Lincak

Tinggalkan Sultan Agung di Banten, Panglima Perang Mataram Membuat Peluru dari Timah Panas dengan Tangan Kosong di Palembang

Babad menceritakan, Panembahan Puruboyo, panglima perang Mataram zaman Sultan Agung, bisa membuat peluru meriam dari timah panas dengan tangan kosong. Ia melakukannya di Palembang.

Raja Mataram Sultan Agung sedang berkunjung ke Banten didampingi Panembahan Puruboyo. Saat di Banten itu, Panglima Perang Mataram Panembahan Puruboyo mendapat informasi jika Raja Palembang hendak menyerbu Mataram.

Kanjeng Adipati Gusti Pangeran Adipati Panembahan Puruboyo merupakan kakak beda ibu dari ayah Sultan Agung, Prabu Anyokrowati. Ia merupakan panglima perang Mataram yang sakti.

Babad menceritakan, ia bisa membuat peluru menggunakan tangan kosong. Ini berbeda dengan cara orang Palembang yang membuat peluru dengan cara dicetak.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Pasukan Palembang sudah berlatih siang malam, segala jenis senjata sedang dibuat. Meriam, bedil, peluru dari timah, baja, besi terus dibuat.

Oohya! Baca juga ya: Tinggi Kandungan Litium, akankah Objek Wisata Bleduk Kuwu di Grobogan Ini Dijadikan Areal Pertambangan?

Mendapat informasi itu, Panembahan Puruboyo lalu menyamar menjadi pekatik (juru tuntun kuda raja). Ia diam-diam pergi ke Palembang.

Niat Raja Palembang menyerbu Mataram lantaran Raja Palembang telah mendengar kekuatan Sultan Agung yang sering menaklukkan daerah-daerah lain. Ia ingin menguji kekuatan Mataram.

Setiba di Palembang, ia mendengar banyak cerita dari rakyat Palembang mengenai persiapan Palembang menyerbu Mataram. Ia pun diam-diam mencari tahu tempat-tempat yang perlu ia datangi.

Salah satu yang harus ia datangi adalah tempat pandai besi membuat senjata. Ia begitu terkejut begitu melihat para pandai besi menyiapkan senjata yang dibutuhkan untuk perang.

Kehadiran Panembahan Puruboyo pun tidak ada yang mencurigainya. Begitu banyak pandai besi yang bekerja membuat senjata yang diperlukan.

Oohya! Baca juga ya: Putri Solo Menari untuk Pernikahan Putri Juliana di Belanda dengan Iringan Gamelan yang Dimainkan di Jawa, Ini di Akhir 1936 dan Awal 1937 Lho

Panembahan Puruboyo mendengar, para pandai besi itu selama bekerja selalu membicarakan rencana penyerbuan ke Mataram. Ia pun mendekati pandai besi yang sedang membuat meriam dan peluru.

Ia pun memulai pembicaraan. “Ternyata peribahasa desa mawa cara, negara mawa tata itu benar adanya. Di sini orang membuat peluru dicetak. Di tempat saya orang membuat peluru tidak dicetak,” kata Panglima Perang Mataram itu.

Yang diajak bicara tertawa mendengar pernyataan Panembahan Puruboyo. “Ki Sanak ini ada-ada saja, mana ada orang membuat peluru dicetak. Seberapa besar cetakan yang diperlukan untuk mencetak orang yang membuat peluru itu?” tanya pandai besi Palembang itu.

Teman-temannya pun tertawa. Panembahan Puruboyo menyadari kesalahan ucapannya.

“Maksud saya, bukan orangnya yang dicetak. Di tempat saya kalau membuat peluru tidak dicetak,” kata Panembahan Puruboyo mengoreksi kata-katanya.

“ Di sini pun begitu, Kalau sudah jadi peluru yang tidka dicetak. Yang dicetak itu kan bakal peluru,” sahut pandai besi Palembang.

Panembahan Puruboyo merasakan pernyataannya salah lagi. Ia pun segera mengoreksinya.

