Tsunami Aceh, Kontak Senjata TNI-GAM Membuat Anak-Anak Pengungsi di Kamp Pengungsi Posko Jenggala di Lhok Nga Ketakutan
Aceh adalah pengalaman pertama Andi Sahrandi melakukan aksi kemanusiaan terlama. Ia harus ikut mengibur anak-anak pengungsi yang ketakutan ketika terjadi kontak senjata TNI-GAM di Lhok Nga.
Setahun ia berada di Aceh untuk melakukan aksi kemanusiaan. Dijeda sakit jantung sepulang Andi pulang dari Aceh setelah enam bulan melakukan aksinya,, ia pun kembali ke Aceh setelah sembuh.
Nama Posko Jenggala muncul selama melakukan aksi di Aceh, karena saat pertama datang di Aceh pada 30 Desember 2004, Andi masih membawa nama sponsor utamanya, Arifin Panigoro dan kawan-kawan.
Niat turun di Aceh memang dibahas Andi dengan Arifin di Rumah Jenggala, rumah pengusaha Arifin Panigoro itu. Andi ditunjuk menjadi coordinator Posko Jenggala.
Oohya! Baca juga ya: Tinggalkan Sultan Agung di Banten, Panglima Perang Mataram Membuat Peluru dari Timah Panas dengan Tangan Kosong di Palembang
Respons bagus datang, salah satunya dari Ted Kuepper dari Global Water Amerika Serikat. Ted menilai kamp pengungsian yang disediakan Andi bersama Posko Jenggala sebagai kamp terbaik di Aceh.
Di Lhok Nga, Posko Jenggala membangun kamp pengungsi yang lengkap fasilitasnya. Ada puskesmas, kantor desa, kantor mukim, ruang serba guna, perpustakaan anak-anak.
Sebelum membangun kamp, relawan Posko Jenggala memberikan pelayanan kesehetan. “Tim medis memeriksa pengungsi dengan duduk bersila, karena belum ada meja kursi,” jelas Andi Sahrandi.
Ada pula trauma center. Save the Children pun memusatkan kegiatan di kamp Posko Jenggala. Ada sekitar 1.800 anak pengungsi dari 21 kamp di seluruh Aceh. Program terapi psikologinya dipusatkan di kamp pengungsi Posko Jenggala.
Di kamp Posko Jenggala, mereka bisa bertemu dengan tamu-tamu yang berkunjung untuk menghibur mereka. Ada artis Christine Hakim, Fery Salim, dan juara kedua American Idol Clay Aiken. Ketiganya merupakan Duta Unicef. Ada pula Dewi Hughes, Kikan Cokelat, dan Wanda Hamidah.
Bahkan, eks presiden Amerika Bill Clinton pun berknjung ke sini. PM Jepang Junichiro Koizumi pun dijadwalkan mengunjungi kamp Posko Jenggala meski tak jadi datang.
Oohya! Baca juga ya: Putri Solo Menari untuk Pernikahan Putri Juliana di Belanda dengan Iringan Gamelan yang Dimainkan di Jawa, Ini di Akhir 1936 dan Awal 1937 Lho
Saat itu anak-anak pengungsi yang didampingi relawan Save The Children sudah menyiapkan diri menyambut PM Jepang. Ada pula yang menyiapkan diri untuk mengalungkan bunga.
Adanya kontak senjata anara TNI dan GAM di Lampuuk, delapan kilometer dari Lhok Nga, membuat acara kunjungan berubah. PM Jepang tidak jadi menengok ke Lhok Nga.
Anak-anak ketakutan. Menangis. Andi pun geram. Ia ikut menenangkan anak-anak pengungsi. Anak-anak kemudian diajak bermain ke pantai oleh para relawan. Setelah itu, ia menemui pimpinan TNI di Lhok Nga untuk bisa menahan diri tidak melakukan kontak senjata.
Sebelum bisa mendirikan kamp pengungsian lengkap dengan segala fasilitas, para relawan Posko Jenggala ikut membantu membersihkan Lhok Nga. Dari Aceh me nuju Lhok Nga bukan perjalanan mudah.
Masih banyak puing dan mayat di sepanjang jalan. Lumpu pun masih memenuhi jalan. Belum lagi harus bertemu dengan jalan putus.
Lhok Nga dituju, setelah para relawan mendengar pembicaraan para pengungsi di pendopo Gubernur Aceh. Lhok Nga yang tadinya kawasan wisata telah menjadi lautan. Demikian kabar yang beredar.
Di Lhok Nga inilah relawan Jenggala bekerja sama dengan aparat setempat menguburkan secara massal mayat-mayat yang mereka kumpulkan dari berbagai lokasi. Lapangan Golf Seulawah digali untuk dijadikan kuburan massal.
Oohya! Baca juga ya: Tinggi Kandungan Litium, akankah Objek Wisata Bleduk Kuwu di Grobogan Ini Dijadikan Areal Pertambangan?
Lapangan bola Lagaboh dijadikan tempat untuk membangun kamp pengungsi. Beberapa hari kamp berdiri, tidak ada pengungsi. Mereka masih memilih tinggal di bukit-bukit, sehingga perlu pendekatan.
Akhirnya, banyak yang mau turund ari bukit untuk tinggal di kamp pengungsian. Pendataan dilakukan, aspirasi diserap. Rupanya mereka ingin membangun rumah di bekas rumah semula.
Aparat setempat tidak menyetujui hal itu. Jika harus membangun rumah, kata aparat setempat, harus menunggu cetak biru dari pemerintah.
Andi melihat ini pasti memerlukan waktu yang lama. Masyarakat tak mungkin tinggal berlama-lama di kamppengungsian. Dialog terus-menerus dilakukan, sehingga akhirnya, aparat pun mendukung pembangun rumah untuk para pengungsi.
Priyantono Oemar