Pitan

Presiden Sukarno dan Selasa Gila di Sarinah Setelah Uang Rp 1.000 Diubah Jadi Rp 1

Toserba Sarinah merupakan proyek revolusi fisik Presiden Sukarno. Pada 1965, meski baru selesai empat lantai Sarinah mulai beroperasi. Pada Selasa Gila, Sarinah meraup omset terbesar, Rp 30 juta.

Pada Senin, 13 Desember 1965, Presiden Sukarno melakukan revaluasi mata uang rupiah dari Rp 1.000 menjadi Rp 1. Esok harinya lantas dikenal sebagai “Selasa Gila”.

Pada Selasa gila itu, Toserba Sarinah meraup omset terbesar dalam waktu 2,5 jam, yaitu Rp 30 juta. Hal itu terjadi setelah uang Rp 1.000 Dibah menjadi Rp .

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Saat itu, gedung Sarinah baru empat lantai yang selesai dibangun, dari desain awal 14 lantai. Dana adalah faktor kendala, sehingga meski baru empat lantai pun Toserba Sarinah sudah dioperasikan, mengemban tugas sebagai stabilisator harga.

Pada Selasa Gila itu, masyarakat cukup resah karena harga barang-barang kebutuhan naik minimal 25 persen. Toko-toko pun banyak yang memilih tutup, sehingga membuat polisi bertindak, memaksa untuk tetap buka.

Oohya! Baca juga ya: Matahari Kembar Tiga Terlihat Setelah Terjadi Bencana Kelaparan di Grobogan, Ramalan Apakah yang Muncul?

Di hari Senin, rokok Virginia masih dijual dengan harga banderal, Rp 17,5 per bungkus. Pada Selasa Gila dijual dengan harga Rp 25 per bungkus.

Harga kain tetrex pada Senin masih Rp 45 ribu per meter, pada Selasa Gila melonjak menjadi Rp 80 ribu per meter. Harga beras dari Rp 1.800 perliter menjadi Rp 6.000 per liter.

Emas semula berharga Rp 40 ribu per gram, melonjak menjadi Rp 100 ribu per gram. Nilai tukar resmi dolar adalah Rp 5.000 per dolar, di pasar gelap melonjak menjadi Pp 9.000 per dolar.

Orang-orang antre di bank untuk menyetorkan uang. Saldo tabungan/deposito mereka akan dipotong 10 persen untuk sumbangan revolusi, termasuk saldo yang sudah ada sebelum 13 Desember 1965. Saat itu jumlah uang beredar mencapai Rp 1.800 miliar, tetapi sebanyak Rp 1.200 miliar disimpan di rumah.

Di lantai dasar Sarinah ada toko peralatan makan. Sebelum ada revaluasi rupiah, harga paket peralatan makan itu “hanya” Rp 1,8 juta, lalu mendadak naik menjadi Rp 2,5 juta, dan tetap dibeli orang.

Oohya! Baca juga ya: Nasib Orang-Orang Cina Pesisir Setelah Raja Mataram Pakubuwono II Kembali Berpihak kepada Kompeni dan Pemimpinnya Melarikan Diri ke Bali

Toserba Sarinah merupakan obsesi Sukarno dalam melakukan revolusi fisik seusai revolusi kemerdekaan. Tokyo Club memberi pinjaman untuk proyek-proyek revolusi fisik itu.

Tak hanya untuk proyek Sarinah, tetapi juga proyek-proyek lainnya, sehingga Sukarno dijuluki sebagai “arsitek tertinggi”. Selain membangun Sarinah, Sukarno melakukan revolusi fisik dengan membangun ulang Pasar Glodok dan Pasar Senen (1965).

Sebelumnya, Sukarno membangun Hotel Indonesia yang menjadi hotel mewah di Asia dan orang asing menyewa kamarnya dengan dolar (diresmikan Agustus 1962 dengan biaya pinjaman dari Jepang). Pada Februari 1960 dibangun Gelanggang Olahraga.

Pada Agustus 1961 dibangun Monumen Nasional dan pada April 1965 dibangun Gedung Conefo di Senayan. Gedung Conefo akan digunakan untuk konferensi internasional negara-negara yang baru merdeka. Kini gedung Conefo itu dikenal sebagai Gedung DPR/MPR.

Mulai dibangun April 1963, Toserba Sarinah ditujukan untuk menyaingi toko-toko Cina yang ada di Jakarta. Karena kekurangan modal, pembangunan untuk lantai 5-14 dihentikan terlebih dulu.

Lantai-lantai lain itu akan digunakan untuk restoran, bioskop, salon kecantikan, dan kelab makan malam. Karena kesulitan keuangan itu, untuk menggaji karyawan, manajemen Sarinah terpaksa menjual baja tulangan beton menjelang Lebaran 1966.

Empat lantai yang sudah dibuka itu mencakup lantai bawah tanah, lantai dasar, lantai pertama, dan lantai kedua. Lantai bawah digunakan untuk menjual sayuran segar, daging, ikan, dan bahan makanan lainnya.

Oohya! Baca juga ya: Utusan Kompeni Menyebut Kuda Milik Empat Pejabat Mataram Disembelih oleh Sultan Agung, Apa Salah Mereka?

Sedangkan lantai dasar dipenuhi kios barang-barang rumah tangga dan kosmetik. Lantai pertama untuk toko tekstil, lantai kedua untuk alat tulis dan perlengkapan kantor.

Meski diresmikan dengan empat lantai yang baru jadi, ternyata Sarinah mampu menarik minat pengunjung. Warga Jakarta mendatangi Sarinah meskihanya untuk menjajal eskalator yang ada di dalamnya.

Mereka juga mengagumi barang-barang mahal yang dijual di sana. Berkunjung tapi tidak membeli. Tapi akhirnya mereka bosan juga. Sarinah pun kemudian sepi pada 1967.

Maka, 2.000 pelayan toko yang ada di Sarinah saat itu lebih banyak berbincang sesama mereka sambil mengawasi satu-dua pengunjung yang datang untuk melihat-lihat. Setelah Ali Sadikin ditunjuk Presiden Sukarno sebagai gubernur, ia melanjutkan proyek Sarinah, dengan mengundang investor judi untuk membuka kasino.

Oohya! Baca juga ya: Tiba Tengah Malam Demi Korban Tsunami Aceh, Relawan Posko Jenggala Rayakan Ulang Tahun di Bandara Dini Hari

Jakarta akan menerima 35 persen dari keuntungan kasino itu. Dengan tangan besinya, Ali Sadikin menjalankan berbagai proyek fisik di Jakarta dengan sumber biaya dari kasino yang ada di Jakarta.

Priyantono Oemar

Sumber rujukan:
Algemeen Handelsblad, 23 September 1966
Twentsch Dagblad Tubantia, 29 Desember 1965

Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
[email protected]