Sekapur Sirih

Menguji Keampuhan Sumpah Pemuda Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa

Kongres Pemuda Indonesia mengikrarkan Sumpah Pemuda Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa. Sepuluh hari kemudian, koran milik Budi Utomo, Darmokondo, menguji keampuhannya lewat tulisan berjudul: Satu Tumpah Darah, Satu Bangsa, Satu Basa. Sumber:ronggo astungkoro/republika

Setelah memberitakan tiga kali mengenai Kongres Pemuda Indonesia II, Darmokondo menguji keampuhan isi Sumpah Pemuda: Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa. Koran milik Budi Utomo itu menurunkan analisis empat seri 10 hari setelah Sumpah Pemuda diikrarkan, dalam judul: "Satu Tumpah Darah, Satu Bangsa, Satu Basa".

Darmokondo mengutip perkataan Guido Gazelle. Nama lengkapnya: Guido Pieter Theodorus Josephus Gezelle. Kutipannya: Die geen taal hift, is geen naam weerd dan Waar geen taal left, is geen volk.

Artinya, kata Darmokondo: Yang tak berbasa, tak berharga dan Di mana tak ada basa, di situlah tak ada bangsa. “Atau dengan ringkas: Tiada bangsa tak berbasa,” tulis Darmokondo.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Tapi Darmokondo juga mengutip pemikiran Stoddard, Bauer, dan lainnya. Pemikiran mereka menegaskan bahwa tanda bukti suatu bangsa tidak bergantung pada adanya persatuan bahasa. Bukti suatu bangsa itu ada adalah adanya kehendak bersatu.

Dua-duanya, menurut Darmokondo benar. Menghidupkan bahasa persatuan benar adanya, menguatkan kehendak bersatu, benar pula.

Lalu Darmokondo mengungkapkan sikapnya bahwa keperluan dan pengaruh bahasa atas suatu bangsa itu bukan kepentingan utama. Bangsa Indonesia juga tidak mengutamakan hal itu.

Dengan kata lain, bahwa untuk mencapai persatuan Indonesia, bahasa tidak memiliki kepentingan utama. Darmokondo menyebut contoh ada banyak bangsa yang bisa bersatu kendati bahasanya tidak satu.

Apakah bangsa Indonesia bisa bersatu tanpa bahasa? Atau dalam rumusan lain: perlukah bahasa persatuan bagi bangsa Indonesia?

“Walaupun ada basa yang satu (serupa), menjadi ada persatuan basa itu dan lebih jauh pun serupa pula agama dan adat istiadatnya, tetapi kalau perasaan dan budinya berlainan, hingga keperluannya pun jadi berbeda pula, maka persatuan yang berarti paham serukun seia sekata itu pun takkan bisa menjadi,” tulis Darmokondo.

Darmokondo lalu memberi contoh. Jika seorang pelajar memiliki segala sesuatu yang bisa digunakan untuk mendukung pertemuan dengan pelajar yang lain, mereka tetap tak akan bisa bertemu jika yang satu berperasaan budak dan yang lain berperasaan ksatria.

Berita Terkait

Image

Ternyata Kalangan Tua Juga Hadir di Kongres Pemuda yang Hasilkan Sumpah Pemuda

Image

Ternyata Kalangan Tua Juga Hadir di Kongres Pemuda yang Hasilkan Sumpah Pemuda

Image

Ini Penyebab Koran Bintang Timoer Sepelekan Kongres Pemuda yang Hasilkan Sumpah Pemuda