Lincak

Penduduk Sumatra Barat Hanya Minum Kopi Daun, Belanda Menikmati Harga Jual Kopi 40 Gulden Per Pikul

Kopi daun atau kawa daun tanpa campuran susu. Dinikmati dengan gula merah.

Ketimpangan itu sangat nyata. Keteika harga kopi masih tujuh gulden per pikul pada awal 1800, penduduk Sumatra Barat hanya menikmati kopi daun. Daun-daun kopi yang tua dipetik, dikeringkan, lalu direbus. Air rebusan daun kopi itu yang diminum.

Ketika harga kopi menjadi 30-40 gulden per pikul, orang Sumatra Barat juga cukup puas dengan kopi daun. Orang Minangkabau menyebutnya kawa daun.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Oohya! Baca juga ya: Jadi Negara Pengekspor Kopi, Nenek Kita Dulu Hanya Bisa Menikmati Kopi Daun, Sedih Ya...

Satu pikul saat itu setara dengan 60 kilogram. Naiknya harga kopi itu terjadi ketika orang-orang Amerika datang di Sumatra Barat pada akhir masa Perang Napoleon di Eropa.

Itu harga yang belum pernah ada sebelumnya. “Pada waktu Belanda kembali ke Padang pada 1819, sebagai bagian dari penyelesaian setelah perang, harga kopi menjadi 40 gulden per pikul,” tulis Christine Dobbin.

Orang-orang Amerika keranjingan kopi. Mengutip kapten kapal Amerika, Christine Dobbin menyebut, tidak ada harga yang telalu mahal untuk kopi bagi orang Amerika.

Oohya! Baca juga ya: Berburu Waktu untuk Melihat Tarsius di Cagar Alam Tangkoko, Kapan Saja?

Jika tahun-tahun sebelumnya ekspor kopi dari Sumatra Barat hanya 5.000 pikul, maka lantas naik tajam menjadi 20 ribu pikul. Orang-orang Amerika bisa mengangkut 3.000 pikul per kapal.

Demi memenuhi perminataan orang-orang Amerika ini, biji yang belum matang pun dipetik. Orang Amerika tak peduli soal itu, karena biji basah pun akan mereka angkut.

Ini mendorong pemerintahan Hindia Belanda terus membuka pelabuhan untuk kapal-kapal asing di tahun-tahun berikutnya. Ekspor kopi pun mencapai 33 ribu pikul pada 1825 dan 49 ribu pikul pada 1826.

Oohya! Baca juga ya: Tarsius, Primata Terkecil di Dunia yang di Minahasa Pernah Dianggap Sebagai Binatang Hantu

Adanya kapal-kapal asing ini, mendorong Belanda memberlakukan cukai bagi kapal-kapal asing itu. Sudah tertimpa cukai, orang-orang Amerika juga tertimpa harga kopi yang jatuh di Eropa.

Maka, pada 1828, tidak ada kopi dari Sumatra Barat yang dibawa ke luar negeri. Lalu, pada 1830 hanya ada tiga kapal Amerika yang berlabuh di Sumatra Barat (pelabuhan Padang dan pelabuhan Pariaman).

Oohya! Baca juga ya: Mengenal Kopi Toratima dari Pipikoro, Kopi Apa Itu?

Harga Kopi kembali turun, penduduk Sumatra Barat tetap saja hanya bisa meminum kopi daun.

Oohya! Baca juga ya: Tak Mau Hanya Menikmati Kopi Daun, Mencuri Biji Kopi Saat Panen Menjadi Pilihan

Priyantono Oemar

Sumber rujukan:
Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Padri karya Christine Dobbin

Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator

Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.

Redaksi
[email protected]