Tak Mau Hanya Menikmati Kopi Daun, Mencuri Biji Kopi Saat Panen Menjadi Pilihan
Ketika melakukan perjalanan ke Sumatra Barat, Komunitas Jejak Republik mampir di sebuah warung pinggir jalan di Koto Baru, Sepuluh Koto, Kabupaten Tanah Datar. Sengaja mampir karena ingin mencicip sajian masa lalu: kawa daun dan lamang.
Oohya! Baca juga ya: Jadi Negara Pengekspor Kopi, Nenek Kita Dulu Hanya Bisa Menikmati Kopi Daun, Sedih Ya...
Naskah-naskah Melayu Klasik banyak menyebut tambul kawa daun dan jadah (juadah). Mari kita simak beberapa penggalan kalimat dari naskah Melayu Klasik:
[...] tambul kahwa akan jadi tambul angkatan orang yang berjaga-jaga itu.
“Lihat tuan utama jiwa, aturan negeri itu semua , itulah pasar Cina dan Jawa, berjual juadah dengan kahwa."
Setelah habis sekalian bercakap, berkumpullah naik duduk maka minumlah kahwa dan juadah diadakan oleh Jena Luma, Jenamone, Bata Dadi.
Tambul adalah penganan yang dihidangkan sebagai teman minuman. Yang ada di warung di Koto Baru adalah lamang ketan (jadah). Kawa daun adalah minuman dari air sebusan daun kopi kering.
Oohya! Baca juga ya: Kopi Tubruk di Kamp Interniran Boven Digoel
“Kawa daun rasanya ringan dan agak keset. Sangat berbeda dengan rasam biji kopinya,” ujar penulis novel Kepundan, Syafiril Erman.
Tentu saja Syafiril merasa prihatin juga mengetahui nasib para pendaulu yang di masa penjajahan Belanda harsu bekerja di kebun kopi, tetapi tidak pernah menikmati enaknya kopi. Yang bisa mereka cicipi hanya air rebusan daun kopi.
“Dalam kultur tanaman buah, yang paling enak ya buahnya,” kata Syafiril. Tapi bangsa penjajah tidak membiarkan penduduk yang dijajahnya berkesempatan menikmatinya.
Oohya! Baca juga ya: Setelah 320 Tahun, Wiener Zeitung Harus Bersaing dengan Berita Palsu dan Video Kucing
“Bagi Kompeni Belanda, prinsipnya jangan biarkan bangsa Indonesia yang mereka sebut inlander merasakan apa enaknya rasa keik, keju, dan kopi,” tambah Harris Harlianto, embriolog di Bandung Fertility Center yang juga pecinta kopi.
Maka, tak heran jika di Jawa, pencurian biji kopi pun marak. Tidak hanya oleh penduduk pengolah kebun kopi, melainkan juga oleh penjaga gudang pabrik-pabrik kopi. Tak sudi hanya kebagian kopi daun (kawa daun), mencuri biji kopi di masa panen pun menjadi pilihan untuk bisa menikmati kopi.
Berita-berita penangkapan pencuri kopi juga banyak menghiasi koran-koran Belanda. Pada Agustus 1938, misalnya, ada enam pencuri kopi di Malang yang ditangkap polisi. Pada Agustus 1931 ada dua pembeli kopi curian di Malang harus menghadapi sidang pengadilan bersama 10 pencuri kopi yang menjual kopi curian kepada mereka.
Mencuri kopi, selain bisa dijual lagi, juga membuka kesempatan mencicip enaknya rasa kopi. Per kati (6,25 ons) biji kopi bisa mendapat enam sen. Jika diolah sendiri, bisa menyeruput kopi tubruk dengan cara minum di Bandung selatan. Gelas yang sudah berisi kopi ditutup cawan atau piring kecil, lalu posisinya dibalik. Air kopi diseruput tidak dari bibir gelas, melainkan dari bibir cawan. Dengan cara begitu, kopi awet hangat.
Oohya! Baca juga ya: Kopi Tubruk. Sudah Tahu Cara Meminumnya?
Priyantono Oemar
Sumber rujukan:
Bo' Sangaji Kai: Catatan Kerajaan Bima, naskah abad ke-18.
Salasilah Melayu dan Bugis karya Raja Ali Haji, naskah abad ke-19
Syair Siti Zubaidah naskah abad ke-18
Soerabaijasch Handelsblad, 31 Juli 1931, 16 AGustus 1938
De Indische Courant, 27 Agustus 1931
Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi