena nepotisme.
Namun, Diponegoro tidak tahu jika di kemudian hari Sentot bakal memilih jalan untuk mengambil keuntungan pribadi. Sentot merupakan adik ipar Diponegoro, putra dari mertua Diponegoro, Raden Ronggo, dari istri selir. Raden Ronggo merupakan menantu Hamengkubuwono II.
Oohya! Baca juga ya: Harta Diponegoro Tertinggal di Rumah yang Dibakar Belanda di Tegalrejo, Lalu dari Mana Ia Mendapatkan Biaya Perang?
Penyebutan gelar ali basah meniru nama dari Kesultanan Turki, Al Basha al Ali (Pasha yang Mulia). Ini untuk menyebut Muhammad Ali Pasha, gubernur Mesir yang terkemuka di Kesultanan Turki.
Selama menjalankan perang, Diponegoro juga memiliki susunan pemerintahan sebagaimana halanya di keraton. Peretmuan-pertemuan juga dilakukan seperti di keraton, anak buah Diponegoro duduk di bawah.
Diponegoro memisah tugas militer dengan tugas pemerintahan. Seseorang ditunjuk Diponegoro untuk mengisi jabatan pemerintahan menggunakan pertimbangan asal usul kebangsawanannya sewaktu masih di keraton.
Namun untuk menunjuk panglima perang, Diponegoro tidak menggunakan pertimbangan itu. Pertimbangannya, kata Peter Carey, berdasarkan“keberanian pribadi dan keperkasaan dalam pertempuran”.
Itu sebabnya, banyak panglima yang masih berusia belasan tahun atau awal dua puluhan tahun. Karenanya, Diponegoro merasa heran dengan panglima perang Belanda, seperti De Kock, Van Geen, dan Holsman.
Pada saat Perang Diponegoro dimulai, usia De Kock sudah 46 tahun. Sedangkan usia Van Geen 49 tahun dan usia Holsman 54 tahun.
“Satu-satunya jenderal yang terbilang muda, yang oleh Belanda diangkat sebagai panglima tertinggi pada akhir Perang Jawa ialah Mayor jenderal Benjamin Bischoff (22-9-1787 – 7-7 1829), yang berjasa selama tahaptahap awal eskpedisi Bone (Sulawesi Selatan) pada 1824,” tulis Peter Carey.
Oohya! Baca juga ya: Ada Arahan dari Pak Lurah, Eh, Mas Lurah, dalam Perang Diponegoro
Bischoff kemudian diangkat menjadi gubernur dan panglima tentara di Makassar. Ia tiba di Jwa pada 13 Mei 1829 untuk menjadi penglima perang untuk melawan Diponegoro, dalam usia 42 tahun.
“[Diponegoro] bertanya kepada saya mengapa para jenderal dan panglima tentara kami sudah tua, karena, katanya, sudah merupakan kebenaran bahwa keberanian kurang terdapat di kalangan orang berusia tua darupada berusia muda,” tulis Peter Carey mengutip catatan Knoerle, ajudan Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang mengantar Diponegoro ke pengasingannya, ke Manado.
Sentor Prawirodirjo dalam catatan Belanda, mendapat pujian dari perwira-perwira Belanda. “Digambarkan oleh Stuers sebagai ‘muda, berapi-api, dan dalam segala hal seorang Jawa yang cemerlang [...] yang tahu menambah jalan sendiri berkat kekuatan dan akalnya’, tulis Peter Carey.
Gerak pasukan Sentot cepat dan cegatan-cegatannya mematikan. “Pada akhir 1828, tatkala ia mencapai usia dua puluh, ia telah tampil sebagai perancang strategi utama dan senipati bagi Dipinegoro,” lanjut Peter Carey.
“Diponegoro bilang kepada saya [Knoerle] bahwa Sentot telah kehilangan delapan kuda yang mati tertembak ketika ia tunggangi selama [...] perang, bahwa ia sering terluka dan bahwa ia mempunyai panggilan hidup untuk mati sebagai senopati dalam pertempuran, tepat seperti ayahnya [telah lakukan] pada masa kekuasaan Marsekal Daendels,” tulis Peter Carey mengitup catatan Knoerle.
Namun, pada akhirnya, Sentot memilih meninggalkan Diponegoro karena terkena bujuk rayu Belanda. Ia memilih menyerahkan diri bersama 500 prajuritnya. Sentot mendapat 5.000 gulden per bulan untuk biaya hidupnya bersama pasukannya dan membantu Belanda memerangi kaum Padri di Sumatra Barat.
Oohya! Baca juga ya: Bukan karena Kalah Perang dari Kompeni, Mengapa Sultan Agung Menjatuhkan Hukuman Mati kepada Panglima Penyerbuan Batavia?
Sentot menyerah kepada Belanda pada 16 Oktober 1829. Meski berperang dengan gigih, namun selama perang itu, menurut Peter Carey, Sentot telah mempersiapkan diri untuk kepentingan pribadi.
“Sudah sejak awal Juli 1829, tatkala perwira bawahannya melaporkan kesulitan-kesulitan pasokan pangan, ia telah memasuki perundingan-perundingan awal tentang penyerahan dirinya. Ketika pada akhirnya ia menyerah, hal itu terjadi berdasarkan syarat-syarat yang jelas menguntungkan,” tulis Peter Carey.
Priyantono Oemar
Sumber rujukan:
Kuasa Ramalan karya Peter Carey (2012)
Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
oohya.republika@gmail.com