Sekapur Sirih

Naik Kereta Api... Whoosh Whoosh Whoosh... Siapa Hendak Turut? Hus....

Kereta api cepat Jakarta-Bandung (Halim-Padalarang) memiliki waktu tempuh 25 menit. Berganti kereta di Padalarang untuk melanjutkan perjalanan ke Bandung memerlukan waktu 30 menit.

Dulu, saya pengguna kereta api. Sewaktu masih kuliah, tiap Lebaran sering berebut naik kereta di Stasiun Senen. Pernah masuk kereta dengan cara naik dari jendela lalu segera “menguasai” tempat duduk dan kolongnya.

Musim mudik Lebaran, kolong adalah tempat tidur yang nyaman. Banyak penumpang yang duduk dan tidur di lorong kereta, sehingga sering dilangkahi pedagang asongan dan petugas kereta api.

Jika kolong tidak kita kuasai juga, maka akan diambil oleh penumpang lain yang tidak memiliki kursi. Tak mungkin kan meletakkan kaki di tubuh mereka?

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Oohya! Baca juga ya: Dibatalkan oleh Sukarno, Tunjangan untuk Janda WR Supratman Diberikan Lagi oleh Soeharto, Begini Kata Salamah

Setelah bekerja, setiap sabtu selalu naik kereta Parahyangan atau Argo Gede Jakarta-Bandung. Antre sampai tiga jam biasa dialami di Stasiun Gambir.

Berdebat dengan calon penumpang yang main serobot antrean juga sudah biasa. Itu saya lakukan ketika penumpang lain tidak ada yang berani menegur calon penumpang yang tidak memiliki adab.

Berburu tiket 15 menit sebelum keberangkatan juga biasa dilakukan. Tentu saja, saya telebih dulu izin menyerebot antrean kepada calon penumpang lain. Caranya: bertanya kapada mereka saat itu sedang antre untuk keberangkapan jam berapa?

Misal, kereta yang berangkat pukul 14.00 sudah dinyatakan habis dan loket sudah ditutup. Para pengantre akan bilang senang antre untik keberangkatan pukul 15.00.

Oohya! Baca juga ya: Eks Pembantu Mengaku Janda WR Supratman Lalu Mewakili Terima Penghargaan dari Pemerintah, Indonesia pun Geger

Maka, saya minta izin untuk mengantre keberangkatan pukul 14.00. Lalu mereka mengingatkan jika untuk keberangkatan pukul 14.00 loket sudah tutup, artinya tiket sudah habis.

Mereka ternyata tidak tahu jika 15 menit sebelum keberangkatan, lokat akan dibuka lagi. Biasanya ada sisa tiket, yaitu tiket yang dikembalikan atau tiket jatah manajemen yang tidak terpakai.

Dengan cara ini, jika beruntung, tidak perlu antre panjang. Tapi, jika tidak ada tiket sisa, maka saya harus kembali ke barisan paling belakang untuk ikut antre jam keberangkatan berikutnya. Tentu saja, antrean sudah bertambah panjang.

Oohya! Baca juga ya: Berdosa Tinggalkan Bayi dan Suami, Nawangwulan Ditolak di Kahyangan dan Akhirnya Jadi Penguasa Laut Selatan

Perjalanan Parahyangan memerlukan waktu sekitar 3,5 jam. Kadang bisa sampai empat jam. Waktu yang cukup untuk membaca sambil diselingi menikmati pemandangan sawah dan perbukitan.

Ada kereta api lain, yaitu Argo Gede, dengan waktu tempuh Jakarta-Bandung dua jam 50 menit. Tentu saja harganya lebih mahal dari Parahyangan.

Saya menamatkan buku Arus Balik karya Pramoedya Ananta Toer, yang tebal itu, di KA Parahyangan. Saya membaca di kereta, karena sehari-hari sibuk dengan pekerjaan, sehingga tak ada waktu untuk membaca. Pulang kerja, sudah sangat lelah.

Di KA Parahyangan, pernah sebangku dengan Dewi Lestari, yang juga khusyuk membaca. Pernah pula sejajar bangku dengan Atiek Wardiman, yang juga khusyuk membaca.

