Lincak

Mengapa Sultan Agung Menangkapi Para Pengemis Setelah Mataram Kalah dari Kompeni?

Foto menggambarkan adegan film Sultan Agung. Setelah kalah dari Kompeni pada 1628-1629, Sultan Agung mengalami tekanan. Ia pun harus menangkapi para pengemis dan mengirim pasukan ke Ukur dan Sumedang.

Setelah kalah dari Kompeni pada 1628 dan 1629, Sultan Agung mengalami tekanan. Bukan hanya Adipati Ukur dan Adipati Sumedang yang melakukan pemberontakan, 27 desa di dekat keraton juga menjadi sasaran provokasi untuk menggulingkan Raja Mataram itu.

Para pengemis keluar-masuk ke 27 desa itu. Mereka, kata HJ de Graaf, “Minta nasi, tembakau, dan lain-lain bahan makanan, serta membujuk rakyat agar memihak mereka dengan janji dapat menggulingkan Susuhunan dan bahkan memilih seorang raja dan lain-lain pembesar.”

Informasi ini sampai di telinga Sultan Agung. Sultan Agung pun kemudian menangkapi para pengemis yang telah melakukan provokasi itu.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

“Tiap hari kami melihat orang yang bersekongkol dibawa ke kota Mataram untuk diperiksa,” tulis HJ de Graaf mengutip catatan Pieter Franssen, penerjemah yang mendampingi utusan Kompeni yang datang di Mataram pada 1630.

Oohya! Baca juga ya: Sarung Muhaimin dan Pakaian NTT Ganjar di Acara Debat Cawapres, Apropriasi atau Apresiasi?

Jika tindakan para pengemis itu tidak segera ketahuan, masyarakat di 27 desa itu bisa terprovokasi untuk melakukan pemberontakan. “Suatu organisasi mulai didirikan oleh mereka yang lahiriah tampak seperti pengemis,” tulis De Graaf.

Siapakah para pengemis itu? “Para pengemis itu bukan orang miskin biasa,” jawab De Graaf.
Mereka merupakan kaum spiritual pengembara, yang menyamar menjadi pengemis. Babad Sengkala menyebut mereka berasal dari selatan Wedi, yang berguru kepada Syekh Bungas.

Wedi terletak di barat laut Tembayat, sekarang masuk wilayah Kabupaten Klaten. Tembayat (Bayat) merupakan tempat Ki Ageng Pandanaran (Sunan Tembayat), penguasa Semarang pada masa Kerajaan Demak, dimakamkan.

“Sebenarnya dahulu Wedi adalah pusat tradisi kuno, pra-Islam, dan Pigeaud menunjukkan kepada saya bahwa kiai dari Wedi sama sekali bukan santri melainkan penganut aliran mistik Jawa, penuh dengan kepercayaan rakyat pra-Islam,” tulis De Graaf.

De Graaf menduga, para pengemis yang menggalang pemberontakan itu berasal dari lingkaran pusat mistik Kejawen di Tembayat. Yang menarik, menurur De Graaf, Pangeran Teposono memiliki sebidang tanah di Taji yang digarap oleh 100 penduduk.

Oohya! Baca juga ya: Menteri KKP akan Buka Lagi Ekspor Benih Bening Lobster, Kiara Sebut KKP Makin Melangkah Mundur

Taji merupakan desa tempat para pengemis dan penduduk desa yang sudah bergabung dengan mereka, membangun gubuk-gubuk. Anak dari Pangeran Teposono, Anggayuda, memiliki paham yang sama dengan aliran mistik Kejawen orang-orang Tembayat.

Teposono adalah sepupu Panembahan Seda ing Krapyak. Panembahan Seda ing Krapyak adalah Prabu Anyokrowati, raja Mataram sebelum Sultan Agung, yang merupakan ayah dari Sultan Agung.

“Semasa hidup Sultan Agung, Pangeran Teposono ini memberontak, segera diketahui, diturunkan pangkatnya, dan ditempatkan di daerah luar gerbang Taji. Ia diberi 100 orang dan tanah untuk bercocok tanam, [...] pada sekitar1657, ia meninggal di tempat itu,” tulis De Graaf.

Maka, Sultan Agung kemudian melakukan ziarah ke Tembayat, setelah memadamkan rencana pemberontakan para pengemis itu. Itu terjadi pada tahun 1633.

Sebelum melakukan ziarah, Sultan Agung memerintahkan dikumpulkananya 50 ribu orang di Tembayat. Sebelum Mataram berdiri, Tembayat masuk wilayah Kerajaan Pajang. De Graaf menduga, mereka yang lebih berkhidmat kepada Pajang, lalu memunggungi Mataram setelah Mataram kalah dari Kompeni. Mereka anti-Kompeni.

Lima puluh ribu orang yang dikumpulkan dari Tembayat itu, oleh Sultan Agung kemudian dikirim ke Batavia dan Palembang. Sultan Agung juga memugar makam Ki Ageng Pandanaran.

Tentang Ukur dan Sumedang, Dipati Ukur dan Dipati Sumedang juga diminta oleh Sultan Agung untuk menyerbu Batavia. Tetapi ketika pada penyerbuan pertama, 1628, Mataram kalah, orang-orang Ukur dan Sumedang tidak pulang ke negeri mereka, melainkan ke Banten.

Oohya! Baca juga ya: Cerita Andi Sahrandi tentang Pelajaran dari Kampung Menjelang Pilpres

Sultan Agung membiarkan mereka. Tetapi ketika mereka melawan Mataram setelah penyerbuan ke Batavia, Sultan Agung mengirim pasukan ke Ukur dan Sumedang pada 1630 untuk menumpas pemberontakan mereka.

Sumedang merupakan wilayah yang sekarang terletak di sebelah timur Bandung. Sedangkan Ukur, memiliki pusat pemerintahan di Tegalluar, yang sekarang menjadi lokasi stasiun kereta api cepat. Wilayah kekuasaannya saat itu mencakup Subang.

Priyantono Oemar

Sumber rujukan:
Puncak Kekuasaan Mataram karya Dr HJ de Graaf (2002, edisi revisi)

Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator

Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.

Redaksi
[email protected]