Tiba Tengah Malam Demi Korban Tsunami Aceh, Relawan Posko Jenggala Rayakan Ulang Tahun di Bandara Dini Hari
Tim relawan Posko Jenggala tiba di Bandara Sultan Iskandar Muda Banda Aceh pada 30 Desember 2004 malam. Hampir menjelang dini hari.
Mereka harus menginap di bandara untuk menunggu esok hari berangkat ke kantor Gubernur Aceh. Pada 31 Desember 2004 dini hari, para relawan menyalakan lilin untuk memberi kejutan kepada Koordinator Posko Jenggala Andi Sahrandi yang berulang tahun.
Mereka berangkat ke Aceh menggunakan pesawat Garuda extra flight. Rombongan pertama mencapai 25 orang.
Pada mulanya mereka ingin terbang dari Halim Perdanakusuma menggunakan pesawat TNI. Tetapi TNI masih memprioritaskan bantuan untuk pertolongan pertama. Ada ratusan ton bantuan untuk pertolongan pertama yang harus didahulukan.
Oohya! Baca juga ya: Bawa Meriam Melawan Kompeni, Pasukan Sultan Agung Mataram Tinggal di Kemah-Kemah yang Dibuat dari Daun Pisang
Tsunami yang menerjang Aceh pada 26 Desember 2004 telah menggerakkan semua komponen bangsa menyediakan bantuan yang harus segera dikirim ke Aceh. Selama setahun di Aceh, Posko Jenggala membangun rumah-rumah sementara dengan terlebih dulu berdebat dengan aparat ketika melakukan lobi.
Ketika tsunami itu menerjang Aceh, perbincangan mengenai bencana itu muncul tiap hari di berbagai sudut kota dan kampung di seluruh Tanah Air. Termasuk juga perbincangan di rumah Arifin Panigoro di Jenggala, Jakarta Selatan.
Ide-ide spontan muncul dalam pembicaraan antara Arifin, Andi Sahrandi, Bara Mustika, Djoni Saleh, Fransiska, Hana, Runi dan semua orang yang biasa berkumpul. Mereka telah bersepakat mengirim bantuan ke Aceh.
Andi lalu menghubung Irfan Budiman, aktivis 98 yang dulu bisa mengambil nasi bungkus dari Jenggala untuk makan para aktivis yang sedang menginap di gedung DPR/MPR. Irfan segera menghubungi teman-temannya, para dokter muda yang tergabung di Lembaga Kesehatan Masyarakat Islam.
Dokter-dokter muda ini beberapa telah terlibat dalam kegiatan sosial bersama Posko Jenggala setelah reormasi 1998. Berbagai kampung di Jakarta telah meeka jelajahi untuk memberikan bantuan pengobatan gratis bersama Posko Jenggala.
Oohya! Baca juga ya: Kisah Ten Dudas, 10 Duda Penyintas Tsunami Aceh Membangun 200 Rumah Darurat Dibantu Posko Jenggala
Rumah Jenggala kembali sibuk lagi seperti pada masa reformasi 1998. Dana dihimpun, obat-obatan dibeli, dan segela peralatan yang diperlukan dipersiapkan.
Tentu saja, Arifin Panigoro juga mengeluarkan uang pribadi untuk pemberian bantuan ini. Ada sekitar 18 miliar dari kantong Arifin Panigoro.
Semula, mereka berangkat ke Aceh belum memiliki nama organisasi. Kontak-kota berisi bantuan diberi tulisan "Panigoro dan Kawan-Kawan".
Di kemudian hari, segera dibentuk yasayan, dengan nama Yayasan Gerakan Kemanusiaan Posko Jenggala. Andi Sahrandi menjadi koordinatornya.
Mereka tiba di Aceh tergolong sebagai tim kemanusiaan yang termasuk awal-awal masuk Aceh, membawa serta tim medis. Mereka mendapat jadwal penerbangan ekstra dari Garuda pada 30 Desember 2004 malam. Andi berulang tahun pada 31 Desember.
“Anak-anak beli lilin di bandara, lalu dipakai untuk merayakan ulang tahun saya pada 31 Desember dini hari,” ujar Andi Sahrandi.
Berulang tahun di lokasi bencana. Bagaimanapun, Andi dan tim relawan perlu bersyukur diberi kesehatan untuk bisa memberikan bantuan kepada para korban tsunami Aceh. Hari ulang tahun dirayakan di tengah kesedihan dan keharuan.
Esok hari mereka melanjutkan perjalanan ke kantor Guberner Aceh. Sepanjang jalan harus melewati jalanan rusak yang penuh dengan jenazah-jenazah korban tsunami.
Oohya! Baca juga ya: Tsunami Aceh, Kontak Senjata TNI-GAM Membuat Anak-Anak Pengungsi di Kamp Pengungsi Posko Jenggala di Lhok Nga Ketakutan
Para relawan merasakan suasana mencekam melihat kondisi ini. Ketika melintasi jembatan, mereka harus melihat banyaknya jenazah bertumpuk di bawah jembatan.
Kondisi ini sempat membuat drop relawan, tetapi tak ada kata pulang sebelum berbuat sesuatu untuk Aceh. Kantor Gubernur Aceh penuh dengan orang. Relawan Posko Jengggala bermalam di depan pendodo gubernur, di trotoar jalan, menggunakan sleeping bag.
Selama di kantor gubernuran inilah, Posko Jenggala mendapat kabar Lhok Nga memerlukan bantuan secepatnya. Tiga mobil mengangkut mereka, melalui jalan yang rusak, terhadang oleh sampah dan mayat di sana-sini, sehingga mobil sering berhenti sekadar untuk mengangkat jenazah ke pinggir jalan.
Dua jam kemudian baru smapai Lhok Nga, dari seharusnya hanya 30 menit dlama kondisi normal.
Priyantono Oemar