Sekapur Sirih

Cerita Andi Sahrandi tentang Pelajaran dari Kampung Menjelang Pilpres

Di teras belakang, Andi Sahrandi (baju putih) bercerita tentang pelajaran dari kampung menjelang pilpres. Sebagai koordinator Posko Jenggala, ia sering keluar masuk kampung untuk kegiatan kemanusiaan.
Kawan dari Bandung, Harris Harlianto, memberi tahu akan menjenguk Andi Sahrandi yang sudah pulang dari rumah sakit, awal Mei 2019. Di teras belakang rumah, Andi sedang asyik bercerita tentang pelajaran dari kampung yang ia dapat, ketika saya datang.

Sebelum terkena serangan jantung, Andi, koordinator Yayasan Kemanusiaan Posko Jenddala, berada di Lombok memberikan bantuan kemanusiaan menjelang pilpres. Gempa saat itu melanda Lombok. 

Andi duduk dengan tangan memegang tongkat panjang. "Buat apa tu tongkat Bang,’’ tanya saya menyela pembicaraan tentang pelajaran dari kampung.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Oohya! Baca juga ya: Karakter Idol Korea BT21 dan Sneakon Bekerja Sama Hadirkan Jenama Sepatu Lokal dan Karakter Global

Andi mengaku lengannya masih terasa ngilu, karena dipakai untuk memasang kateter saat penanganan medis ketika ia mendapat serangan jantung. Untuk mengurangi rasa ngilu itu ia harus menggantungkan tangannya dengan cara memegang tongkat.

Andi bercerita soal sering lupa minum obat selama bolak-balik Lombok, yang membuat ia mendapat serangan jantung lagi. Selebihnya, seperti biasa, ia bercerita tentang apa saja, termasuk cerita-cerita kearifan lokal yang ia dapat selama keluar masuk desa-desa saat melakukan kegiatan kemanusiaan.

Di Lombok, di sela-sela kegiatannya memonitor pelaksanaan pembangunan rumah bambu untuk korban gempa, ia menyempatkan diri untuk bersilaturahim dengan kiai kampung.

‘’Kiai yang tawadhu, yang tak tergiur terlibat politik praktis,’’ kata Andi.

Kami kembali menyimak cerita Andi. Tanpa memberi kesempatan kami menyela, ia meneruskan ceritanya. Saat itu sedang musim kampanye pemilihan presiden. Kepada kiai kampung itu Andi menanyakan fenomena banyaknya kiai yang terjun di dunia politik praktis atau rajin mendatangi penguasa.

‘’Kiai di kampung itu ada benarnya juga. Kata dia, tak patut ulama mengunjungi umara. Justru seharusnya umara yang mengunjungi ulama,’’ kata Andi.

Begitulah adab silaturahim antara ulama dan umara. Umara mencari nasihat dengan cara mendatangi ulama. Ulama memberi nasihat, umara menjalankannya. Bukan sebaliknya.

Oohya! Baca juga ya: Rencana Sultan Agung Mataram Menyerbu Batavia Bocor, Kompeni Hancurkan Gudang Makanan di Tegal dan Cirebon, Siapa Pembocor Informasinya?

Andi takjub dan yakin masih banyak ulama yang berpendirian seperti kiai kampung di Lombok itu. Kiai yang belum terkontaminasi oleh kepentingan kekuasaan, yang bisa menjerat ulama ikut terlibat dalam praktik korupsi.

Setiap hendak berangkat ke daerah bencana, Andi biasa membuat status di media sosial dengan nada sedikit sarias. Misalnya, daripada berisik di Jakarta, mending pergi ke kampung, sepi.

Dalam kesempatannya hendak pergi ke Lombok terakhir kali, ia menulis status di media sosial: Lebih baik ke Lombok bantu rakyat daripada ngentit duit rakyat. Di kampung, Andi masih bisa menemukan semangat kebersamaan, meski kadang Andi juga perlu mengingatkan kembali ingatan warga desa tentang makna kebersamaan.

Sejak dulu, desa memang menjadi sumber kebersamaan. Di Jawa disebut desa, di Sumatra Barat disebut nagari, di Papua disebut kampung, bukan semata tempat tinggal.

Desa juga merupakan wujud persekutuan yang bersifat rohani dan bersandar pada kekerabatan. Di Papua misalnya, untuk merayakan kebersamaan yang bersifat rohani itu, ada pesta ulat sagu.

Masing-masing kampung akan mengumpulkan ulat sagu untuk dibawa ke tempat pesta. Tempat pesta pun dipersiapkan bersama.

Oohya! Baca juga ya: Ini Arti Ndhasmu Etik, Makian Jawa karena Kesal Bukan karena Ingin Bercanda

Rajin ke desa, berarti rajin memupuk rasa yang bersifat kerohanian lewat cara mendalami kearifan-kearifan lokal yang ada. Maka, Andi termasuk orang yang heran ketika tiba-tiba muncul kasus desa hantu terkait dengan penyaluran dana desa.

Desa tentu bukan nama yang tak berpenghuni. Desa merupakan wilayah hukum terkecil yang memiliki peradaban dan kebudayaan.

‘’Lu harus ikut desa-desa di Karo, ntar gua tunjukin, perbedaan tak ada masalah di sana,’’ kata Andi mengajak saya ke kaki Gunung Sinabung, Sumatra Utara, pada tahun 2015. Andi berada di Sinabung untuk melakukan kegiatan kemanusiaan untuk korban letusan Gunung Sinabung.

Di Karo, ikatan kekerabatan dilandasi adat. Jadi, kata Andi, dalam satu keluarga berbeda agama tak menjadi persoalan.

Oohya! Baca juga ya: Raja Sedang Sibuk Sekali, Kisah Pengganti Sultan Agung Amangkurat I Pindahkan Ibu Kota Mataram

Saat keliling Karo di kaki Sinabung, Andi selalu menunjuk makam yang ada di kebun warga. DI sana ada nisan Muslim dan nisan Kristiani. Itu adalah makam-makam keluarga yang anggota keluarganya berbeda agama.

Di Lombok, begitu warga bisa menempati rumah bambu yang dibangun Andi, warga mengadakan kenduri secara bergantian.
‘’Dalam sehari ada empat rumah yang mengadakan kenduri,’’ ujar Andi.

Andi pun harus ikut kenduri itu ikut makan empat kali sehari. Saya bisa merasakan apa yang sedang dirasakan Andi dengan ikut empat kenduri dalam sehari.

Saya pernah ikut makan bajamba di Kapau sehabis warga gotong royong membangun jembatan. Sekali bajamba saja perut sudah kenyang. Bajamba adalah tradisi makan bersama di Sumatra Barat, semacam kenduri di Jawa.

Priyantono Oemar