Egek

MK Tolak Uji Formil UU Cipta Kerja, Kiara Sebut Nasib Masyarakat Pulau Kecil dan Pesisir

Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman. MK telah memutuskan menolak gugatan uji formil UU Cipta Kerja

Pada tanggal 2 Oktober 2023, Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengeluarkan putusan berkaitan dengan uji formil undang-undang. Yang diuji formil adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja.

Putusan itu diambil dengan adanya dissenting opinion dari empat hakim, yaitu Wahiduddin Adams, Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, dan Suhartono. Tapi, pendapat mereka tidak dibacakan oleh Anwar Usman yang memimpin sidang.

Ada lima gugatan uji formil. Pertama dari Persatuan Pegawai Indonesia Power, Federasi Serikat Pekerja Indonesia, SP PLN, Federasi SP KEP SPSI, dan Federasi Serikat Pekerja Pariwisata Reformasi; kedua dari Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia).

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Oohya! Baca juga ya: Panas di Istana Negara dan Istana Merdeka, Keturunan Raja Majapahit pun Naik ke Langit-langit Istana

Ketiga dari Serikat Petani Indonesia, Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu, Konsorsium Pembaruan Agraria. Sedangkan yang keempat dari Partai Buruh dan kelima dari Wiwit Widuri dan kawan-kawan.

Dalam amar putusannya, MK menolak permohonan para pemohon, dengan kesimpulan bahwa seluruh dalil pemohon tidak beralasan menurut hukum. Dengan adanya putusan MK tersebut, maka status UU Cipta Kerja (UU CK) adalah konstitusional dan masih berlaku.

Putusan MK berkaitan dengan Uji Formil UU CK mendapat tanggapan dari Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Peradilan Perikanan (Kiara) Susan Herawati. Susan menegaskan, seluruh lapisan dan elemen masyarakat mulai dari nelayan, petani, buruh, masyarakat adat hingga pemerhati lingkungan dan hak asasi manusia menyatakan kekecewaannya terhadap MK dan putusannya.

Oohya! Baca juga ya: Keturunan Raja Majapahit Sering Meninjau Pembangunan Gedung Perpustakaan di Salemba, Ada Apa?

“Putusan MK terkait uji formil UU CK memberikan tanda bahwa perjuangan untuk mempertahankan ruang-ruang hidup dan penghidupan masyarakat kini semakin berat,” ujar Susan.

Hal tersebut terjadi karena yang diutamakan adalah kepastian bisa masuknya investasi melalui peraturan perundang-undangan. Akibatnya, partisipasi yang bermakna dari masyarakat menjadi tidak penting lagi. “Hal tersebut tercermin dari putusan MK tersebut,” kata Susan.

Kiara mencatat terdapat berbagai substansi yang berpotensi menimbulkan permasalahan di sektor pesisir dan laut yang terkandung dalam materiil UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja. Masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil yang telah memanfaatkan sumber daya kelautan dan perikanan secara tradisional akan diwajibkan memiliki kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang laut dari Pemerintah Pusat.

Oohya! Baca juga ya: Menyambut Kongres Bahasa Indonesia (KBI) XII, Bahasa Indonesia Diciptakan Memang untuk Menjaga Kebinekaan

Lalu, praktik perampasan ruang di wilayah pesisir dan laut atas nama kebijakan nasional yang bersifat strategis akan terus berjalan. Praktik liberalisasi dan privatisasi pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya juga akan terus berlangsung. Pulau-pulau kecil akan diberikan kepada investor oleh Pemerintah Pusat.

Menurut Susan, UU Cipta Kerja juga membuka ruang untuk perubahan atau alih fungsi status zona inti pada kawasan konservasi nasional. Hal ini bertentangan dengan precautionary principle atau asas kehati-hatian, karena akan membuka kesempatan industri ekstraktif.

UU Nomor 6 Tahun 2023 itu juga dianggap Kiara tidak mengutamakan perlindungan terhadap hak-hak konstitusional masyarakat pesisir yang merupakan nelayan kecil. Padahal perlindungan terhadap hak-hak mereka telah diamanatkan dalam Putusan MK Nomor 3 Tahun 2010.

“Ini menjadi celah bagi nelayan yang bukan skala kecil untuk melakukan produksi pada daerah penangkapan ikan yang tidak diperbolehkan, serta akan menghilangkan prioritas dan kekhususan yang akan diterima oleh nelayan kecil,” ujar Susan.

Susan menyebutkan, UU Perikanan sudah menetapkan bahwa kategori nelayan kecil adalah nelayan yang menggunakan kapal perikanan paling besar 5 GT. Dalam UU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan kembali ditegaskan bahwa nelayan kecil adalah nelayan yang menggunakan kapal perikanan paling besar 10 GT.

Susan menilai, hasil putusan MK yang menyatakan menolak gugatan uji formil UU Cipta Kerja memperlihatkan kepada publik bahwa dalam MK tidak menjalankan putusan MK itu sendiri. Putusan itu menyebutkan bahwa UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja adalah inkonstitusional bersyarat.

Oohya! Baca juga ya: Cek Titik Api Dikira Lokasi Kebakaran Hutan, Petugas Polres Grobogan Pernah Kecele Saat Tiba di Lokasi

“Seharusnya MK tetap menjadi gerbang pelindung konstitusi terakhir, terutama dalam perlindungan hak-hak masyarakat, baik nelayan, petani, buruh, masyarakat adat hingga pemerhati lingkungan dan hak asasi manusia, sebagaimana UU Cipta Kerja berpotensi merampas hak-hak masyarakat,” tegas Susan.

Menurut Susan, proses panjang UU Cipta Kerja menjadi Perppu Cipta Kerja dan kini kembali sah dan konstitusional menjadi UU Cipta Kerja menegaskan adanya konflik kepentingan antarlembaga eksekutif, legislative, dan yudikatif di Indonesia.

Ma Roejan