Lincak

Jadi Pahlawan Nasional, Tabrani Diteriaki Negro oleh Anak Kecil di Belanda

Tabrani dan Djamaluddin Adinegoro berfoto berdua saat di Eropa.

Setelah mengarungi samudra selama sebulan lima hari, Tabrani tiba di Belanda. Meski berangkat dengan tiket kelas empat kapal JP Coen, di Belanda ia mengaku mendapat sambutan luar biasa.

Ternyata, sebelum ia tiba di Belanda, kantor berita Aneta telah memberitakan keberangkatannya. Beberapa pemimpin redaksi koran Belanda di Batavia ternyata juga sudah meminta kolega mereka di Belanda menyambut Tabrani.

“Harian dan mingguan Belanda memuat berita tentang kedatangan saya lengkap dengan gambar-gambarnya,” tulis Tabrani di buku biografinya.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Selama tiga hari ia disanjung-sanjung di Belanda. Tapi, setelah itu seperti disambar petir ketika mengetahui di Belanda tidak ada sekolah jurnalistik.

Oohya! Baca juga ya: Ke Belanda Tempati Kabin Kapal Kelas Empat yang Sumpek, Tabrani Bisa Menyantap Makanan Penumpang Kelas Satu

Menjadi wartawan di Belanda adalah karena bakat. Di Belanda, wartawan memang dituntut memiliki pengetahuan umum, tetapi tidak boleh jatuh cinta pada ilmu pengetahuan.

Wartawan yang memiliki gelar sarjana justru tidak lancar menghasilkan karya jurnalistik. Hal itu terjadi karena mereka segan kepada profesor-profesor mereka.

Maka, kata Tabrani, kebanyakan wartawan di Belanda hanya berpendidikan sekolah menengah yang memiliki bakat. Kalaupun ada sarjana yang menjadi wartawan itu terjadi karena panggilan hati untuk menghargai bakatnya.

Tabrani sempat meratapi nasibnya, jauh-jauh ke Belanda ternyata sekolah yang dicari tidak ada. Ia pun mencari kesibukan lain di Belanda sambil mencari peluang sekolah jurnalistik di Jerman.

Ia membantu koran De Telegraaf dan menulis untuk koran-koran di Indonesia. Suatu hari, sebelumia menjadi pembantu di De Telegraaf, ia diwawancara wartawan De Telegraaf.

Oohya! Baca juga ya: Jadi Pahlawan Nasional, Tabrani Pernah Jadi Juara Lomba Betis di Pesta Dansa Atas Nama Nona Rini

Ia ditanya soal perjalanannya ke Belanda, soal pemberontakan PKI sebelum ia berangkat ke Belanda, soal pergerakan kemerdekaan, dan sebagainya.

Selama menjadi aktiis pergerakan kemerdekaan, Tabrani sudah kenyang berurusan dengan polisi Belanda di Indonesia. Merasakan perlakuan diskrimatif ketika menjadi wartawan, karena wartawan koran Indonesia tidak pernah diundang untuk menghadiri sidang-sidang Volksraad.

“Kemudian kami berbicara sedikit tentang perjalanan itu, tentang kesan pertamanya di Belanda dan pada saat itu seorang anak laki-laki Utrecht datang dan berdiri di depan meja kafe kami,” tulis De Telegraaf tentang wawancaranya dengan Tabrani.

“Anak laki-laki itu menatap rekan saya dengan perhatian yang tidak tersamar. Ketika saya meminta anak laki-laki yang berpakaian rapi itu menjauh, dia berkata dengan tegas, ‘Negro’," lanjut De Telegraaf.

Teriakan “negro” itu tentu tidak ditujukan kepada wartawan De telegraaf, melainkan kepada Tabrani. Tabrani tidak menggubris tindakan rasial dari anak Belanda itu.

Ia, misalnya, tidak meniru Tan Malaka yang sukses membungkam orang dewasa Belanda:

Pengalaman saya di Belanda di antara mereka yang kurang ajar, baik di jalan-jalan ataupun di lapangan olah raga, jangan sekali-kali mengalah. Kalau kita mengalah kepada Belanda, maka dia akan lebih kurang ajar dan kita akan lebih lantas-angan.

Kalau di jalan raya memanggil vuile Neger ataupun water Chinees, lalu kita menghampiri dan bertanya “apa kamu bilang? Sebutkan sekali lagi” sambil siap sedia, maka 99 dari 100 kejadian dia akan berkata: “niets meneer” atau bungkam mulut.

Kalau di lapangan Bola si Belanda sedikit saja tersinggung, memaki kita, jangan sekali-kali makiannya itu dibalas dengan makian. Dia akan lebih rewel dan mengeluarkan 1001 makian pula “Groote bek opzetten”.

Hantam saja tetapi secara sportif! Pasti dia akan menjadi lebih sopan, minta maaf atau tutup mulut. Pendeknya, resep saya, Belanda jangan sekali-kali dikasih hati.

