Bukan karena Kalah Perang dari Kompeni, Mengapa Sultan Agung Menjatuhkan Hukuman Mati kepada Panglima Penyerbuan Batavia?
Nasib Tumenggung Suro Agul-agul ada di tangan Sultan Agung. Ia juga harus menemui ajal setelah menerima hukuman mati, seperti halnya Adipati Mandurorejo dan Adipati Upo Sonto yang ia hukum mati dengan mengatasnamakan perintah raja.
Sultan Agung menganggap Suro Agul-agul salah menjalankan perintah. Karena pasukannya tidak bisa menaklukkan Batavia, maka Sultan Agung memerintahkan Suro Agul-agul agar menghukum pasukan yang dipimpin oleh Mandurorejo, bukan menghukum Mandurorejo.
Tumenggung Suro Agul-agul adalah panglima penyerbuan Batavia pada 1628. Di atas Suro Agul-agul ada Panembahan Juminah, Pangeran Puger, Panembahan Puruboyo (Purboyo). yang merupakan keturunan raja.
Oohya! Baca juga ya:
Di bawah Suro Agul-agul ada Adipati Mandurorejo dan Adipati Upo Sonto, dua bersaudara yang dekat dengan Sultan Agung. Ketika Mandurorejo berangkat ke Batavia, harapannya, Batavia sudah hampir ditaklukkan oleh Tumenggung Baurekso, sehingga begitu tiba di Batavia tinggal menyita barang-barang Kompeni.
Tumenggung Baurekso yang datang lebih dulu pada 21 Agustus 1628 tewas dalam pertempuran di luar benteng pada 21 Oktober 1628.Kedua anaknya juga mengalami nasib sama.
Pada 21 Oktober itu, Kompeni mengerahkan 2.866 prajurit untuk menyerang kemah-kemah pasukan Mataram. Mereka harus menyusuri sungai dengan beberapa kapal yang masing-masing memuat 150 orang. Ada dua sampan dan tujuh sekoci untuk mencapai daratan.
Kemah pasukan Mataram diserang dari arah sungai dan darat. Kemah Baurekso mendapat kesempatan serangan kedua.
Dalam pertarungan jarak dekat kemah direbut dan dibakar. “Di antara sekitar 200 musuh yang gugur terdapat pula Tumenggung Baurekso dan putranya, dan banyak bangsawan lainnya,” tulis De Graaf.
Oohya! Baca juga ya:
Kompeni kemudian juga menyerbu kemah-kemah Mataram yang ada di Marunda. Korban di Kompeni hanya 60 prajurit yang tewas, tetapi 140 prajurit kehilangan senjata, direbut oleh tentara Mataram.
Namun, Mataram kehilangan banyak kapal karena dirampas atau dirusak oleh Kompeni. Dari 200 kapal, tinggal 50 kapal.
Melihat kondisi ini, Mandurorejo memikirkan siasat baru. Sebanyak 3.000 anak buahnya ia kerahkan untuk membendung Kali Ciliwung agar tidak bisa dilewati lagi oleh kapal-kapal Kompeni.
Tetapi para prajurit kehabisan tenaga, sehingga ketika usaha pembendungan sudah berjalan sebulan, Kali Ciliwung belum juga selesai dibendung. Pasokan makanan tersendat, sehingga para prajurit kelaparan.
Mandurorejo hanya menyerang Kompeni sekali, yaituterjadi pada 27 November 1628. Pada serangan pertama dikerahkan 100 prajurit, disusul kemudian 300 prajurit.
Namun, mereka juga tidak berdaya di tangan Kompeni. Banyak yang tewas, sisanya melarikan diri.
“Oleh karena itu, pada 1 Desember Tumenggung Suro Agul-agul memerintahkan mengikat Mandurorejo dan Upo Sonto berikut anak buahnya dan melalui pengadilan dan atas perintah Raja Mataram dihukum mati karena Batavia tidak ditaklukkannya dan karena mereka tidak bertempur mati-matian,” tulis HJ de Graaf.
Oohya! Baca juga ya:
Pada 3 Desember 1628, sisa-sisa pasukan Mataram meninggalkan Batavia. Sebanyak 744 mayat prajurit Mataram yang dieksekusi bersama Mandurorejo dan Upo Sonto dibiarkan di Batavia. jenazah Mandurorejo dibawa ke Kaliwungu untuk dimakamkan di Kaliwungu.
“Tumenggung Suro Agul-agul harus menebus kekeliruan yang fatal itu. Ia pun bersama-sama banyak bangsawan dihukum mati. Para bangsawan itu dijatuhi hukuman karena mereka tidak merebut kemenangan,” tulis De Graaf.
Priyantono Oemar
Sumber rujukan:
Puncak Kejayaan Mataram karya Dr HJ de Graaf (2002, edisi revisi)
Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
oohya.republika@gmail.com