Jadi Negara Pengekspor Kopi, Nenek Kita Dulu Hanya Bisa Menikmati Kopi Daun, Sedih Ya...
Max Havelaar kagum pada penduduk Lebak denhan segala keterbatasannya. Bahkan untuk merasakan kopi pun penduduk Lebak yang dilihat Max Havelaar harus cukup puas dengan air rebusan daun kopi. Menurut dia, lebih baik minum teh jahe daripada daun kopi.
Di Sumatra Barat, kopi daun dikenal sebagai kawa daun. Sebelum bangsa Indonesia mengenal nama kopi, dari koffie (Belanda), sudah terlebih dulu mengenal kawa atau kahwa, dari qahwa (Arab).
Oohya! Baca juga ya: Anak-Anak Muda Sangihe Bertekad Pertahankan Pulau Sangihe, tidak Boleh Ada Perusakan
Begini kata Max Havelaar:
Lihat saja para kuli yang membawa beban berat menyeberangi pegunungan, mereka tetap bugar dan luwes dengan cara meminum air hangat, atau kopi daun, namun teh jahe lebih bagus.
Di Jawa, produksi kopi anjlok atau kualitas kopi menurun bisa terjadi karena ada hama daun. Tapi, di Sumatra pada 1890 produksi kopi juga anjlok, kendati belum ada hama daun di sana.
Pada lelang 19 September 1890, hanya 17 ribu pikul biji kopi yang dilelang dengan harga 68,49 gulden per pikul. Menurun dari lelang pada Juni 1890 yang mencapai 18 ribu pikul dengan dengan harga 70 gulden per pikul.
Apa penyebabnya? Rupanya ada peningkatan perdagangan daun kopi. Pemerintah telah mengizinkan penduduk memetik daun kopi yang sudah tua untuk keperluan rumah tangga. Tapi ternyata, daun-daun muda pun ikut dipetik.
Daun kopi digunakan untuk keperluan rumah tangga? Kebun-kebun kopi saat itu merupakan milik pemerinah Hindia-Belanda, tetapi yang bekerja di kebun adalah penduduk-penduduk pribumi. Biji-biji kopi dijual ke Eropa dan Amerika.
Oohya! Baca juga ya: Berita Bersih-Bersih Komunis di Grobogan Membuat Panas Kuping Para Pejabat di Jakarta
Rakyat biasa? Ya cukup merebus daun kopi, lalu meminum air rebusan daun kopi itu. Itulah yang bisa dilakukan oleh nenek kita di masa lalu. Di Sumatra, pasar utama daun kopi adalah para pelintas Payakumbuh. Tiap Ahad, daun kopi dijual di sana, lokasi penjualan daun kopi terbesar di wilayah pantai barat Sumatra.
Lalu ada yang usul, agar kebun kopi terjaga produksinya, daun-daunnya tidak dipetik untuk dijual, maka para pekerja kebun perlu diberi upah yang lebih tinggi. Namun, usulan ini dipatahkan. Alasannya, pribumi memetik daun kopi bukan untuk menumpuk keuntungan, tapi semata untuk bisa menikmati rasa kopi karena tidak bisa mendapatkan biji kopinya.
Lalu muncul usul lain, agar pemerintah menyediakan kopi kelas dua. Yang terjadi kemudian, banyak pabrik yang memproduksi kopi palsu. Yang dijual kopi bubuk campur. Saat kopi disangrai, dicampur dengan berbagai jenis biji-bijian, seperti biji jagung.
Pada 1930-an, di Jawa Tengah ditemukan kopi palsu ini campurannya bahkan ada yang mencapai 90 persen. Biji kopinya hanya 10 persen, nonkopinya 90 persen.
Oohya! Baca juga ya: Bukan karena Sudah ‘Tua’ Sukarno tidak Hadir di Kongres Pemuda, Lalu karena Apa? Ini Cerita Inggit Garnasih
Beredarnya kopi campuran ini juga merugikan bisnis kopi pemerintah, sehingga mendorong pemerintah melakukan kampanye konsumsi kopi murni. Lalu diproduksi bubuk kopi murni merek kahwa. Mobil kampanya keliling ke berbagai tempat menyuguhkan kopi kahwa secara gratis kepada masyarakat.
Priyantono Oemar
Sumber rujukan:
Algemeene Handelsblad voor Nederlendsch-Indie, 12 Desember 1938
De Locomotief, 7 Oktober 1890, 3 Agustus 1937
Max Havelaar karya Multatuli (2017)
Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator
Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.
Redaksi