Ada Arahan dari Pak Lurah, Eh, Mas Lurah, dalam Perang Diponegoro
Pasukan Diponegoro di Ledok sering bersembunyi di lereng Gunung Prahu, Dieng. Mereka sengaja menghindari petempuran besar, tetapi begitu pasukan Belanda lengah, mereka melakukan serangan mendadak.
Pasukan di Ledok, yang terdiri dari rakyat itu sering menghilang bagai siluman. Hal ini tentu menyulitkan pasukan Belanda. Mereka selalu bergerak setelah mendapat arahan dari Pak Lurah, eh, Mas Lurah.
Pasukan Belanda berupaya mengepung pasukan Diponegoro di Ledok dari berbagai jurusan. Jenderal De Kock bahkan memerintahkan pasukan dari berbagai kota seperti Semarang, Kedu, dan Pekalongan, untuk membantu pengepungan itu.
Oohya! Baca juga ya:
Perang Jawa yang dimpin oleh Pangeran Diponegoro memang menggelorakan perlawanan pada semua lapisan. Rakyat-rakyat di berbagai pelosok bangkit untuk melawan Belanda, bergabung dalam perjuangan Diponegoro.
Belanda bahkan mengalami kewalahan menghadapi ulah pasukan Ledok. Mereka sering melakukan serangan dadakan ketika Belanda lengah, dan cepat menghilang ketika Belanda memburunya.
Untuk kesekian kalinya, pasukan Diponegoro di Ledok itu menggempur pasukan Belanda yang dipimpin Letnan De Groot di Dusun Bakalan. Atas arahan Mas Lurah, penggempuran dadakan itu dilakukan pada tengah malam menjelang tanggal 18 September 1828.
Pasukan Belanda kocar-kacir. De Groot dan beberapa prajuritnya berhasil melarikan diri.
Pasukan Ledok mendapatkan berbagai senjata milik pasukan Belanda itu. Ketika melakukan serangan mendadak di daerah antara Plunjaran dan Kreteg, pasukan Ledok ini juga berhasil merampas 37 senapan Belanda berikut pelurunya.
Oohya! Baca juga ya:
“Kedudukan Belanda di daerah-daerah di sekitar Gunung Prahu terancam oleh pasukan-pasukan Diponegoro yang dipimpin oleh Mas Lurah,” tulis Sagimun MD.
Belanda dibikin pusing ketika tersiar kabar pasukan rakyat Ledok bekerja sama dengan pasukan rakyat dari Gowong yang dipimpin Imam Musbah, akan mengepung Pekalongan. Belanda pun menurunkan mata-mata untuk memgawasi gerakan pasukan Ledok dan Gowong ini.
Letnan Kolonel Du Peron diturunkan untuk memimpin pasukan penumpas pasukan Ledok dan Gowong. Desa-desa yang sering membantu pasukan Ledok diawasi.
Tidak berhenti di situ. Belanda bahkan mengeluarkan ancaman akan memusnahkan desa mereka jika tetap membantu pasukan Ledok.
“Namun Belanda belum juga dapat mencapai hasil seperti yang diharapkannya,” tulis Sagimun MD.
Hingga suatu saat, Belanda menemukan kelemahan Mas Lurah. Belanda mengeluarkan ancaman akan menghancurkan maam-makam leluhur Mas Lurah.
Maka, Mas Lurah pada 15 November 1828 terpaksa menghentikan perlawananannya. Ia tak ingin makam leluhur dihancurkan oleh Belanda.
Oohya! Baca juga ya:
Presiden Sukarno dan Selasa Gila di Sarinah Setelah Uang Rp 1.000 Diubah Jadi Rp 1
“Memang Belanda yang sangat licik pandai sekali dan sangatmahir menikamkan ‘pisaunya’ di tempat kelemahan-kelemahan seseorang,” tulis Sagimun MD.
Sekitar 110 pengikut Mas Lurah juga ikut menyerahkan diri. Kemudian Mas Lurah dan pengikutnya diiming-imingi gaji dan diminta untuk melawan pasukan Gowong yang dipimpin Imam Musbah.
Maka, lumpuhlah perlawanan pasukan Diponegoro di wilayah sekitar Dieng itu. “Dengan demikian maka bolehlah dikatakan bahwa perlawanan rakyat di daerah-daerah di sekitar Gunung Prahu dapat diatasi dan dikuasai oleh Belanda,” tulis Sagimun MD.
Ma Roejan
Sumber rujukan:
Pahlawan Dipanegara Berdjuang karya Sagimun MD (1965)
Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
[email protected]