“Betul Ki Sanak, memang berbeda. Di tempat saya membuat peluru itu dilakukan dengan cara timah yang masih mendidih dipelintir-pelintir pakai tangan sampai bulat. Bentuk memang kasar, tetapi lebih cepat pengerjaannya,” kata Panembahan Puruboyo.

Oohya! Baca juga ya: Promosi Starbucks, Bagaimana Kedai Kopi Amerika Itu Melakukannya Sebelum Ada Boikot Kasus Israel?

Para pandai besi Palembang yang mendengar tentu pada tertawa. Bagi mereka tidak mungkin membuat peluru dilakukan dengan cara itu. Mereka pun menanyakan daerah asal dan jati diri Panembahan Puruboyo.

“Saya hanya orang desa di wilayah kekuasaan Mataram yang menjadi tetangga Palembang. Nama Saya Pak Jadhug,” jawab Panembahan Puruboyo.

Pandai besi Palembang lalu menduga yang bisa membuat peluru dengan tangan kosong bisa jadi hanya para pembesar di Mataram, seperti para bupati dan para panglima. “Kalau seperti Pak Jadhug mana mungkin bisa melakukannya? Beda kalau disuruh membuat klepon, pasi bisa,” kata pandai besi Palembang.

Panembahan Puruboyo pun membantahnya. Kata dia, tidak hanya pembesar yang bisa membuatnya. Rakyat biasa pun bisa membuat peluru dengan tangan kosong.

Mereka pun meminta bukti, lalu meminta Panembahan Puruboyo menunjukkan kebisaannya membuat peluru. Panembahan Puruboyo pun segera mengambil timah mendidih dengan kedua tangannya, lalu ia adon sampai membentuk perlu bundar.

Oohya! Baca juga ya: Kisah Ten Dudas, 10 Duda Penyintas Tsunami Aceh Membangun 200 Rumah Darurat Dibantu Posko Jenggala

Besarnya tidak berbeda dengan peluru yang mereka buat dengan cetakan. Dalam waktu sekejap, Panembahan Puruboyo telah membuat beberapa peluru, ketika pandai besi Palembang belum menyelesaikan satu peluru yang dicetak.

Pandai besi lainnya pun berkerubung melihat keahlian Panembahan Puruboyo. Mereka meninggalkan pekerjaan mereka.

Penanggung jawab di pembuatan senjata itu pun marah melihat hal itu. “Setan alas Mataram,” kata dia.

Ia pun menuduh Panembahan Puruboyo sebagai mata-mata Mataram. Mendengar teguran itu, Panglima Perang Mataram itu pun berusaha menjauh, seperti orang sedang ketakutan. Ia menyandar pada meriam-meriam yang ada di situ.

Meriam-meriam itu pun menjadi gepeng terkena tubuh Panembahan Puruboyo. Para pandai besi yang kemudian berganti gemetaran. Orang yang tadi menegur Panembahan Puruboyo segera meminta prajurit menangkap Panembahan Puruboyo.

Begitu prajurit berbondong-bondong hendak menangkapnya, Panembahan Puruboyo lalu menjentik meriam-meriam dengan jarinya. Meriam-meriam terlempar ke arah orang-orang yang mengepungnya.

“Hai, para prajurit Palembang, saya tidak bersalah. Jika kalian tunduk pada saya surga imbalannya. Jika tidak, tangkaplah meriam-meriam ini,” kata Panglima Perang Mataram itu sambil menjentik meriam.

Oohya! Baca juga ya: Tidak Menunaikan Puasa Ramadhan, Sultan Agung Raja Mataram Digunjingkan Abdi Dalem, Apa yang Dilakukan Penghulu Keraton?

Para prajurit itu pun tak berdaya. Yang masih bisa melarikan diri segera melapor ke Patih yang kemudian melapor ke Raja Palembang.

Ma Roejan

Sumber rujukan:
Babad Pagedongan (1941)

Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator

Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.

Redaksi
[email protected]