Oohya! Baca juga ya: Etnolog Belanda PJ Veth Heran Ratu Kalinyamat Bisa Menjadi Pemimpin di Negeri Islam dan Bertapa Telanjang

Setelah mendapat teriakan “negro” itu, Tabrani digambarkan tetap tenang. Kejadian itu kemudian mendorong wartawan De Telegraaf bertanya soal pemuda Hindia ini.

Sebelumnya, yaitu pada 1926, Tabrani juga harus berurusan dengan polisi Hindia Belanda karena tulisan-tulisannya di Hindia Baroe. Pada 27 Februari 1926, ia menulis kasus yang menimpa dirinya itu dalam judul “Hindia Baroe Ditimpah Hoedjan Persdelict”.

Oohya! Baca juga ya: Ratu Kalinyamat Jadi Pahlawan Nasional, Ternyata Penguasa Maritim yang Bantu Aceh dan Malaka Melawan Portugis

Ada lima tulisan yang menyebabkan Tabrani dipanggil polisi pada 1 Maret 1926, yaitu:

“Korban Kewadjiban atau Korban Perempoean” (10 Oktober 1925). Tulisan ini membahas kasus polisi bernama Meyer yang mati. Versi polisi ia mati ditembak penjahat. Tapi, berdasarkan laporan dari pembantu Hindia Baroe di Pekalongan, Meyer menyukai perempuan yang sudah bersuami dan suami perempuan itu menembak Meyer.

“Tentang Itoe Hoofdagent Politie jang Diboenoeh” (12 Oktober 1925). Tulisan ini masih membahas kasus Meyer, menguraikan detail kronologinya.

“Pembunuhan Meyer” (24 Oktober 1925). Tulisan ini mengurai ruwetnya kasus Meyer, termasuk desas-desus yang menyertai munculnya kasus itu.

“Kekoeasaan Gemeente” (19 Desember 1925). Tulisan ini membahas ketidakadilan yang menimpa peternak pribumi dan peternak Belanda di Bogor. Peternak pribumi yang hanya memiliki 1-2 sapi juga diwajibkan membuat kandang. Yang tak membuat kandang susu mereka tak boleh menjual susu.

“Lintah Darat” (21 Januari 1926). Tulisan ini membahas kasus kelaparan dan munculnya lintah darat. Jika pemerintah tak bisa memberantas lintah darat ini, pemerintah disebut tak kalah bengisnya dengan lintah darat.

Oohya! Baca juga ya: Jadi Pahlawan Nasional, Tabrani Pernah Jengkel dengan Penggunaan Bahasa Belanda di Negara Indonesia Timur

Kata Tabrani di Hindia Baroe:

Kewadjiban seorang Journalist soenggoeh berat. Apalagi dinegeri tanah djadjahan. Biarpoen darahnja soedah naik keatas jaitoe disebabkan dia ta’ koeat melihat keadaan jang ta’ baik, akan tetapi masihlah dia diwadjibkan senantiasa bekerdja dengan hati-hati dan teliti. Karena dia soedah memadjoekan dirinja didalam ‘alam Journalistiek boekan oleh sebab dia berniat mempertoendjoekkan sifat dan sikapnja “lekas naik darah” itoe.

Dia memadjoekan dirinja didoenia Journalistiek disebabkan dia berkejakinan dan mengetahoei, bahwa didoenia ini istimewa ditanah air kita, banjaklah “goetji-goetji wasiat” jang hanja dapat dibongkar oleh kaoem Journalisten.

Bagi seorang Journalist sedjati ta’ adalah didoenia ini orang “tinggi” dan orang “rendah”. Siapa jang terpandang salah haroes disalahkan. Dan sebaliknja. Siapa jang benar haroes dibenarkan.

Dan dalam menjalahkan dan membenarkan itoe wadjiblah dia bekerdja dengan hati soetji dan kejakinan bahwa kebenaran dan keadilan ada padanja.

Seorang Journalist sematjam itoe ta’ dapatlah dimoesoehi apalagi dialahkan.

Djiwanja boleh diambil, tapi ketetapan hatinja tidak.

Nista dan penghinaan oleh dilemparkan kepadanja, tapi toeboehnja masih tetap bersih.

Bersih disebabkan dia soedah menghambakan kepandaiannja boekan oentoek keperloean dan keoentoengan badannja sendiri, akan tetapi oentoek keperloean oemoem, istimewa oentoek bangsa dan tanah air kita Inmdonesia jang pada masa ini berada dalam keadaan jang jaoeh dari sentausa.

Oohya! Baca juga ya: Bupati Grobogan Gunakan Senjata Bantuan Belanda untuk Serang Loji Belanda di Semarang

Lantas bagaimana akhir dari kasus ini? Hindia Baroe tak memberitakannya. Majalah Sin Po pada 6 Maret 1926 melaporkan:

Begitoelah toean Tabrani dari Hindia Baroe dipanggil oleh politie berhoeboeng dengan lima persdelicten, hingga ia poenja perkara bisa dikasi nama Ueber-persdelict.

Hasilnja?

Itoe tjoema bisa diliat dengan ueber-fantasie….

