Di Kongres Pemuda Polisi Lakukan Interupsi, Lalu Mengapa Ada yang Berbahasa Belanda Saat Berbicara di Kongres?
Kongres Pemuda Indonesia II dibuka pada 27 Oktober 1928 malam. Pada malam pembukaan itu, polisi Belanda melakukan interupsi karena ada penggunaan kata-kata yang dilarang polisi. Saat itu, utusan dari perkumpulan teosofi berbicara panjang lebar. Di akhir pembicaraan mengatakan “bendera kemerdekaan Indonesia”.
Darmo Kondo menurunkan laporannya sebagai berikut:
Polisi stop, tidak boleh berkata “merdeka”, hingga rapat djadi ramai keadaannja.
Voorz. Minta pada t.t. pembitjara soepaja jangan goenakan kata “kemerdekaan”, sebab rapat malam ini boekan rapat politiek dan harap t.t. haroes “tahoe-sama-tahoe-sadja!”
Oohya! Baca juga ya: Microsoft Copilot Teman AI Inovatif dari Microsoft yang Disediakan di Windows 11, Microsoft 365, Edge, Bing
Tetapi, interupsi itu, menurut Darmo Kondo, justru semakin “memperkobar-kobar perasaan kebangsaan para pemuda”. Di hari lain, Darmo Kondo menulis:
“Djaman perasaan2, kata voorzitter kongres, Soegondo, hingga akan sesoeatoe hal j. mengganggoe kongres ta’ oesah “diprotas-protes”, tjoekoeplah, pemoeda2 itoe merasakannja sadja.
Perasaan, jalah sendi gerakan sesoeatoe Ra’jat (bangsa), jalah teroetama Ra’jat j. tidak merdeka, Ra’jat j. “hidoep”, jaitoe Ra’jat j. mempoenjai tjita2 jalah tjita2 merdeka.
Perasaan ada pegang rol j. penting dalam pergerakan dan perasaan itoe poelalah j. memboeat orang bisa bergerak dengan bersemangat.
Oohya! Baca juga ya: Gagal Menenung Orang Jawa, Tukang Tenung Kompeni Belanda Itu Pulang dari Kartasura Lewat Wilayah Grobogan
Di hari kedua, polisi juga melakukan interupsi. Interupsi dilakukan ketika Martokoesoemo memberi tanggapan atas pidato Muh Yamin, yaitu pada saat ia membandingkan Indonesia dengan Inggris, dengan Belanda, ketika menyampaikan pentingnya menanamkan semangat persatuan Indonesia. Rapat pun gaduh lagi dan polisi mengultimatum jika muncul lagi, anak-anak di bawah 18 tahun yang menghadiri rapat akan dikeluarkan.
Hampir muncul pula keributan akibat perdebatan utusan pemuda teosofi, Rasid, dengan Muh Yamin. Rasid meminta agar kongres digabungkan saja dengan perkumpulan teosofi yang sudah kokoh. Beruntung segera disetop oleh Soegondo, ketua panitia.
Kartosoewirjo juga memberikan tanggapan untuk Yamin. Ia membicarakan berbagai bahasa di dunia dan menegaskan bahwa bahasa Indonesia merupakan tali perhimpunan pemuda. Siti Soendari --di kemudian hari menjadi istri Yamin-- tidak memahami bahasa Indonesia, maka ia memberikan tanggapan menggunakan bahasa Belanda. Ia mengemukakan pentingnya perasaan cinta tanah air diberikan kepada anak-anak sejak kecil. Perempuan memiliki peran di di usaha ini.
Oohya! Baca juga ya: Ki Ageng Selo Cicit Raja Majapahit di Grobogan Menjawab Tuduhan Takut pada Darah
Selain Nona Siti Soendari, perempuan yang berbicara untuk memberikan tanggapan ada pula Nyonya Poeradiredja dan Nona Poernamawoelan. Mereka juga menggunakan bahasa Belanda karena tidak bisa berbahasa Indonesia.
Pada Ahad, 28 Oktober 1928, perselisihan antara Rasid dan Yamin pada malam sebelumnya, diusahakan untuk dijernihkan. Utusan Jong Islamieten Bond tampil memberikan tanggapan. Utusan menyatakan, perkumpulan teosofi mengaku cocok dengan kongres, tetapi apakah kongres cocok dengan perkumpulan teosofi? Utusan Jong Islamieten Bond juga mengaku belum bersahabat dengan perkumpulan teosofi, sehingga kejadian malam sebelumnya tak bisa disebut sebagai perselisihan.
Ki Hadjar Dewantara yang seharusnya menjadi pemrasaran mengenai pendidikan berhalangan hadir. Lalu tampil Nona Poernamawoelan menyampaikan prasarannya dalam bahasa Belanda. Jika ia sampaikan dalam bahasa Jawa tentu saj banyak yang tidak paham, sementara ia tidak menguasai bahasa Indonesia. Ia berbicara mengenai disiplin di sekolah dan di rumah. Anak-anak tidak boleh manja jika ingin mencapai perubahan bangsa.
Oohya! Baca juga ya: Punya Ibu Mertua Seorang Bidadari, Adik Raden Patah Ini tidak Pernah Sungkem kepada Ibu Mertuanya
Pada Ahad itu, Siti Soendari memberikan tanggapan mengenai perlunya intuisi dan sering “keluar pagar” untuk bertindak nyata memperjuangkan persatuan nasional. Lalu, Antapermana memberikan tanggapan soal pernikahan dini, pernikahan paksa, dan nasib dimadu (poligami) yang dialami perempuan Indonesia, sebagaimana pernah dibahas juga di Kongres Pemuda Indonesia I.
Sedangkan Kartosoewirjo memberikan tanggapan mengenai pendidikan nasional yang harus dipegang oleh perhimpunan-perhimpunan berasas nasional. Dalam diskusi itu muncul pula pandangan perlunya memfasilitasi anak didik dapat berpikir kritis.
Priyantono Oemar
Sumber rujukan:
Darmo Kondo, 31 Oktober 1928, 1 November 1928, 6 November 1928, 7 November 1928
Oohya! Baca juga ya: Semula Bantu Inggris Taklukkan Jawa, Banyaknya Candi di Jawa Jadi Dalih Tentara Sepoy untuk Melawan Inggris
Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi
[email protected]