Egek

Hilangnya Narasi Perlindungan Nelayan di Visi Misi Capres-Cawapres, Ini Kata Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan

Perempuan nelayan Demak melaut bersama anaknya. Koalisi Rakyat untuk perlindungan Perikanan (Kiara) menilai visi misi capres-cawapres tidak melindungi masyarakat pesisir, termasuk perempuan nelayan.

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) menilai visi dan misi yang dibawa oleh ketiga kandidat hanya mengulang orientasi pembangunan yang ekstraktif dan eksploitatif. Pembangunan yang esktraktif dan eksploitatif itu dinilai yidak memberi perlindungan kepada nelayan.

Hal itu terjadi karena pembangunan yang ejstraktif dan eksploitatif akan memberikan ruang kepada investasi dan penanaman modal asing. Akibatnya membuat masyarakat pesisir tergusur dari ruang hidupnya.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

“Kiara melihat bahwa ketiga kandidat melalui dokumen visi misi tersebut masih terjebak dalam pusaran misi ekonomi biru atau blue economy sebagaimana yang telah dijalankan pemerintah saat ini. Padahal konsep ekonomi biru yang dijalankan saat ini berasal dari cara pikir lembaga keuangan global, bukan seperti yang diungkapkan oleh Gunter Pauli sebagai penggagas aslinya,” ungkap Sekjen Kiara Susan Herawati dalam pernyataan persnya pada Jumat (5/1/2024).

Oohya! Baca juga ya:

Suasana Keraton Amangkurat II Menjelang Utusan Kompeni Kapten Tack Datang, Apa yang Dilakukan oleh Raja Mataram?

Kiara telah melakukan review terhadap tiga dokumen visi dan misi ketiga kandidat tersebut. Berdasarkan dokumen visi misi ketiga pool kandidat tersebut, terdapat beberapa catatan Kiara yaitu sebagai berikut:

Pertama, adanya kekosongan besar dalam narasi perlindungan hak-hak masyarakat pesisir, khususnya nelayan. Terutama hak atas pengakuan dan perlindungan ruang kelola darat dan lautnya sebagai satu kesatuan.

“Evaluasi atas rezim Presiden Jokowi selama dua periode masa pemerintahannya terlihat sangat minim pengakuan atas ruang pengelolaan masyarakat pesisir, khususnya masyarakat adat dan komunitas lokal yang hidup di pesisir dan pulau-pulau kecil," ujar Susan.

Hal itu, menurut Susan, berbanding terbalik dengan akomodasi atas investasi terhadap ruang oleh rezim tersebut. Masyarakat adat dan komunitas lokal harus menghadapi realita perampasan atas ruang pengelolaan mereka untuk berbagai industri dan investasi melalui kebijakan pusat maupun daerah.

Oohya! Baca juga ya:

Anies Baswedan Manfaatkan Tiktok untuk Kerja Kampanye, Alat Kerja Seperti Apa yang Diperkenalkan kepada Generasi X di Bangku Sekolah?

"Hal tersebut bisa dilihat di Pulau Rempang, Pulau Wawonii, Gugus Kepulauan Spermonde, Pulau Sangiang hingga Pulau Pari dan Muara Angke sebagai wilayah yang paling dekat dengan istana,” jelas Susan.

Kedua, adanya kekosongan besar dalam narasi perlindungan dan pengakuan perempuan yang berprofesi sebagai nelayan. Baik perempuan nelayan produksi maupun perempuan nelayan pascaproduksi.

“Kiara mencatat terdapat 3,9 juta perempuan yang terlibat dalam rantai produksi produksi perikanan, sedangkan KKP di tahun 2023 mencatat bahwa terdapat 3,6 juta perempuan nelayan yang menjadi penggerak rantai produksi perikanan, sedangkan yang telah menerima kartu Kusuka hanya sekitar 15 ribu perempuan nelayan," kata Susan.

Hal itu, menurut Susan, menunjukkan ada gap yang besar antara jumlah existing perempuan nelayan yang terlibat dalam rantai produksi perikanan dan jaminan perlindungan melalui kartu kusuka. Hal ini juga menjadi indikator bahwa pengakuan perempuan atas identitas profesi nelayan juga masih sangat minim.

"Potret buruk krisis pengakuan identitas tersebut juga tidak ditangkap oleh capres dan cawapres dalam dokumen visi misi mereka,” tegas Susan.

Ketiga, wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil hanya dijadikan sebagai obyek tempat masuk industri. Baik melalui konsep ekonomi biru (blue economy), seperti karbon biru (blue carbon), penangkapan ikan terukur, industri maritim dan jasa maritim, industri budidaya (komoditas perikanan unggulan), pariwisata, transisi energi, maupun melaui industri SDA konvensional.

“Berbagai industri yang dicanangkan melalui konsep blue economy dalam ketiga visi misi capres-cawapres tersebut memperlihatkan bahwa cara pandang melihat pesisir dan pulau-pulau kecil masih terjebak dengan konsep ekstraktivisme dan bahkan bias darat," kata Susan.

Oohya! Baca juga ya:

Amangkurat II Siapkan Pertunjukan 40 Harimau untuk Sambut Kapten Tack, Mengapa Wangsanata Melaporkan kepada Kompeni sebagai Persiapan Perang?

Menurut Susan, pesisir dan pulau kecil masih dijadikan objek ekstraktivisme. "anpa melihat secara holistik tentang relasi sosio-kultural antara masyarakat adat dan komunitas lokal dengan ruang pesisir dan pulau-pulau beserta ekosistem yang ada didalamnya," lanjut Susan.

Ketiga kandidat pemimpin bangsa itu dinilai oleh Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan tidak paham konsep utuh dari Hak Konstitusi Masyarakat Pesisir sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi No 3 tahun 2010. Masyarakat pesisir harusnya memiliki hak untuk mengakses, hak untuk mengontrol dan memanfaatkan, hak untuk menjalankan tradisi kebernelayanan yang telah dijalan dari generasi ke generasi dan hak untuk mendapatkan perairan yang bersih dan sehat.

Masyarakat pesisir, khususnya nelayan, perempuan nelayan, pembudidaya ikan, petambak garam, dan masyarakat adat belum dijadikan sebagai pilar dan aktor utama sebagai right holders (pemilik hak utama) dalam kepastian perlindungan, pengelolaan, pemanfaatan atas ruang pesisir dan pulau kecil. Aktor utama yang dikedepankan masih pada industri dan pertumbuhan ekonomi oleh investasi korporasi.

Ma Roejan

Berita Terkait

Image

Sudah Lewat Waktu, Kiara Minta Pembuat Pagar Laut Diungkap dan Ditindak Secara Pidana

Image

Ombudsman Taksir Nelayan Rugi Rp 7,7 Miliar per Bulan, KKP Hanya Kenai Denda Rp 18 Juta per Km Pagar Laut, Kiara: Tidak Serius

Image

Pagar Laut, Kiara: Persil di Laut 5 Juta Meter Persegi