Lincak

Berita Bersih-Bersih Komunis di Grobogan Membuat Panas Kuping Para Pejabat di Jakarta

Isu bersih-bersih komunis di Purwodadi-Grobogan pada 1969 segera menjadi isu nasional. Para pejabat pun panas kuping, karena Presiden Soeharto hendak melawat ke Eropa.

Koran-koran Jakarta begitu tertarik pada kasus bersih-bersih terhadap orang-orang komunis di Purwodadi-Grobogan. Itu terjadi dua tahun setelah tulisan-tulisan Soe Hok Gie tak ada yang berani memuatnya.

Soe Hok Gie telah menuliskannya pada 1967. Namun, baru pada 1969 koran-koran bisa membuat laporan dengan melakukan liputan langsung ke Grobogan.

“Gelombang Pemb*nta*an Selama Tiga Bulan di Purwodadi”. Demikian judul halaman pertama Harian Kami edisi 26 Februari 1969.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Oohya! Baca juga ya: Lima Hal yang Susah Dipahami oleh Orang Luar PSI Setelah Kaesang Disahkan Sebagai Ketum PSI

Harian Kami memuat hasil wawancara dengan HCJ Princen dari Lembaga Lembaga Pembela Hak Asasi Manusia (LPHAM) Jakarta yang baru pulang dari Jawa Tengah.

Menurut Princen, sekitar 2.000-3.000 penduduk Purwodadi-Grobogan telah dihilangkan sejak November 1968 oleh tentara dari Kodam Diponegoro. Yang ditahan juga mengalami penyiksaan. Mereka dituduh sebagai anggota PKI dan atau ormas-ormas di bawah PKI.

Setelah itu, koran-koran Jakarta mencoba masuk ke Grobogan. Jika masuk sendiri, harus main kucing-kucingan dengan tentara. Mereka masuk Grobogan atas undangan Pangdam Diponegoro Mayjen Surono., di antaranya Indonesia Raya dan Sinar Harapan.

Itu artinya, para wartawan akan selalu dikawal tentara ketika mereka menemui narasumber. Itu berarti, narasumber tidak akan berani berbicara jujur.

Oohya! Baca juga ya: Naik Kereta Api... Whoosh Whoosh Whoosh... Siapa Hendak Turut? Hus....

Harian Kami pun menurunkan tulisan sarkas menyambut undangan itu. Bahwa akan segera diterbitkan buku panduan pariwisata untuk para wartawan yang ingin berkunjung ke Purwodadi-Grobogan.

Tulisan itu menarankan agar para wartawan melakukan perjalanan sendiri, menggunakan pakaian sederhana. Jika perlu cukup mengenakana pakaian lusuh dengan sarung dan peci.

Tak perlu bingung soal akomodasi. Mereka, kata Harian Kami, bisa menginap gratis di wisma yang disediakan tentara.

Tentu saja tak semua yang dibunuh dan ditahan adalah orang-orang komunis atau pendukung komunis. Ada juga salah tangkap. Ada guru-guru yang ditangkap. Tercatat ada tujuh guru agama Katolik yang ditangkap.

Oohya! Baca juga ya: Dibatalkan oleh Sukarno, Tunjangan untuk Janda WR Supratman Diberikan Lagi oleh Soeharto, Begini Kata Salamah

Di antara mereka ada yang meninggal di tahanan. Menurut tentara, meninggal karena jatuh di kamar mandi. Bukan karena disiksa. Harian Kami menurunkan tulisan berdasarkan bocoran laporan medis, bahwa guru itu meninggal akibat pukulan.

Ada juga guru agama Islam yang ditangkap lalu ditahan. Mengutip laporan Harian Kami, Robert Cribb menyebut guru itu secara kebetulan menghadiri pertemuan gelap Partai Nasional Indonesia (PNI). Di pertemuan itu dibicarakan soal dukungan untuk Sukarno.

Guru itu lalu melaporkan ke aparat setempat, tetapi ia kemudian ditahan dan disiksa. Dituduh telah melakukan perencanaan membantai orang-orang Kristen.

Menlu Adam Malik pada 14 Maret 1969 mengeluarkan ultimatum agar pers tidak membesar-besarkan kasus Grobogan itu. Alasannya, isu itu akan menjatuhkan Indonesia di mata internasional dan Repelita akan terganggu.

Oohya! Baca juga ya: Ibu Tien Soeharto Ternyata Masih Keturunan dari Anak Raja Majapahit yang Dibuang ke Grobogan

Adam Malik bercerita, Presiden Soeharto akan melakukan lawatan ke Eropa. Jangan sampai isu itu dijadikan warga Eropa mendemo Presiden Soeharto.

Menpen Budiarjo yang mengadakan kunjungan tertutup ke Grobogan pada 17 Maret 1969 juga menyatakan, kondisi di Grobogan sudah terkendali. “Meskipun ada pembatasan-pembatasan militer, penunjuk-penunjuk tentang sifat pembantaian-pembantaian itu mulai muncul ke permukaan sejalan dengan berjalannya waktu,” tulis Robert Cribb.

Priyantono Oemar

Sumber rujukan:
Pembantaian PKI di Jawa dan Bali 1965-1966 editor Robert Cribb

Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator

Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.

Redaksi
[email protected]

Berita Terkait

Image

Ini Syarat Gelar Pahlawan Nasional, Bupati Grobogan Ini Memenuhi?

Image

Bikin Trilogi Pedesaan, Layakkah Bupati Grobogan Ini Jadi Pahlawan Nasional?

Image

Siapa yang Layak Jadi Pahlawan Nasional dari Grobogan?