Lincak

Cerita Setelah Sultan Agung Kalah dari Kompeni dan Orang Orang Eropa yang Menjadi Bawahan Raja-Raja Jawa

Adegan film Sultan Agung, saat Sultan Agung mengadu kepada Sang Ibu setelah kalah dari Kompeni. Sultan Agung pernah berkinginan memiliki bawahan orang Eropa untuk berdiskusi dan mengajar bahasa.

Sebelum kalah dari Kompeni, Sultan Agung pernah berharap ada orang Eropa yang bekerja untuknya di keraton. Keinginannya itu, menurut HJ de Graaf, terucap pada 1622, lima tahun sebelum menyerbu Batavia.

Sebelumnya, sudah ada beberapa orang Eropa yang menjadi bawahan raja-raja Jawa. Di istana Pajang, misalnya, ada juru taman yang merupakan orang Inggris. Di Cirebon, ada Anthonio Vissozo yang menjadi penasihat Sultan Sepuh.

Di Madura ada Toontje Poland yang menjadi ajudan Sultan Madura. Mataram juga pernah memiliki Pedro Italiano, orang Venesia yang menjadi utusan Prabu Anyokrowati saat memulai menjalin hubungan dengan Kompeni.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

“Utusannya, Juan Pedro Italiano, diduga seorang petualang bangsa Eropa yang masuk Islam,” tulis HJ de Graaf.

Oohya! Baca juga ya:

Tiba Tengah Malam Demi Korban Tsunami Aceh, Relawan Posko Jenggala Rayakan Ulang Tahun di Bandara Dini Hari

Sultan Agung memerlukan orang Barat agar bisa berdiskusi mengenai politik luar negeri. Iajuga berharap orang Barat itu bisa mengajarkan bahasa asing di lingkungan keraton.

Bagaimana sebelumnya Sultan Agung mengetehaui perkembangan dunia? Ia, misalnya, mengetahui Portugis berhasil mendesak pasukan Aceh, sehingga ia perlu meminta bantuan Portugis ketika hendak menyerbu Kompeni di Batavia pada 1628.

Portugis, kata MC Ricklefs, baru benar-benar bisa menghentikan gerakan-gerakan ekspansi Aceh baru pada 1629. Tetapi baru awal 1631 Portugis memberi tahu Sultan Agung bahwa Portugis siap membantu armada laut jika Sultan Agung menyerbu Batavia lagi.

“Pada tahun 1635-6, tampaknya dia menarik kesimpulan bahwa pihakm Portugis tidak akan cukup kuat untuk mengalahkan Belanda,” tulis Ricklefs.

 

Oohya! Baca juga ya:

Sebelum Menyerbu Kompeni di Batavia, Sultan Agung Mataram Meminta Bantuan Portugis tetapi Baru Disetujui Dua Tahun Setelah Penyerbuan Usai

Lalu, Sultan Agung menarik diri dari tawaran persahabatan dengan Portugis. Ia kembali menjalin hubungan dagang dan diplomatik dengan Kompeni.

Setelah mengalami kekalahan dari Komoeni, Sultan Agung meramalkan bahwa akan ada penerusnya yang bersahabat dengan Kompeni. Tapi pernyataan ramalan ini disebut Ricklefs sebagai upaya Sultan Agung menyembunyikan kekalahannya dari Kompeni.

Pertempuran-pertempuran kecil Mataram-Kompeni selalu ada di masa-masa berikutnya, tetapi Mataram mencoba membuka pelabuhan untuk kapal-kapal Kompeni. Sultan Agung, kata Ricklefs, telah membaca kekuatan-kekuatan di sekelilingnya.

“VOC tidak dapat diusir dari Batavia; pihak Portugis terlalu lemah untuk dimintai bantuan; dan yang terpenting, musuh-musuh pribumi kembali bangkit sehingga perhatian terhadap mereka harus diprioritaskan,” tulis Ricklefs mengenai analisis yang dibuat Sultan Agung.

Maka, Sultan Agung segera melakukan penumpasan terhadap Sumedang dan Ukur yang tidak lagi menyembah Mataram setelah penyerbuan ke Batavia. Ia harus pula menyelesaikan rencana pemberontakan tokoh-tokoh mistik Jawa yang menyamar sebagai pengemis memprovokasi penduduk di 26 desa di sekitar keraton.

“Setelah dua kali kalah di Batavia, Susuhunan tidak lagi berusaha untuk ketiga kalinya merebut kota itu. Raja kini mengalihkan upayanya pada usaha mendapatkan penghormatan yanag jelas dari pihak Kompeni,” tulis De Graaf.

Oohya! Baca juga ya:

Mengapa Sultan Agung Menangkapi Para Pengemis Setelah Mataram Kalah dari Kompeni?

Pada 11 April 1630 utusan Mataram tiba di Batavia. Mereka membawa 10 kantong beras, seekor sapi, 10 ekor ayam, dan buah-buahan.

“Utusan itu memohon kepada Gubernur Jenderal agar bersama dia dikirim seseorang yang layak menyampaikan hasrat damai kepada Susuhunan,” tulis De Graaf.

Kompeni tidka percaya begitu saja. Sehingga perlu mencari tahu bahwa surat persahabatan yang dibawa utusan itu benar-benar sepengetahuan Sultan Agung. Kompeni menjawab surat itu, tetapi belum mengirimkan utusan.

Priyantono Oemar

Sumber rujukan:
Puncak Kekuasaan Mataram karya Dr HJ de Graaf (2002, edisi revisi)
Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 karya MC Ricklefs (2005)

Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator

Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.

Redaksi
[email protected]