Kata Diponegoro, Anak Raja Majapahit yang Dibuang ke Grobogan Sungkem kepada Bidadari Sang Ibu Mertua untuk Dapat Restu
Babad Tanah Jawi tidak menceritakan jika Nawangwulan datang di acara pernikahan putrinya, Nawangsih. Jadi, anak Raja Majapahit yang menikahi Nawangsih tidak pernah sungkem kepada sang bidadari ibu mertua itu.
Diponegoro memiliki versi lain. Sebelum pulang ke Kahyangan, Nawangwulan berpesan kepada Joko Tarub, suaminya, jika kelak menikahkan Nawangsih, ia minta diundang.
Caranya dengan membakar merang ketan merah. Maka, Nawangwulan akan turun ke Tarub, Grobogan, untuk memberi restu kepada pengantin.
Bondan Kejawan, Diponegoro menulisnya dengan nama Bondan Surati, dibuang oleh ayahandanya, Raja Majapahit, ke Grobogan. Prabu Brawijaya memberikannya kepada Ki Ageng Tarub (Joko Tarub), lalu berpesan jika sudah dewasa agar dinikahkan dengan anak Ki Ageng Tarub.
Oohya! Baca juga ya:
Punya Ibu Mertua Seorang Bidadari, Adik Raden Patah Ini tidak Pernah Sungkem kepada Ibu Mertuanya
Nawangsih, anak Joko Tarub dari istrinya yang bidadari, Nawangwulan –Diponegoro menyebutnya Nawangsasi, mengajukan syarat. Pernikahannya harus dihadiri sang ibu yang belum pernah ia lihat wajahnya.
Ketika asap merang ketan merah sampai di Kahyangan, Dewi Nawangwulan menduga jika anaknya, Nawangsih, sudah mendapatkan jodoh. “Kaki, ada keperluan apa?” tanya Nawangwulan setelah tiba di Tarub bertemu dengan Joko Tarub.
Namun, menurut Diponegoro, Nawangwulan turun ke bumi bukan untuk menemui Ki Ageng Tarub, suami yang dianggap telah ingkar dan menipu dirinya. Ia hanya ingin menemui Nawangsih dan calon menantunya, Bondan Kejawan yang disebut Diponegoro sebagai Bondan Surati.
Ki Ageng Tarub pun meminta maaaf atas segala kesalahannya di masa lalu, lalu mempersilakan Nawangwulan mengambil tempat duduk. “Anakmu Nawangsih mau bersembah sujud kepadamu,” kata Ki Ageng Tarub.
Oohya! Baca juga ya:
Diponegoro Memberi Izin Sentot Panglima Perang Memungut Pajak, tetapi Mengapa Ia Menyesal Kemudian?
Nawangsih pun segera sungkem kepada ibunya, merangkul dan mencium kakinya. “Aduh Nawangsih anakku, sudahlah, duduklah anakku,” kata Nawangwulan.
Nawangsih lalu duduk. Nawangwulan menanyakan alasan Ki Ageng Tarub mengundangnya.
“Aku mengundangmu oleh karena putrimu, Ni Roro Nawangsih, jika kiranya engkau setuju, akan kukawinkan, oleh karena sudah ada pula jodohnya, yakni putra Raja Majapahit, yang telah menjadi pusat pikiranku, bernama Raden Bondan Surati,” jawab Ki Ageng Tarub.
“Ya, Kaki, aku setuju. Oleh karena ia merupakan benihnya raja-raja di Tanah Jawa yang dikehendaki oleh Tuhan,” jawab Nawangwulan.
Nawangwulan lalu menanyakan persetujuannya dari Nawangsih. Nawangsih menyerahkan keputusannya kepada sang ibu, karena dia sebatas menjalankannya, jadi akan menurut pada keputusan kedua orang tuanya.
Nawangwulan pun menanyakan keberadaan calon menantunya, anak Raja Majapahit, yang tidak ada di antara mereka. Ki Ageng Tarub menjelaskan jika Bondan Kejawan sedang ada di padepokan.
Oohya! Baca juga ya:
Mengapa Banyak Mahasiswa Berminat Mengikuti E-Learning BSN untuk Materi Pengantar Standardisasi?
Bondan Kejawan pun diundang untuk datang. Ketika Bondan Kejawan datang bersama utusan yang menyampaikan undangan, Ki Ageng Tarub segera mengenalkan calon menantunya itu kepada calon ibu mertua.
“Ayo, bersembah sujudlah kepadanya,” pinta Ki Ageng Tarub. Bondan Kejawan pun lalu sungkem kepada Nawangwulan.
“Kaki Bondan Surati, aku titip adikmu. Banyak maafmu sajaah atas kesalahan yang dibuatnya. Untuk sementara, manjakanlah ia. Di samping itu, belas kasihanilah anak yang telah jauh dariku itu,” kata Nawangwulan.
Bondan Kejawan mengiyakannya. Nawangwulan lalu berpesan kepada Nawangsih.
“Janganlah engkau sampai merasa waswas pada semua kehendak kakakmu,” kata Nawangwulan kepada Nawangsih. Nawangsih menahan haru lalu menangis di pangkuan ibunya.
OOhya! Baca juga ya:
BSN Bicara Soal UMKM dan Carbon Capture Storage yang Disinggung Gibran di Debat Cawapres
“Akan tetapi, ibunya kemudian musnah, padahal perasaan rindu Dewi Nawangsih masih belum terpuaskan,” tulis Diponegoro dalam babadnya yang diterjemahkan oleh Amen Budiman.
Nawangwulan pun pulang ke Kahyangan dengan perasaan remuk redam. Ia juga berlinang air mata.
“Nawangsih anakku gusti, sudahlah, janganlah engkau menangis," kata Nawangwulan.
Ia meminta Nawangsih untuk pasrah pada takdir. Nawangwulan pun menegaskan jika ia tak bis alagi menadi manusia biasa.
"Sudahlah, selamat tinggal anakku. Rukunlah engkau hidup bersama suamimu, Ki Bondan Surati. Patuhilah nasihatku. Kaki, aku pamit pulang. Suamiku, selamat tinggal, aku minta diri, aku mau pulang,” kata Nawangwulan.
Joko Tarub mencoba mencegahnya agar Nawangwulan tinggal sampai tujuh hari ke depan. Ternyata ia juga sangat rindu kepada istrinya itu, tetapi sudah tidak bisa lagi. Nawangwulan sudah melesat ke angkasa.
Oohya! Baca juga ya:
100 Tahun Wafatnya Diponegoro, tidak Omon-Omon Saja seperti Kata Prabowo Subianto
Nawangsih jatuh pingsan. “Nawangwulan, ibuku, alangkah aniayanya ibu, memberi sakit, tidak mati,” kata Nawangwulan dalam pingsannya.
Ki Ageng Tarub mencoba membangunkah Nawangsih.
Ma Roejan
Sumber rujukan:
Babad Dipanegara Jilid 1 karya Diponegoro, diterjemahkan oleh Amen Budiman (1980)
Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
[email protected]