Bawa Meriam Melawan Kompeni, Pasukan Sultan Agung Mataram Tinggal di Kemah-Kemah yang Dibuat dari Daun Pisang
Ketika Sultan Agung ingin menaklukkan Bantan , Surabaya, dan Banjarmasin, ia meminta bantuan kepada VOC (Kompeni). Tetapi Kompeni menolaknya.
“Oleh karena VOC tidak bersedia memberikan bantuan angkatan laut kepadanya, maka tidak ada satu alasan pun bagi Sultan Agung untuk membiarkan kehadiran mereka di Jawa,” tulis MC Ricklefs.
Maka, setelah menaklukkan Surabaya pada 1625, lalu menghadapi paceklik dan pandemi pada 1626-1628, Sultan Agung menyerbu Batavia pada 1628. Perjalanan jarak jauh, perbekalan yang bisa diangkut minim, kemah-kemah pun dibuat dari daun pisang.
Penaklukan-penaluklan yang dilakukan sejak 1614 memperlihatkan betapa Sultan Agung memiliki pasukan yang perkasa. Pada 1615, menurut wakil utusan Kompeni Balthasar van Eyndhoven yang mendampingi Cornelis van Surck, Mataram memiliki kekuatan 300 ribu prajurit.
Oohya! Baca juga ya: Berkaca pada Hilirisasi yang Dibicarakan Selepas Debat Cawapres
Kekuatan ini, diduga oleh HJ de Graaf termasuk rakyat biasa yang dikerahkan saat ada misi-misi penaklukan. Dengan demikian, Sultan Agung mengirim misi penaklukan dengan memperhatikan masa tanam padi hingga panen. Demikian pula yang dilakukan ketika menyerbu Batavia.
Setelah selesai masa panen, Sultan Agung baru mengerahkan rakyat untuk penaklukan, sehingga masa tanam padi tidka terganggu oleh aktivitas penaklukan. Jadi, biasanya pasukan Mataram berangkat pada Juli dan sudah pulang saat musim hujan tiba. Praktis, hanya memiliki waktu berperang selama 4-5 bulan.
Bagaimana Sultan Agung bisa mengumpulkan 300 ribu orang? Dengan cara memukul gong, maka orang-orang akan berdatangan ke alun-alun. Tapi gong kemudian digantikan oleh Meriam Guntur Geni.
Dalam setengah hari, bisa terkumpul 200 ribu orang. Untuk desa-des terjauh yang tidak terjangkau oleh suara gong atau meriam, dikirim pejabat istana untuk menyampaikan pengumuman yang mewajibkan setiap penduduk laki-laki desa pergi berperang.
Di desa hanya ditinggalkan dua-tiga laki-laki untuk menjaga desa. Jika ada yang tidak mematuhi titah raja, maka diberikan hukuman. Pusaka keris yang dipunyai penduduk akan disita dan diberi denda. Ada pula hukuman pukulan.
Hewan-hewan di desa itu pun juga akan dikerahkan untuk mengangkut barang-barang yang diperlukan di lokasi penaklukan. “Sunan telah menentukan jatah jumlah manusia dan hewan bagi tiap tempat menurut kemampuan masing-masing,” tulis De Graaf.
Oohya! Baca juga ya: Begini Gambaran Batavia pada 1670, Sultan Agung Mataram Pernah Dua Kali Menyerbu Markas Kompeni Itu
Pada waktu menyerbu Surabaya misalnya, ada 30 meriam yang harus diangkut. Meriam-meriam itu dibuat di Mataram atas bantuan orang-orang Portugis.
Pada mulanya, Mataram hanya memiliki empat meriam. Yaitu meriam dari Kompeni pada 1615-1616, hasil pertukaran dengan batu bata yang digunakan Kompeni membangun loji di Jepara.
Lalu, Sultan Agung memerintahkan pembuatan meriam sendiri atas bantuan orang-orang Portugis. Satu meriam paling besar, lebih besar dari meriam pemberian Kompeni diberi nama Pancawura, dibuat pada 1625.
Nama lain Meriam Pancawura adalah Guntur Geni. Meriam Guntur Geni hanya boleh ditembakkan untuk tiga keperluan: mengerahkan rakyat, mengisyaratkan amarah raja, menginformasikan adanya kematian besar-besaran.
Pancawura merupakan akronim dari pandita catur wuruk ing ratu, sebagai penanda tahun pembuatan. Pandita catur wuruk ing ratu merupakan candra sengkala yang menunjukkan tahun Jawa 1547. Jika dimasehikan menjadi tahun 1625.
Candra sengkala itu juga memiliki arti pertama mengajari raja. Pada akhir 1624, Sultan Agung bermimpi bertemu pertapa berpakaian putih. Mimpi itu ditasfirkan bahwa Sultan Agung akan menempati posisi yang lebih tinggi lagi setelah menjalankan tugas suci.
Oohya! Baca juga ya: Kisah Ten Dudas, 10 Duda Penyintas Tsunami Aceh Membangun 200 Rumah Darurat Dibantu Posko Jenggala
Menaklukkan Batavia yang diduduki Kompeni merupakan salah satu tugas suci. Kekuataan terbesar tentara Mataram ada di pasukan infanteri yang memiliki tugas khusus menghancurkan benteng. Senjata mereka tombak, keris, dan meriam.
Belum adanya jalan yang memadai membuat perjalanan pasukan Mataram menuju lokasi penaklukan mengalami banyak kendala. Mereka tidak bisa membawa banyak perbekalan.
Mereka harus membangun kemah-kemah. “Kemah-kemah dibuat dari ‘gubuk-gubuk kecil dari daun pisang dengan tombak ditempatkan tegak disekelilngnya dalam bentuk bujur sangkar’,” tulis De Graaf mengutip catatan JKJ Jonge.
Makanan, mereka makan seadanya. Jika ada sungai, beras-beras akan dikirim melalui sungai. Pengadaan lumbung-lumbung beras di beberapa tempat semasa menyerang Batavia pada 1929, kata De Graaf, menunjukkan kecerdikan Mataram setelah mengalami kesulitan pada 1628.
Oohya! Baca juga ya: Dapat Tugas Cari Anggota Pramuka Non-Muslim, Mengapa Para Santri dari Karawang Ini Mondar-Mandir Cari WC di Kemah Bakti Harmoni Beragama?
“Setelah menempuh perjalanan sejauh kira-kira 500 kilometer dari istana, kontingen-kontingen Jawa yang pertama tiba di Batavia pada bulan Agustus, laskar Jawa yang kedua tiba pada bulan Oktober,” tulis RIcklefs tentang pengiriman pasukan Mataram ke Batavia pada 1628.
Priyantono Oemar
Sumber rujukan:
Puncak Kekuasaan Mataram karya Dr HJ de Graaf (2002, edisi revisi)
Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 karya MC Ricklefs (2005)
Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
[email protected]