Keturunan Raja Majapahit Sering Meninjau Pembangunan Gedung Perpustakaan di Salemba, Ada Apa?
Di sekolah ini dulu ada Haji Agus Salim, Ali Sastroamidjojo, Maria Ulfah Susanto, Syarif Thayeb, Haryati Soebadio, dan Harun Zain. Pada 1985, sekolah di Salemba yang di zaman penjajahan Belanda bernama Willem III School ditu direovasi untuk Perpustakaan Nasional.
Sekolah yang menjadi Hoogere Burgerschool (HBS) pertama di Batavia itu memiliki areal satu hektare, Oleh karena itu, di sebelahnya dibangun gedung-gedung baru. Tingganya ada yang sembilan lantai, tujuh lantai, dan lima lantai.
Bukan pekerjaan mudah untuk merealisasikan gedung perpustakaan baru ini. Sudah dicita-citakan sejak 1971, baru baru teralisasi pada 1985.
Oohya! Baca juga ya: Menyambut Kongres Bahasa Indonesia (KBI) XII, Bahasa Indonesia Diciptakan Memang untuk Menjaga Kebinekaan
Pada saat Yayasan Harapan Kita hendak membangun gedung ini, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sudah membuat rencana integrasi perpustakaan. Saat itu lokasi perpustakaan tersebar di berbagai tempat.
Namun, ada prosedur birokrasi yang harus dilewati, termasuk mengadakan sayembara desain gedung. Selain itu Direktorat Jenderal Kebudayaan yang menyusun rencana induk integrasi perpustakaan, juag belum mendapatkan lahan untuk pembangunan gedung perpustakaan.
Yayasan Harapan Kita telah berhasil bernegosiasi untuk mendapatkan lahan Willem III School di Salemba. Anggaran Rp 10 miliar disediakan. Tanpa harus mengadakan sayembara desain gedung.
Oohya! Baca juga ya: Cek Titik Api Dikira Lokasi Kebakaran Hutan, Petugas Polres Grobogan Pernah Kecele Saat Tiba di Lokasi
Pada 8 Desember 1985, keturunan Raja Majapahit Brawijaya V, menanam kepala kerbau di lokasi. Itu pertanda dimulainya proyek pembangunan gedung Perpustakaan Nasional.
Hingga pembangunan selesai, keturunan Raja Majapahit itu sering melakukan inspeksi. Tidak sekadar datang hanya untuk melihat-lihat.
“Secara teliti memperhatikan segala segi, baik yang menyangkut arsitekturnya maupun alat kelengkapan,” tulis Abdul Gafur.
“Memberikan petunjuk dan saran perbaikan dari hal-hal yang besar sampai soal-soal kecil, termasuk bagaimana bentuk prasastinya,” kata Mastini Hardjoprakoso, kepala Perpustakaan Nasional.
Oohya! Baca juga ya: Generasi Muda Perlu Menyeru kepada Calon Pemimpin Bangsa Mengenai Agenda Penanganan Perubahan Iklim
Pada tahap perencanaan, gedung Willem III School akan dibongkar, lalu dibangun gedung baru di situ. Tapi keturunan Raja Majapahit mencegahnya.
Karena ini bangunan kuno, perlu dijaga keberadaannya, maka keturunan Raja Majapahit meminta agar gedung itu direnovasi. Kekunoan bagunan sekolah itu yang akan bergampingan dengan gedung baru, dianggap akan menjadi daya tarik.
“Telah tiba saatnya bangsa kita harus mengembangkan semangat cinta buku dan gemar membaca. Lebih-lebih bagi generasi baru bangsa kita, bagi anak-anak dan remaja bangsa.
Untuk itu, perpustakaan merupakan salah satu jawabannya,” kata Presiden Soeharto ketika meresmikaan gedung baru Perpustakaan Nasional itu.
Presiden Soeharto membutuhkan tanda tangan di prasasti peresmian. Sebelumnya, Ibu Tien Soeharto, selaku ketua Yayasan Harapan Kita, juga membubuhkan tanda tangannya.
Ibu Tien merupakan keturunan ke-20 dari Raja Majapahit Brawijaya V. Garis keturunannya mengacu kepada Bondan Kejawan, anak Brawijaya V yang dibuang ke Grobogan, lalu menjadi menanti Joko Tingkir (Ki Ageng Tingkir).
Oohya! Baca juga ya: Logo KAN Dipalsukan, Segera Diberlakukan Aturan Baru Lisensi Logo KAN
Bondan Kejawan kemudian memiliki menantu Ki Ageng Selo, yang menurunkan raja-raja Mataram Islam. Ibu Tien merupakan keturunan ke-17 dari Ki Ageng Selo, keturunan ke-7 dari Mangkunegoro I.
Di prasasti yang dibuat dari batu marmer putih itu, dipahat pula delapan watak dan sifat terbaik yang dikenal dengan sebutan Hasta Brata. Prasasti didesain menyerupai buku yang terbuka halamannya.
Fuad Hassan yang pernah menjadi menteri Pendidikan dan Kebudayaan pernah mengatakan, “Satu-satunya kecanduan yang tak berbahaya adalah kecanduan membaca dan satu-satunya kutu buku yang tidak berbahaya adalah menjadi kutu buku.”
Ma Roejan
Sumber rujukan:
Ki Ageng Selo karya T Wedy Utomo (1981)
Siti Hartinah Soeharto Ibu Utama Indonesia karya Abdul Gafur (1992)
Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
[email protected]