Pitan

Utusan Kompeni Menyebut Kuda Milik Empat Pejabat Mataram Disembelih oleh Sultan Agung, Apa Salah Mereka?

Adegan film Sultan Agung menggambarkan Sultan Agung menerima utusan Kompeni di hadapan para pejabat keraton. Sultan Agung pernah menyembelih kuda empat pejabat sebagai peringatan karena mereka curang.

Atas perintah Sultan Agung, kuda-kuda milik empat pejabat Mataram disembelih di hadapan para pemiliknya. Ini menjadi salah satu contoh sikap tegas yang dicatat oleh utusan Kompeni mengenai sosok Raja Mataram itu.

Sultan Agung dikenal keras dalam mengawasi anak buah. Setiap ia mengirim tumenggung-tumenggung keluar istana, Sultan Agung selalu menyertakan pejabat khusus untuk mengawasi mereka.

Sultan Agung tak ingin pejabat-pejabat di Keraton Mataram membuat kesalahan, sehingga ia harus mengawasi mereka. Ia tak ingin di sekelilingnya ada penjilat, pembohong, atau pengkhianat.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

“Para penjilat akan memberikan gambaran tentang keadaan yang tidak sesuai kenyataan. Menghadapi keadaan seperti ini, Raja hanya dapat bersikap selalu waspada,” tulis HJ de Graaf.

Oohya! Baca juga ya:

Utusan Kompeni Datang, Mengapa Sultan Agung Menanyakan Jumlah Meriam di Banten?

Sultan Agung perlu menimbulkan rasa takut, tetapi dalam ukuran seperlunya. Hal itu, menurut De Graaf, diperlukan “untuk melawan kekuatan yang merintangi dan menentang”.

“Jarang atau tidak pernah kita berkesempatan melihat Raja sebagai pribadi yang sesungguhnya, karena ia senantiasa harus tampil sebagai penguasa yang jaya. Mungkin salah satu kesempatan yang jarang ialah ketika ia mengampuni beberapa tawanan perang Belanda,” tulis De Graaf.

Ketika Sultan Agung sudah menjemur para tawanan di alun-alun untuk mentukan pilihan “sunat atau mati”, ada tawanan yang memprotes ketentuan ini. Ia kemudian meminta para tawanan duduk di tempat teduh dan menunda hukuman hingga sebulan, kendati saat itu para tawanan sudah memilih mati.

Sebulan lewat, hukuman itu tidak juga dilaksanakan, hingga akhirnya ada beberapa tawanan yang pada Juli 1632 mencoba melarikan diri. Mereka yang mencoba melarikan diri itu tertangkap, lalu dipasung di dalam tahanan.

Oohya! Baca juga ya:

Sunat atau Mati, Tawaran Sultan Agung kepada Orang Belanda yang Jadi Tawanan Mataram

Hingga tahun 1636 mereka juga tidak dihukum mati hingga akhirnya mereka berhasil melarikan diri. Pada 1642 ia meghukum mati seorang tawanan dengan cara dilempar ke kandang buaya.

Ia dihukum mati bukan karena tidak mau disunat. Melainkan karena ditemukan benda-benda sihir di rumahnya.

Di keraton ada permainan yang disebut mirobolani. Semua orang di istana diwajibkan ikut dalam permainan, ketika Sultan Agung mengelar permainan ini.

Untuk bermain mirobolani, diperlukan dua kemiri dan bambu yang sudah dibelah. Dua pemain masing-masing menyerahkan satu biji kemiri untuk ditumpuk, lalu ditutup dengan belahan bambu di atasnya.

Tumpukan dua kemiri itu kemudian dipukul dengan gandhen, yaitu palu yang terbuat dari kayu. Pemilik kemiri yang pecah, dia dinyatakan sebagai yang kalah.

Catatan-catatan Belanda menyebut, Sultan Agung biasa mengadakan permainan ini. Catatan-catatan itu dibuat oleh para utusan Kompeni yang dikirim ke Mataram.

Kompeni di Batavia rutin mengirim utusan ke Mataram untuk menjalin persahabatan dan perdagangan. Para utusan itu rupanya rajin mengatami hal yang terjadi di istana, sebab mereka tinggal di Mataram untuk jangka waktu tertentu.

Oohya! Baca juga ya:

Tiba Tengah Malam Demi Korban Tsunami Aceh, Relawan Posko Jenggala Rayakan Ulang Tahun di Bandara Dini Hari

Saat itu, pada 29 Juni 1623, empat pejabat keraton dituduh bermain curang dalam permainan mirobolani ini. Atas perbuatan curang mereka, Sultan Agung memberikan hukuman.

Sultan Agung memerintahkan pengambilan kuda-kuda milik mereka. “Dengan disaksikan oleh Raja, diambil dari rumah mereka dan dipenggal lehernya di hadapan pemiliknya,” tulis De Graaf.

Sultan Agung kemudian mengultimatum empat pejabat keraton itu. “Jika ia kelak menjumpai mereka berbuat curang lagi, ia akan memperlakuan mereka sama dengan apa yanag sekarang dilakukan terhadap kuda-kudanya,” tulis De Graaf.

Priyantono Oemar

Sumber rujukan:
Puncak Kejayaan Mataram karya HJ de Graaf (2002, edisi revisi)

Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator

Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.

Redaksi
[email protected]