Lincak

Utusan Kompeni Datang, Mengapa Sultan Agung Menanyakan Jumlah Meriam di Banten?

Adegan film Sultan Agung. Kepada utusan Kompeni yang datang di Mataram, Sultan Agung menanyakan banyak hal. Termasuk menanyakan jumlah meriam yang dimiliki Banten.

Kepada utusan-utusan Kompeni yang rutin datang ke Mataram, Sultan Agung rajin bertanya. Tak heran jika Sultan Agung dicatat oleh mereka sebagai sosok yang memiliki keingintahuan yang tinggi.

Sultan Agung tak hanya mengajukan pertanyaan untuk menambah pengetahuan. Menurut De Graaf, Sultan Agung juga menanyakan hal-hal untuk tujuan politik, seperti menanyakan jumlah meriam di Banten.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Hendrik de Haen menjadi utusan yang detail melakukan pengamatan. Ia menyebut Sultan Agung memiliki kulit lebih hitam dari orang Jawa pada umumnya, hidungnya kecil tidak pesek, mulutnya datar agak lebar, wajahnya bulat, berbadan bagus.

Sultan Agung digambarkan sebagai sosok yang tampak cerdas. "Memandang sekelilingnya seperti singa,” tulis De Graaf mengutip Jonge.

Oohya! Baca juga ya: Tiba Tengah Malam Demi Korban Tsunami Aceh, Relawan Posko Jenggala Rayakan Ulang Tahun di Bandara Dini Hari

De Haen tercatat pertama kali mengunjungi Mataram pada 1622. Pada 1624 ada P Fransen yang dikirim Kompeni sebagai utusan, tetapi Sultan Agung tidak bersedia menerimanya. Entah kenapa.

Lalu dikirim utusan Jan Vos pada 1624 juga yang mencatat penampilan Sultan Agung. Raja Mataram itu disebut memakai kuluk putih.

Sultan Agung juga mengenakan serasah kebar yaitu kain batik panjang berpola mosaik dari Koromandel. Ukurananya; panjang 5,1 meter, lebar 64 cm.

Baju yang dikenakan adalah beledu hitam dengan hiasan dedaunan berbentuk bunga susun, berwarna emas. Kerisnya yang sederhana diselipkan di punggung.

Oohya! Baca juga ya: Cerita Setelah Sultan Agung Kalah dari Kompeni dan Orang Orang Eropa yang Menjadi Bawahan Raja-Raja Jawa

Sultan Agung mengenakan terompah kayu. Cincin bermata empat-lima butir intan dikenakan di jari.

Di kali lain, Sultan Agung dicatat mengenakan kain batik produksi Mataram, berwarna biru. Ia mengenakan sabuk emas, keris diselipkan padanya di bagian depan badan.

Kuluk putihnya dibuat dari kain linen. “Yang sejak masukanya agama Islam dipakai oleh mereka yang taat atau yang ingin dianggap taat beribadah,” tulis De Graaf.

Sultan Agung mengisap tembakau dari pipa berlapis perak. Ini adalah pipa yang tidak boleh dimiliki oleh pembesar-pembesar kerajaan, kecuali dirinya.

Kepada De Haen yang menjadi utusan lagi pada 1623 Sultan Agung menanyakan alasan JP Coen pulang ke Belanda pada 1623. Ini pertanyaan untuk tujan politik.

JP Coen menjadi gubernur jenderal Kompeni pada 1619-1623 dan 1627-1629. Ia kadang mengajukan pertanyaan untuk menguji utusan. Misalnya, meski sebeleumnya sudah pernah bertemu, ia menanyakan lagi nama utusan itu berikut artinya.

Di Jawa, nama diri selelalu memiliki arti. Ia juga menanyakan nama-nama gubernur jenderal.

Oohya! Baca juga ya: Berkaca pada Hilirisasi yang Dibicarakan Selepas Debat Cawapres

“Pada kunjungan De Haen yang pertama, ia menanyakan peta dunia semesta, agar dapat melihat letak negeri Belanda, Inggris, dan Spanyol,” tulis HJ de Graaf mengutip catatan JKJ Jonge.

Sultan Agung juga menanyakan jumlah meriam yang ada di Banten. Tetapi, selama memerintah sejak 1613 hingga 1646, Sultan Agung tidak pernah berhasil menaklukkan Banten.

Selain itu, lanjut De Graaf, “Raja sangat berterus terang tentang rencana-rencananya bahkan tentang rencana jangka panjang.”

Terbiasa melihat huruf Jawa, Sultan AGung tertawa geli melihat huruf Latin yang dipakai oleh orang-orang Belanda. Sultan Agung menduga memerlukan waktu tiga tahun baru bisa menguasai huruf dan bahasa Belanda.

Oohya! Baca juga ya: Dapat Tugas Cari Anggota Pramuka Non-Muslim, Mengapa Para Santri dari Karawang Ini Mondar-Mandir Cari WC di Kemah Bakti Harmoni Beragama?

“Sehubungan dengan ini, maka usulnya menarik perhatian, yaitu hendaknya seseorang berdiam padanya di Karto, untuk mempelajari bahasa (Jawa) dan membicarakan segala yang terjadi secara lisan,” tulis De Graaf.

Saat itu, di Mataram ada orang-orang Belanda yang menjadi tawanan. Salah satunya, Jan Jeremiasz, yang kemudian menjalankan keinginan Sultan Agung itu.

Priyantono Oemar

Sumber rujukan:
Puncak Kekuasaan Mataram karya Dr HJ de Graaf (2002, edisi revisi)

 

Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
[email protected]