Lincak

Setelah Sultan Agung Dimakamkan di Imogiri, Amangkurat I Naik Tahta Lewat Aksi Drama Panglima Perang Mataram Panembahan Puruboyo

Imogiri menjadi kompleks makam raja-raja Mataram. Setelah jenazah Sultan Agung dimakamkan di Imogiri, Penembahan Puruboyo bermain drama menobatkan Amangkurat I.

Pada 1645, Sultan Agung memanggil anak-anaknya bersama Panglima Perang Mataram Panembahan Puruboyo. Panembahan Puruboyo merupakan salah satu anak dari Panembahan Senopati, pendiri Mataram yang juga kakek Sultan Agung.

Kepada Panembahan Puruboyo yang datang lebih awal, Sultan Agung menyatakan bahwa waktunya telah tiba. Ia lalu meminta pertimbangan dari Panembahan Puruboyo mengenai yang cocok menggantikannya sebagai raja Mataram.

Setelah Sultan Agung meninggal dunia dan kemudian dimakamkan di Imogiri, Panembahan Puruboyo pun bermain drama. Bahwa dialah sekarang yang menjadi penguasa Mataram, barang siapa yang ingin menentangnya silakan melawan dia.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Oohya! Baca juga ya:

Inilah 40 Nama Spesies Cendrawasih Papua yang Didata oleh Alfred Russel Wallacea, Ada Beberapa Ditemukan di Australia

Sebelum Sultan Agung meninggal dunia, ia telah meminta Tumenggung Wiroguno membuang kerisnya, Kiai Sangkelat,ke laut selatan. Sultan Agung tak ingin Kiai Sangkelat memunculkan masalah di kemudian hari sepeninggalnya.

Sebelum meninggal pula, Sultan Agung sudah membisikkan nama penggantinya kepada Panembahan Puruboyo. Pada saat Sultan Agung meminta pertimbangan sosok yang cocok sebagai pengganti, Panembahan Puruboyo malah balik bertanya kepada Sultan Agung.

Saat Sultan Agung mengembuskan napas terakhir, Gunung Merapi batuk-batuk. Ombak laut selatan juga bergemuruh. Pun datang angin puyuh serta gerimis hujan. Mataram berduka.

Jenazah dimandikan, dikafani, dishalatkan. Para modin memikulnya ke Imogiri, tempat persemayaman terakhir.

Oohya! Baca juga ya:

Tsunami Aceh, Kontak Senjata TNI-GAM Membuat Anak-Anak Pengungsi di Kamp Pengungsi Posko Jenggala di Lhok Nga Ketakutan

Usai pemakaman, tentara Mataram telah berekumpul di alun-alun. Para bupati dan para menteri yang hadir di pesowanan berbisik-bisik membicarakan siapa gerangan pengganti Sultan Agung.

Panembahan Puruboyo berujar lantang. “Ketahuilah orang Mataram. Akulah yang mengatur negeri Mataram.”

Suasana hening. Orang-orang diam menunggu kalimat lanjutannya.

“Setelah kepergian Sang Raja, akulah yang memerintah Mataram. Siapa yang hendak menghalangi, tunjukkan kekuatanmu,” tantang Panembahan Puruboyo.

Belum ada yang berani bereaksi. “Para kerabat Mataram, sekarang akulah musuhmu,” tandas Panembahan Puruboyo. Selama Sultan Agung berkuasa, daerah-daerah yang menjadi musuh ditaklukkannya.

Orang-orang yang hadir di pesowanan pada menunduk. Tak ada yang berani menentang pernyataan Panembahan Puruboyo yang sangat ditakuti musuh-musuh Mataram selama pemerintahan Sultan Agung.

Reaksi yang ditunggu tak juga muncul, Panembahan Puruboyo lalu mengangkat Pangeran Aryo Mataram. Ia mendudukkannya di singgasana gading emas.

Oohya! Baca juga ya:

Tinggi Kandungan Litium, akankah Objek Wisata Bleduk Kuwu di Grobogan Ini Dijadikan Areal Pertambangan?

Setelah itu, Panembahan Puruboyo duduk bersama para menteri. Semua orang kaget, termasuk para menteri. Tak ada yang mengira Panembahan Puruboyo melakukan hal itu.

Pangeran Aryo Mataram telah dinobatkan sebagai raja baru, sesuai yang dinyatakan oleh Sultan Agung kepada panembahan Puruboyo, sebelum meninggal dunia. Pangeran Aryo Mataram bergelar Kangjeng Sultan Mangkurat Senopati di Tanah Jawa Nagdurahman Sayidina Patanagama.

Dikenal sebagai Amangkurat I, sebenarnya dia bukan anak pertama dari 10 anak yang dipunyai Sultan Agung. Dia anak dari permaisuri kedua. Babad menyebut orang Mataram menyukainya, dan musuh menakutinya.

Ma Roejan

Sumber rujukan:
Babad Tanah Jawi Buku II, penerjemah Amir Rochyatmo, penyunting Sapardi Djoko Damono dan Sonya Sondakh (2004)

Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator

Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.

Redaksi
[email protected]