Berkemah di Hutan Desa Pertama di Tanah Papua, Anak Muda Adat Menyeru Penyelamatan Hutan
Orpa Novita Yoshua terlihat ceria. Ia memang sedang merasa senang bisa bergabung dengan anak-anak muda adat dari berbagai wilayah di Tanah Papua. Mereka duduk bersama membicarakan berbagai permasalahan yang berkaitan dengan wilayah adat mereka di Tanah Papua.
Lalu mencari solusi bersama untuk menjaga kelangsungan hutan dan tanah adat Papua dari Sorong sampai Merauke. "Kami akan pulang dengan pengetahuan yang kami dapat untuk membangun gerakan di kampung adat kami masing-masing,” kata Orpa, perempuan muda adat dari suku Namblong –yang berjuang melawan perusahaan sawit di Jayapura, Jumat (22/9/2023).
Ada lebih dari 100 anak muda yang berkumpul bersama Orpa di acara kemah anak muda adat, Forest Defender Camp (FDC). Mayoritas peserta berasal dari Sorong Raya, seperti Kota Sorong, Kabupaten Sorong Selatan, Maybrat, Tambraw, dan Raja Ampat. Perkumpulan Pemuda Generasi Malaumkarta Raya, Kabupaten Sorong, mengirimkan lima anak muda adat Moi Malaumkarta Raya, yaitu Soraya Do, Yunus Magablo, Jois Magablo, Bastian Magablo, dan Yonatan Su.
Oohya! Baca juga ya: Anak-Anak Muda Sangihe Bertekad Pertahankan Pulau Sangihe, tidak Boleh Ada Perusakan
Orpa termasuk salah satu dari beberapa perwakilan anak muda adat dari luar Sorong Raya. Selain Orpa dari Jayapura, ad ajuga perwakilan dari Pegunungan Arfak, Manokwari, Boven Digoel, Bintuni, Jayapura, hingga Merauke. Sebagian dari mereka datang dari komunitas masyarakat adat yang terdampak ekspansi industri ekstraktif ke Tanah Papua.
FDC diselenggarakan Greenpeace Indonesia berkolaborasi dengan Sadir Wet Yifi dan Bentara Papua pada 20-22 September 2023. Sadir Wet Yifi --berasal dari bahasa suku Tehit yang berarti ‘suara anak muda’-- adalah komunitas anak-anak muda adat Knasaimos.
FDC Di adakan di Hutan Desa di Kampung Manggroholo-Sira, Distrik Saifi, Sorong Selatan. Ini hutan desa milik masyarakat adat Knasaimos. Inilah hutan desa pertama yang ada di Tanah Papua. Diberikan kepada masyarakat adat Knasaimos melalui SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 2014, disusul SK tentang hak kelola hutan desa tiga tahun kemudian.
“Melalui kegiatan FDC ini, kami ingin anak-anak muda adat di Tanah Papua menjadi ujung tombak untuk menjawab permasalahan lingkungan, terutama mendorong pengakuan pemerintah terhadap kami punya wilayah adat dan hak-hak kami sebagai masyarakat adat,” kata Ketua Sadir Wet Yifi Frengky Sremere, dalam rilisnya.
Oohya! Baca juga ya: Warga Pulau Wawonii Ajukan Diri Jadi Pihak Terkait dalam Uji Materiil UU PWP3K
Selama tiga hari, peserta FDC mengikuti serangkaian diskusi, lokakarya, hingga belajar melakukan pemetaan partisipatif wilayah adat. Mereka bermalam di dalam hutan desa, di rumah-rumah pondok yang dibangun dari kayu dan beratap anyaman daun sagu. Ikut meriung di hutan, para mama dari Kampung Manggroholo-Sira. Mereka memasak dan menjamu para peserta dengan pangan lokal seperti sagu bakar, papeda, keladi, betatas, ubi.
Dalam berbagai kesempatan diskusi, para peserta membagikan kisah tentang masalah yang dihadapi masyarakat adat, baik di komunitas mereka sendiri maupun komunitas masyarakat adat lain. Usai kegiatan ini, mereka akan bersama-sama menyerukan penyelamatan hutan dan pengakuan masyarakat adat kepada pemerintah.
Hutan Papua adalah hutan hujan terbesar yang masih tersisa di Indonesia dan dihuni oleh ribuan flora dan fauna. Banyak di antaranya merupakan endemik dan beberapa di antaranya masih baru bagi ilmu pengetahuan. Selain surga keanekaragaman hayati, Tanah Papua juga menjadi rumah bagi lebih dari 271 suku masyarakat adat yang hidup tersebar dari pesisir hingga pedalaman hutan belantara Papua.
Oohya! Baca juga ya: Di Kongres Pemuda Polisi Lakukan Interupsi, Lalu Mengapa Ada yang Berbahasa Belanda Saat Berbicara di Kongres?
Namun dari tahun ke tahun, hutan di Papua makin tergerus oleh investasi perkebunan, pertambangan, dan pembalakan hutan secara ilegal. Laporan Greenpeace Internasional ‘Stop Baku Tipu: Sisi Gelap Perizinan di Tanah Papua’ mencatat, sepanjang 2000-2019, hampir satu juta hektare kawasan hutan dilepaskan untuk perkebunan.
“Lebih dari 75 persen sumber daya alam di Indonesia dikuasai oleh satu persen saja oligarki atau sekelompok orang kaya yang memiliki kekuatan mempengaruhi pengambil kebijakan negara untuk kepentingan kelompok mereka. Kekuatan orang muda dibutuhkan untuk menjaga Tanah Papua agar generasi mendatang tidak mengalami kutukan sumber daya alam,” kata Kepala Kampanye Global Hutan Indonesia untuk Greenpeace Indonesia Kiki Taufik.
Menurut Kiki, pemerintah Indonesia harus segera mengakui hutan dan wilayah adat di Tanah Papua demi menyelamatkannya dari ancaman kerusakan yang lebih parah. Menyimpan cadangan karbon amat besar, hutan Papua berperan signifikan menjaga laju kenaikan suhu Bumi tetap di bawah 1,5 derajat Celsius. “Penyelamatan hutan Papua akan menunjukkan komitmen dan keseriusan pemerintah Indonesia di tingkat global dalam menghadapi ancaman krisis iklim,” kata Kiki.
Priyantono Oemar