Pernah sebangku pula dengan guru besar ITB, Sahari Besari, yang biasa menjadi narasumber. Prof Sahari adalah ipar BJ Habibie.

Selama perjalanan akhirnya harus berhenti membaca buku, karena asyik berbincang dengan Prof Sahari. Perbincangan dimulai dari kopi yang kami pesan di dalam kereta hingga mengalir ke berbagai persoalan negeri.

Oohya! Baca juga ya: Dapat Tugas Kodifikasi Bahasa Melayu, Ada Ahli Belanda Hubungi Raja Ali Haji tetapi Bukan Van Ophuijsen

Pernah pula sekereta dengan Gubernur Jabar Nuriana, yang memesan dua bangku. Badan Nuriana yang besar akan membuat bangku tidak nyaman jika diduduki berdua.

Meski tubuh saya kecil, saya tidak berani untuk meminta izin duduk di sebelahnya untuk melanjutkan perbincangan. Jadi hanya berbincang sebentar, lalu saya kembali ke bangku saya.

Ketika saya tidak kebagian bangku, saya diberi kursi di ruang khusus di kereta restorka. Ada ruangan yang cukup untuk empat penumpang. Duduk bertiga dengan mahasiswa dari Prancis. Saya asyik membaca, mereka asyik berbincang dengan nada yang lirih.

Ketika ada panggilan telepon, saya angkat ponsel, mereka menghentikan perbincangan agar saya tidak terganggu saat berbincang di telepon seluler. Selesai menerima panggilan telepon, mereka meneruskan perbincangan berdua.

Begitulah adab di transportasi publik. Adab yang tidak dipunyai oleh kebanyakan orang Indonesia saat naik transportasi publik.

Oohya! Baca juga ya: Ejaan Van Ophuijsen Dipakai di Indonesia, Apa Van Ophuijsen Punya Hubungan dengan Karya-Karya Raja Ali Haji?

Dengan kesempatan bisa menikmati perjalanan denganmembaca buku, seharusnya penumpang lain bisa menghargai itu untuk tidak mengganggu. Maka sudah selayaknya tidak berbincang keras di transportasi publik.

Ketika sekarang ada kereta cepat yang diberi nama Whoosh, mungkinkah ada kesempatan membaca sambil menikmati pemandangan? Mungkin, kereta cepat memang ditujukan untuk orang-orang yang supersibuk, bukan untuk orang-orang yang ingin menikmati perjalanan dengan membaca.

Maka, golongan ini pasti akan memilih naik KA Argo Parahyangan— KA pengganti KA Parahyangan yang ditutup pada 27 April 2010. Adanya tol Cipularang, penumpang kereta api berpindah ke jasa transportasi mobil yang melintasi tol Cipularang.

Oohya! Baca juga ya: Ini Cerita Mengenai Munculnya Sebutan 'Kami Putra-Putri Indonesia' di Naskah Sumpah Pemuda

Penumpang kereta Jakarta-Bandung baru kembali setelah tol Cipularang didera kemacetan. Siapa tahan Jakarta-Bandung atau sebaliknya harus ditempuh dalam waktu delapan jam?
Sekarang ada kereta cepat Halim-Padalarang ditempuh dalam waktu 25 menit.

Whoosh, itulah nama kereta apinya. Lalu ada yang bertanya, "Mengapa tidak diberi nama Ngeeeng saja?"

Kata saya, jika Ngeeeng, kasihan para penumpangnya. Mereka harus membungkukkan badan selama perjalanan agar kereta api bisa melaju cepat seperti pembalap motor yang harus membungkukkan badan mereka. Ngeeeeeeng...

Oohya! Baca juga ya: Penduduk Sumatra Barat Hanya Minum Kopi Daun, Belanda Menikmati Harga Jual Kopi 40 Gulden Per Pikul

Tapi dengan naik kereta cepat, di Padalarang harus berganti kereta lagi untuk mencapai kota Bandung. Mau? Whoosh.. whoosh... whoosh... Eh, hus... hus... hus...

Priyantono Oemar

Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator

Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.

Redaksi
[email protected]