Setelah pelaksanaan Kongres Pemuda Indonesia Pertama, Tabrani juga dipanggil oleh Kantor Penasihat Urusan Pribumi. Pemanggilan itu dilakukan karena Kongres Pemuda Indonesia Pertama itu telah membuat gaduh dengan pernyataan-pernyataan keinginan mewujudkan Indonesia merdeka.

Pada 1940, Tabrani masih berususan dengan polisi, bahkan hingga korannya, Pemandangan, dibredel selama seminggu pada 17 Mei 1940 – 23 Mei 1940. Pada 16 Mei 1940, Pemandangan menerbitkan tajuk berjudul “Soembangan Indonesia” yang ditulis Tabrani.

Belanda rupanya tersinggung oleh isi tulisan ini. Tulisan itu membuat Pemandangan dibredel.
Tulisan “Soembangan Indonesia” membahas negeri Belanda yang diduduki Jerman, sehingga Belanda bukan lagi sebagai negeri merdeka, karena Sang Ratu mengungsi ke London. Hal itu tentu terkait dengan Indonesia yang masih dijajah Belanda.

Oohya! Baca juga ya: Dapat Bantuan Sumur Bor, Setiap Saat Warga Grobogan Bisa Mengisi Sumur-Sumur Warga yang Kering Selama Kemarau

Di tulisan ini Tabrani juga mengusulkan agar Indonesia memiliki parlemen sendiri, mempunyai pertahanan sendiri, dan memiliki perwakilan sendiri di luar negeri. Dengan cara inilah Indonesia bisa membantu meringankan beban Belanda.

Tentang memiliki pertahanan sendiri, Tabrani sudah menegaskan di tajuk Pemandangan 9 Januari 1940. Pada kesempatan ini Tabrani menegaskan perlunya Indonesia memiliki akademi militer sendiri dengan lebih banyak pemuda Indonesia yang menjalani pendidikan di akademi itu.

Sewaktu masih di Belanda, pada kesempatan mengikuti ceramah JA Lievegoed, mantan pemred De Locomotief, di Den Haag, 1928, Tabrani mengemukakan politik segregasi sosial yang ada di Hindia-Belanda. Hari itu Lievegoed, berbicara soal sentimen politik di Hindia Belanda.

Politik segregasi ini terlihat dari kebiasaan orang Belanda menjauhkan diri dari orang Indonesia. Tabrani lantas mengurai ulasan pers yang dilakukan Volklectuur mengenai orang Indonesia.

Ulasan itu banyak menampilkan orang Indonesia yang didiskriminasi. Orang Belanda sering menyakiti orang Indonesia dengan mempertahankan segregasi. Orang Indonesia dipisahkan dari orang Belanda di kereta, di tempat mandi, dan sebagainya.

Oohya! Baca juga ya: Asal Usul Boneka Teddy’s Bear yang Dibawa Kaesang, Ada Kaitannya dengan Sikap Santun Presiden Amerika Serikat

Tabrani seperti hendak menyampaikan rasa kasihannya kepada orang-orang Belanda yang naif. Orang-orang Belanda bertindak pasif sehingga tidak mau “masuk lebih dalam” untuk memahami orang Indonesia.

Akibatnya, kata Tabrani seperti yang dikutip De Locomotief itu, hal-hal positif dari bangsa Indonesia tak diketahui oleh orang-orang Belanda. Hal itu terjadi karena informasi yang sering dikumpulkan justru hal-hal negatif.

“Karena pergaulan sehari-harinya dengan 'djongos dan babu' (pelayan), tanpa kontak dengan kalangan pribumi yang lebih maju, dia tidak berpikir baik tentang orang Indonesia pada umumnya,” tulis Tabrani di majalah De Opbouw.

Mengalami politik segregasi yang penuh sentimen dari orang Belanda, sikap Tabrani yang rasional dipuji oleh penulis Belanda BH Spits di koran De Tijd ketika mengulas Ons Wapen. Karena sikap rasionalnya itu, Tabrani tidak bertindak berdasarkan sikap sentimen.

“Yang paling mengejutkan kami adalah bahwa Pak Tabrani tidak dibimbing oleh sentimen, tetapi selalu membiarkan akalnya mendominasi. Karenanya keseimbangan yang menjadi ciri keseluruhan. Karena itu ia mengesampingkan penerapan ide non-kooperatif yang ia anggap tidak cocok untuk saat-saat ini,” tulis Spits.

Priyantono Oemar

Sumber rujukan:
- Dari Penjara ke Penjara karya Tan Malaka (2014)
- De Locomotief, 24 Februari 1928
- De Telegraaf, 4 Oktober 1927
- De Opbouw, 1927-1928
- De Tijd, 10 Oktober 1929
- Hindia Baroe, 27 Februari 1926
- RHO Djoenaidi, Pejuang dan Pengusaha & Perintis Pers karya Badruzzaman Busyairi (1982)

Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator

Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.

Redaksi
oohya.republika@gmail.com

Berita Terkait

Image

Belanda dan Sejarah Pendakian Puncak Carstensz, Bantu Sekolah di Lembah Baliem

Image

Ini Arti Garong Versi Koran Belanda Tahun 1946

Image

Bupati Grobogan dan Orang-Orang Cina Serang Belanda, Begini Triknya

Komentar

Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE