Sekapur Sirih

Menyambut Kongres Bahasa Indonesia (KBI) XII, Mengingat Kembali Protes 1.000 Guru di Aceh

Kongres Bahasa Indonesia (KBI) XII akan diadakan pada 25-28 Oktober 2023. Tema KBI XII adalah Literasi dalam Kebinekaan untuk Kemajuan Bangsa.

Oleh Priyantono Oemar, bergiat di Komunitas Jejak Republik

Di acara webinar Silaturahmi Merdeka Belajar (SMB) Kemendikbudristek yang diikuti lebih dari 1.000 peserta, saya mendapat pertanyaan dari moderator. Salah satunya: Apa yang bisa dilakukan generasi Z untuk terlibat dalam literasi Bahasa Indonesia dalam kebinekaan.

Webinar pada Kamis (5/10/2023) sore itu membahas rencana Kongres Bahasa Indonesia (KBI) XII yang bertema Literasi dalam Kebinekaan untuk Kemajuan Bangsa. Yang menjadi pembicara di webinar ini ada Dora Amalia, ketua Panitia KBI XII; Susi Budiwati dari Asosiasi Guru Bahasa Daerah Indonesia yang juga kepala SMPN 11 Cimahi; Liliana Muliastuti dari Afiliasi Pengajar dan Pegiat Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Terus terang saya bingung menjawab pertanyaan moderator, sebab anak-anak muda sekarang banyak yang tidak peduli bahasa Indonesia. Bingung kenapa?

Saya pernah mendapat pertanyaan dari seorang Duta Bahasa Indonesia di sebuah forum. Ia bertanya mengenai cara bertindak agar tidak ditertawakan teman-temannya saat menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Oohya! Baca juga ya: Panas di Istana Negara dan Istana Merdeka, Keturunan Raja Majapahit pun Naik ke Langit-langit Istana

Ketika mereka berkumpul, biasa menggunakan bahasa sehari-hari, ternyata di antara mereka ada yang tertib berberhasa Indonesia yang baik dan benar. Jadi, mereka merasa ada yang aneh.

Apalagi, kebiasaan sehari-hari menggunakan bahasa Indonesia versi bahasa lisan sudah lumrah di Indonesia. Tidak hanya dilakukan oleh anak-anak muda, melainkan juga oleh orang tua.

Bahkan, dari para pejabat yang seharusnya memberi contoh pun tidak didapatkan contoh dari mereka. Penggunaan kata-kata asing di ruang publik bahkan sudah terjadi sejak lama.

Oohya! Baca juga ya: Keturunan Raja Majapahit Sering Meninjau Pembangunan Gedung Perpustakaan di Salemba, Ada Apa?

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Wardiman Djojonegoro pada 1990-an bahkan pernah meminta pengubahan nama-nama asing itu ke dalam bahasa Indonesia. Tapi, sekarang ruang publik ramai lagi dengan bahasa asing.

Dalam hal ini, saya iri dengan gerakan lingkungan. Banyak komunitas anak muda yang berani menyeru perlunya pemimpin bangsa menjadikan penanganan perubahan iklim sebagai kebijakan publik saat mereka menjabat.

Komunitas anak muda di masyarakat adat pun meneriakkan hal serupa. Tujuannya agar pejabat negara tidak menjual hutan mereka untuk dijarah oleh investor.

Oohya! Baca juga ya: MK Tolak Uji Formil UU Cipta Kerja, Kiara Sebut Nasib Masyarakat Pulau Kecil dan Pesisir

Anak-anak muda sepertinya juga perlu berteriak kepada para orang tua yang menjadi pejabat publik dan pejabat swasta untuk mengutamakan bahasa Indonesia. Pengutamaan bahasa Indonesia tak cukup hanya ditulis dalam undang-undang. Harus juga dilaksanakan.

Saya pernah membuat tulisan mengenai betapa sempat merasa terasing ketika mondar-mandir di Jalan Thamrin-Sudirman. Hanya karena ada bendera Merah Putih berkibar di halaman gedung-gedung tinggi itu, saya masih merasa berada di Jakarta.

Itu pun banyak bendera yang terhalang pandangan oleh pepohonan. Merasa lega ketika melewati Senayan, ada tulisan besar dalam bahasa Indonesia. Lalu, merasa lega lagi karena tulisan dalam bahasa Inggris di taman Grand Indonesia juga sudah dibongkar.

Pada 1932, seperti dilaporkan De Sumatra Post edisi 7 Maret 1932, Teuku Hasan mengumpulkan 1.000 guru di Kotaraja, Aceh. Mereka memprotes pelarangan penggunaan bahasa Indonesia di sekolah-sekolah.

Guru adalah orang tua. Kata Sukarno, seperti yang dicatat BB Hering di Soekarno’s Mentjapai Indonesia Merdeka, “Beri aku 1.000 orang tua dan bersama mereka dapat kupindahkan Gunung Semeru.” Perlu 10 anak muda lagi agar dunia berguncang.

