Pitan

Sunat atau Mati, Tawaran Sultan Agung kepada Orang Belanda yang Jadi Tawanan Mataram

Hanya ada dua pilihan yang ditawarkan Sultan Agung kepada orang Belanda yang menjadi tawanan Mataram: sunat atau mati.

Sejak 1631, tulis HJ de Graaf, orang Belanda yang ditawan di Mataram sedikitnya ada 83 orang. Dari tahun ke tahun, Kompeni selalu berusaha membebaskan tawanan itu.

Berbagai hadiah selalu diberikan oleh Kompeni kepada Sultan Agung agar bersedia membebaskan tawanan, tetapi Sultan Agung selalu menolaknya. Kepada para tawanan, Sultan Agung hanya menawarkan dua pilihan: sunat atau mati.

Para tawanan itu, pada mulanya diborgol. Ketika mereka dipekerjakan di kepabeanan di Trayem (di perbatasan Kedu-Yogyakarta sekarang), borgol mereka dilepas saat mereka bekerja dan diborgol lagi pada malam hari.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

De Graaf menduga setelah ada tawanan yang berusaha melarikan diri, paratawanan diborgol lagi. Pada 1632 pernah ada kejadian ada tawanan yang melarikan diri pada saat mereka dipekerjakan di kepabeanan di Trayem.

Oohya! Baca juga ya: Sarung Muhaimin dan Pakaian NTT Ganjar di Acara Debat Cawapres, Apropriasi atau Apresiasi?

Di antara mereka ada Abraham Verhulst, seorang juru mudi yang masih muda. Verhulst diberi waktu sebulan untuk memikirkan tawaran: sunat atau mati. Ia memanfaatkan kesempatan di Trayem untuk melarikan diri.

“Ketika hujan lebat pada tengah malam 7/8 November 1632, dengan lima kawannya ia dapat melepaskan borgol dan kemudian merangkak melalui lubang di pagar,” tulis De Graaf.

Dari sini mereka berencana berjalan kaki ke Teluk Pananjung di dekat Cilacap. Di Teluk Pananjung mereka akan mencari kapal untuk melanjutkan perjalanan lewat laut.

Namun, di hari ketiga mereka menuju Teluk Pananjung, mereka ditangkap dan dikurung. Hukuman yang diberikan oleh Sultan Agung hanya hukum pasung. Kaki dipasung, tangan diikat di belakang, dan leher dipasung dengan bambu.

Kelompok orang Belanda yang menjadi tawanan pertama pada 1631 adalah mereka yang mengiringi utusan Kompeni Cornelis van Maseyk. Ada 24 orang yang ditangkap Mataram melalui tipu muslihat, di antara mereka ada Antonie Paulo yang membuat laporan mengenai kondisi Mataram ke Batavia.

Oohya! Baca juga ya: Menteri KKP akan Buka Lagi Ekspor Benih Bening Lobster, Kiara Sebut KKP Makin Melangkah Mundur

Pada 1639-1642, Antonie Paulo dijadikan sebagai pimpinan para tawanan. Antonie adalah wakil kepala perdagangan yang pergi di Mataram mendampingi Van Maseyk.

Dari 83 tawanan itu, pada 1641 tinggal 40 orang, lalu pada 1645 tinggal 33 orang. Pada 1645 ini sudah tidak ada nama Antonie Paulo sebagai tawanan.

Antonie Paulo harus menghadapi hukuman mati dengan cara dilempar ke kandang buaya. Ia dihukum karena dituduh telah melakukan guna-guna.

Dari seluruh tawanan yang ada, hanya delapan orang yang diberi kebebasan. Itu terjadi setelah mereka menentukan pilihan: bersedia melakukan sunat. Artinya, mereka telah meninggalkan agama mereka dan memeluk agama baru: Islam.

Yang tidak bersedia disunat ada yang dipasung, meski kemudian juga diberi kebebasan ketika mereka diperbantukan untuk pekerjaan-pekerjaan yang menguntungkan keraton. Putra Mahkota Mataram, Pangeran Adipati Anom, bergaul bebas dengan para tawanan ini.

Para tawanan memberikan permainan yang membuat Putra Mahkota merasa senang. Beberapa di antara mereka sering diajak bepergian oleh Pangeran Adipati Anom, lalu mereka disuruh adu gulat dengan rakyat.

Pada Januari 1635, pasung Verhulst dilepas. Bersama 10 tawanan lainnya ia dipekerjakan di kepabeanan di Jogoboyo.

Oohya! Baca juga ya: Anak Usia Dua Tahun Bisa Berjalan Setelah Konsumsi Kelor, Istri Ganjar Sebut Kelor yang Bisa Cegah Stunting Harganya Lebih Murah dari Moringa

Kepabeanan ini sepi. Atasan mereka tidak bisa memberi makan mereka, sehingga Verhulst dan tawanan lainnya diberi kebebasan mencai makan sendiri.

Sebagai juru mudi, ia mencari makan di dekat kali Bogowonto, tempat kapal-kapal berlabuh. Ia memperhatikan betul waktu-waktu ombak naik dan ombak surut. Pada saat ombak surut kapal bisa keluar menuju laut.

Ia pun membuat janji dengan teman-temannya untuk berkumpul di pada 14 Mei 1636, setelah melakukan berbagai persiapan. Ada yang mengupayakan perahu dan dayung, membuat roti dari beras, menyiapkan bekal air tawar, dan mengupayakan senjata.

“Di bawah bulan sabit pukul tiga dini hari, mereka berangkat dari pantai dengan pertolongan Tuhan,” tulis De Graaf.

Mereka harus menghadapi hujan, angin, dan sebagainya. Perahu mereka sempat terbalik, tetapi mereka bisa membalikkan kembali perahu untuk melanjutkan perjalanan.

Oohya! Baca juga ya: Cerita Andi Sahrandi tentang Pelajaran dari Kampung Menjelang Pilpres

Pada 21 Mei 1636 mereka tiba di sebuah pulau dan mengaku sebagai orang Inggris yang kehilangan kapal. Oleh penduduk lokal yang menerima imbalan 100 riyal Spanyol, mereka dibawa ke orang Inggris yang ada di Banten.

Maka, Verhulst tak perlu lagi memilih bersedia disunat. Hidupnya pun tidak berakhir di hukuman mati Sultan Agung.

Priyantono Oemar

Sumber rujukan:
Puncak Kekuasaan Mataram karya Dr HJ de Graaf (2002, edisi revisi)

Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
[email protected]