Lincak

Raja Sedang Sibuk Sekali, Kisah Pengganti Sultan Agung Amangkurat I Pindahkan Ibu Kota Mataram

Situs Keraton Mataram di Plered, yang dibangun oleh Amangkurat I. Tiga tahun setelah naik tahta, Amangkurat I memindahkan ibu kota Mataram dari Kartosuro ke Plered.

Kompeni di Batavia rajin mengirim utusan ke Mataram. Pada November 1655, utusan Kompeni datang di Kartosuro untuk menemui Susuhunan Amangkurat I, tetapi ditolak dengan alasan “Raja sedang sibuk sekali”.

Amangkurat I naik tahta pada 1645, setelah Sultan Agung meninggal dunia. Amangkurat I bukanlah anak pertama dari Sultan Agung, melainkam anak bungsu dari 10 bersaudara beda-beda ibu.

Ia anak dari permaisuri kedua, setelah permasuri pertama harus meninggalkan keraton. Ia –yang sebelumnya bernama Pangeran Ario Mataram-- memang dipilih oleh Sultan Agung sebagai pengganti untuk meneruskan pemerintahan di Mataram.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Oohya! Baca juga ya: Ini Sebab Cendrawasih Disebut Burung Surga, oleh Micahel Idol dari Papua Dijadikan Sebagai Karakter Cerita Anak

Sejak kecil hingga usia 15 tahun, Pangeran Aryo Mataram mendapat bimbingan dari Paanembahan Puruboyo, panglima perang Mataram. Pangeran Puruboyo merupakan kakak dari ayah Sultan Agung, Prabu Anyokrowati.

Pada 1643, dua tahun sebelum naik tahta, ia dinikahkan dengan putri Pangeran Pekik dari Surabaya. Surabaya sudah menjadi daerah taklukan Mataram sebelum Sultan Agung menyerbu Batavia pada 1628.

Semasa muda, Pangeran Aryo Mataram pernah terlibat intrik politik di keraton, yaitu pada 1637. Intrik ini melibatkan Tumenggung Danupoyo dan Tumenggung Suro Agul-agul yang pernah ikut menyerbu Batavia.

Intrik ini mencuat setelah Tumenggung Danupoyo yang mendukung Pangeran Alit, adik dari Pangeran Aryo Mataram, mengadu kepada Sultan Agung. Pangeran Aryo Mataram dilaporkan telah menculik istri tercantik Wiroguno, tumenggung yang dekat dengan Kompeni.

Apa tujuan Tumenggung Danupoyo mengadukan hal ini kepada Sultan Agung? Tujuannya agar kedudukan Pangeran Aryo Mataram sebagai putra mahkota dibatalkan, lalu diberikan kepada Pangeran Alit.

“Harapan yang sia-sia,” tulis HJ De Graaf. Sebab Sultan Agung tidak berkenan dengan laporan itu. Ia memarahi kedua belah pihak.

Karena kasus ini, Pangeran Aryo Mataram sempat dihukum, dikeluarkan dari keraton. Namun, posisinya sebagai putra mahkota tetap dipertahankan oleh Sultan Agung.

Oohya! Baca juga ya: Setelah Sultan Agung Dimakamkan di Imogiri, Amangkurat I Naik Tahta Lewat Aksi Drama Panglima Perang Mataram Panembahan Puruboyo

“Tumenggung Wiroguno yang dalam keadaan marah membunuh istrinya yang dikembalikan oleh Putra Mahkota,” kata De Graaf.

Pangeran Aryo Mataram kembali ke keraton tiga tahun kemudian, pada 1640. “Suksesi ini terjadi selama sang ayah sakit,” tulis Van Goens, utusan Kompeni yang beberapa kali ke Kartosuro, seperti dikutip De Graaf.

“Mengenai putranya yang muda ini ... diusahakannya dengan sangat hati-hati dan bijaksana, supaya kekuasaan putranya atas kerajaan Jawa bahkan juga mendapat dukungan dari Wiroguno,” kata Van Goens.

Setelah Pangeran Aryo Mataram naik tahta pada 1645, ia menaikkan jabatan Tumenggung Wiroguno. Ia juga mengganti abdi-abdi keraton yang tua-tua dengan yang muda-muda. Lahir pada 1619, Pangeran Aryo Mataram naik tahta di usia 26 tahun, sebagai Susuhunan Amangkurat I.

Pada 1648, Amangkurat I berusaha memindahkan ibu kota Mataram dari Kartosuro ke Plered. Lokasi keduanya tidak berjauhan.

“Sewaktu kunjungan perutusan Belanda pada bulan Juni 1648, pembangunan keraton yang baru sudah banyak memperoleh kemajuan. Van Goens ketika itu sudah dapat melihat tembok keliling dengan pintu gerbang yang paling banyaak terpakai terletak di alun-alun utara, tempat diadakannya pertandingan tombak, dan yang satunya lagi terletak di selatan,” tulis De Graaf.

Oohya! Baca juga ya: Tsunami Aceh, Kontak Senjata TNI-GAM Membuat Anak-Anak Pengungsi di Kamp Pengungsi Posko Jenggala di Lhok Nga Ketakutan

Tapi menurut penelusuran De Graaf terhaap catatan-catatan Jawa dan Belanda, pembangunan keraton baru itu memerlukan waktu yang lama sekali. Pejabat-pejabat yang tidak setuju pemindahan keraton diikat terbaring di paseban, dijemur di bawah sinar matahari.

Pada 1649 pembangunan masjid selesai dilakukan. Istana raja baru selesai dibangun pada 1650. Tapi ada catatan Jawa yang lain, yang menurut De Graaf menyebut pembangunan istana raja baru selesai pada 1654.

“Dengan demikian, kita sudah amat mendekati isi berita utusan Winrick Kieft. Ketika utusan tersebut pada tanggal 21 November 1655 tiba di keraton, Tumenggung Pati tidak mengizinkannya untuk menghadap Raja. Katanya, ‘Raja sedang sibuk sekali ... membangun bersama permaisuri-permaisurinya suatu istana baru’,” tulis De Graaf.

Priyantono Oemar

Sumber rujukan:
Disintegrasi Mataram di Bawah Amangkurat I karya Dr HJ De Graaf (1987)

 

Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator

Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.

Redaksi
[email protected]