Tidak Menunaikan Puasa Ramadhan, Sultan Agung Raja Mataram Digunjingkan Abdi Dalem, Apa yang Dilakukan Penghulu Keraton?
Kiai Penghulu di Keraton Mataram sedang bercengkerama dengan anak cucu di bulan Ramadhan. Dua abdi dalem (pembantu) keraton yang sedang menggunjingkan Sultan Agung mengeraskan suaranya saat melewati tempat Kiai Penghulu.
Kiai Penghulu mendengar gunjingan itu dengan jelas bahwa Raja Mataram Sultan Agung tidak menunaikan ibadah puasa Ramadhan. Kiai Penghulu pun mendapatkan bahan untuk menguji Sultan Agung.
Keesokan harinya, Kiai Penghulu menghadap Sultan Agung. Saat itu Sultan Agung sudah siap menyantap makanan.
“Ah, baru tahu, ternyata ada Ratu Wali, Panatagama, di bulan Ramadhan tidak berpuasa. E-e-e-e, mana ada kalifah yang menjadi tuntunan malah tidak bisa dipatuhi. Kitab apa yang mengajarkan hal ini?“ cerocos Kiai Penghulu.
Oohya! Baca juga ya: Berangkat ke Makkah Pukul 11.00, Sultan Agung Raja Mataram tidak Terlambat Ikut Shalat Jumat di Masjidil Haram
Kiai Penghulu ini adalah orang Kramatwatu di Panarukan yang dulu pernah menitip pesan untuk Imam Syafii ketika Sultan Agung hendak berangkat ke Makkah untuk shalat Jumat. Sultan Agung lalu mengangkatnya menjadi penghulu keraton atas saran Imam Syafii.
“Kakang Penghulu, aku kok kurang paham dengan perkataanmu. Maksud Kakang Penghulu bagaimana?” tanya Sultan Agung yang heran karena datang tiba-tiba Kiai Penghulu berkata menyerocos.
“Sekarang bulan Ramadhan, Gusti. Mengapa Panjenengan tidak menjalankan puasa Ramadhan?” jawab Kiai Penghulu.
Kemarin, Kiai Penghulu mendengar gunjingan dua abdi dalem keraton yang mempermasalahkan Sultan Agung karena tidak berpuasa di bulan Ramadhan. Salah satu abdi dalem bercerita bahwa Sultan AGung setiap hari makan seperti biasa.
Bahkan, jumlah waktu makan di bulan Ramadhan ini melebihi jumlah waktu makan di hari-hari biasanya. “Kok malah makan sampai lima-enam kali. Apa tidak kasihan dengan para pembantu,” keluh di abdi dalem yang satu kepada temannya.
Oohya! Baca juga ya: Kisah Ten Dudas, 10 Duda Penyintas Tsunami Aceh Membangun 200 Rumah Darurat Dibantu Posko Jenggala
“Aku tahu ini bulan puasa, namun yang berpuasa kan bulannya. Jadi, aku tak perlu ikut berpuasa,” jawab Sultan Agung.
“Duh bagaimana ini, Gusti? Padahal semua abdi dalem, besar kecil, laki perempuan, yang sudah beragama Islam, menurut syariat Islam yang diajarkan Nabi Muhammad semua berpuasa. Saya yang mengajarkannya,” kata Kiai Penghulu.
Kiai Penghulu pun menekankan bahwa ia mengajarkan hal itu karena perintah dari Sultan Agung yang menunjuknya sebagai penghulu keraton. “Jika rakyat mendengar bahwa Panjenengan tidak berpuasa, tentu saja nanti mereka juga tidak berpuasa,” lanjut Kiai Penghulu.
“Kakang Penghulu, jangan salah terima. Aku ini kan Kalifatullah, berbeda dengan rakyat kebanyakan kan?” kata Sultan Agung.
Kiai Penghulu pun membenarkan pernyataan Sultan Agung. Namun, menurutnya, menjadi kalifatullah itu adalah menjadi wakil Allah di muka bumi, yang menjadi penguasa keadilan seluruh jagad.
Memiliki jasad yang sama dengan rakyat kebanyakan. Juga memiliki syahwat, memiliki keinginan untuk makan, tidur, bangun tidur. Juga bisa lupa, kaget, tertawa, sakit, meninggal, seperti haknya rakyat kebanyakan.
Karena itu, menurut Kiai Penghulu, sebaiknya Sultan Agung tetap berpuasa di bulan Ramadhan karena rakyat kebanyakan juga berpuasa.
Mendengar penjelasan itu, Sultan Agung tertawa. Lalu bertanya, “Puasanya rakyat kebanyakan itu seperti apa?”
Oohya! Baca juga ya: Tinggi Kandungan Litium, akankah Objek Wisata Bleduk Kuwu di Grobogan Ini Dijadikan Areal Pertambangan?
Kiai Penghulu pun menjelaskan, bahwa rakyat kebanyakan setiap bulan Ramadhan bangun jam tiga pagi untuk sahur. Sepanjang hari mereka tidak makan minum.
“Ketika kelelawar sudah beterbangan di sore hari, itulah waktunya berbuka,” kata Kiai Penghulu. Kelelawar akan terbang mencari makan saat matahari tenggelam.
“Apa sudah benar-benar berpuasa jika melakukan hal itu,” tanya Sultan Agung.
Kiai Penghulu pun menjawab, seperti itulah syariat berpuasa di bulan Ramadhan. Maka Sultan AGung pun lantas berpuasa Ramadhan.
Ma Roejan
Sumber rujukan:
Babad Pagedongan (1941)
Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
[email protected]