Oohya! Baca juga ya: Siapa 10 Pemuda Pengguncang Dunia yang Dimaksud Bung Karno?

Setelah para pemuda bersumpah menjunjung bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, pemerintah kolonial Belanda pun bertindak atas nama pemotongan anggaran. Mulai 1929, sekolah-sekolah pribumi dilarang menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar.

Saat itu Belanda tentu masih menyebutnya sebagai bahasa Melayu. Sekolah-sekolah diminta lagi menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar.

Para guru di Aceh itu menganggap larangan itu sebagai upaya mencabut keindonesiaan dari Aceh. Hal yang harus ditentang, bukan berarti mereka antibahasa daerah.

Oohya! Baca juga ya: Anak-Anak Muda Sangihe Bertekad Pertahankan Pulau Sangihe, tidak Boleh Ada Perusakan

Muh Tabrani, pencetus bahasa Indonesia, menyatakan, bahasa daerah memiliki peluang yang sama untuk tetap hidup dan ikut memperkaya bahasa Indonesia. Itulah yang mendasari dirinya memilih bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, bukan bahasa Melayu yang diajukan Muh Yamin.

Jika bahasa Melayu yang dijadikan bahasa persatuan, menurut Tabrani, itu sama halnya memberi kesempatan munculnya imperialisme bahasa. Padahal, anak-anak muda mengadakan Kongres Pemuda Indonesia adalah untuk menggalang persatuan, untuk memperkuat gerakan menolak imperialisme.

Maka, untuk menumbuhkan kecintaan kepada bahasa Indonesia, saya suka menceritakan sejarah bahasa Indonesia agar muncul penghargaan terhadapnya. Sampai tahun 1938, Belanda masih gerah terhadap penggunaan bahasa Indonesia.

Oohya! Baca juga ya: Di Forest Defender Camp, Anak Muda Adat Desak Pemerintah Cabut Semua Izin Eksploitasi SDA di Tanah Papua

Hal itu terlihat dari sikap Belanda terhadap penyelenggaraan KBI I. Belanda menilai KBI I tidak semata membahas masalah linguistik. Dukungan Fraksi Nasional Voksraad terhadap pelaksanaan KBI I berupa janji akan menggunakan bahasa Indonesia pada sidang-sidang Volksraad semakin memperkuat anggapan Belanda itu.

Apalagi, tiga pembicara di KBI I, menegaskan semangat memiliki bahasa nasional untuk memperkuat keberadaan bangsa Indonesia. Soekardjo, Tabrani, dan Sanusi Pane menjadi tiga pembicara yang dicap oleh koran Belanda De Indische Courant sebagai “trio bintang kongres” yang berbahaya.

"Pidato dari trio ini memiliki cap politik yang kuat, lebih kuat: mereka harus, khususnya yang dari penyair, diberi label sebagai anti-Belanda,’’ tulis De Indische Courant edisi 6 Juli 1938. Dari Soekardjo saja sudah bisa membuat Belanda naik pitam. Simaklah kata-kata Soekardjo:

Bangsa Indonesia akan moesna, djika anak negerinja tidak lagi mempergoenakan bahasanja, jaitoe bahasa Indonesia. Sebaliknja: salah satoe sjarat oentoek meninggikan deradjat Bangsa dan Noesa ialah memperkokoh bahasa nasional (Darmo Kondo, 27 Juni 1938).

De Indische Courant pun memberikan catatan khusus kepada Tabrani: ‘’Pembicara kedua, yang kata-katanya di kongres bahasa Indonesia di Solo layak mendapat perhatian khusus, adalah politisi pribumi terkenal Muh Tabrani.’’

Dalam KBI I itu, Tabrani membawakan makalah “Mentjepatkan Penjebaran Bahasa Indonesia”. Koran Soeara Oemoem edisi 6 Juli 1938 menulis laporannya mengenai pidato Tabrani sebagai berikut:

Oohya! Baca juga ya: Berkemah di Hutan Desa Pertama di Tanah Papua, Anak Muda Adat Menyeru Penyelamatan Hutan

...semangat jang makin lama makin berkobar berakibat bahasa Indonesia makin terpakai. Djalan mewoedjoedkan bangsa adalah lebih doeloe mewoedjoedkan bahasanja.

Karenanya, kata Tabrani, kedudukan bahasa Indonesia harus diupayakan diakui oleh pemerintah. Sebab, sudah waktunya pemerintah Hindia-Belanda berubah dengan adanya perubahan di masyarakat.

Menurut Tabrani, semua hal yang Belanda lakukan sudah berkaitan dengan bangsa Indonesia, sehingga bahasa Indonesia harus diakui sepenuhnya. Lihatlah, betapa pemerintah kota/kabupaten, misalnya, mengatur kehidupan bangsa Indonesia untuk berbagai urusan, sehingga sudah seharusnya yang dipakai adalah bahasa Indonesia.

Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator

Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.

Redaksi
[email protected]