Sebelum Kongres Pemuda Indonesia Kedua, Koran Belanda pun Sudah Ada yang Sebut Bahasa Indonesia
Delapan bulan sebelum Kongres Pemuda Indonesia Kedua, koran di Belanda sudah menyebut bahasa Indonesia.
Dua puluh selapan tahun setelah Kongres Pemuda Indonesia Kedua, linguis Amerika Serikat Mario Pei memasukkan bahasa Indonesia ke dalam daftar bahasa yang dipakai oleh lebih dari 50 juta pengguna. Pada 1956 itu, jumlah penduduk Indonesia di atas 85 juta jiwa. Berarti masih ada lebih dari 35 juta penduduk yang belum bisa bahasa Indonesia.
Oohya! baca juga ini ya: Setelah Sumpah Pemuda, Bahasa Indonesia Pernah Disebut sebagai Bahasa yang Kasar dan Kacau.
Di dalam daftar bahasa yang dipakai lebih dari 50 juta pengguna itu ada bahasa Cina, Inggris, Hindustan, Spanyol, Rusia, Jerman, Jepang, Prancis, Bengali, Italia, Postugis, dan Arab. Sedangkan bahasa Belanda masuk dalam daftar yang dipakai 15-12 juta pengguna, bersama bahasa Rumania, Gujarat, Rajastan. Kalah dari bahasa Jawa yang masuk dalam daftar bahasa yang dipakai oleh 20-25 juta pengguna. Di dalam daftar bersama bahasa Jawa itu ada bahasa Turki, Vietnam, dan Punjabi.
Menurut Pei, bahasa-bahasa Timur yang saat itu dianggap kurang penting oleh Barat, sedang berusaha keras untuk mendapatkan pengakuan. Yaitu, bahasa Arab dan Cina yang memiliki prestise budaya kuno dan penyebaran yang luas. Sedangkan Jepang, dan mungkin bahasa Hindustan serta Indonesia, suatu saat nanti juga bisa dalam posisi berusaha keras untuk mendapat pengakuan.
Pei mengatakan:
Lima ratus lebih bahasa kecil ada di Asia, terutama di bagian tenggara, di Filipina dan di kepulauan Indonesia. Di sini harus dicatat bahwa bahasa Indonesia yang menjadi bahasa resmi republik baru ini merupakan bahasa kompromi. Bahasa ini dirancang untuk keperluan pemerintahan dan menggabungkan sebagian besar unsur bahasa Melayu lama yang telah lama melayani wilayah tersebut sebagai bahasa perdagangan.
Oohya! Baca juga ini ya: Koran Hindia Baroei Ini Jadi Bukti Nama Bahasa Indonesia Disebut untuk Pertama Kalinya.
Orang Belanda melihat bahwa orang Indonesia mulai menghormati bahasanya sendiri. Semangat menggunakan bahasa Indonesia untuk menggantikan bahasa Belanda dalam pertemuan-pertemuan organisasi pemuda itu telah tumbuh setelah Kongres Pemuda Indonesia Pertama.
Sindiran Nrs di Hindia Baroe kapada para pemuda Jong Sumatranen Bond dan Jong Java yang berperilaku kebelanda-belandaan rupanya kena sasaran. Pada 20 Maret 1928 De Indische Courant yang terbit di Surabaya menurunkan tulisan berjudul “Bahasa Indonesia. Een Enheidtaal” (Bahasa Indonesia. Bahasa Persatuan). Tulisan itu diambil oleh Indische Courant dari De Nieuwe Rotterdamsche Courant, yang terbit di Belanda, edisi 9 Februari 1928, dalam judul “Bahasa Indonesia”.
Oohya! Baca juga ini ya: Jika Tabrani tak Tersinggung, akankah Ada Bahasa Indonesia?
Sepertinya, De Nieuwe Rotterdamsche Courant menyimak perdebatan pembentukan bahasa Indonesia di koran Hindia Baroe pada awal 1926. Perdebatan penyebutan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan di Kongres Pemuda Indonesia Pertama pada 2 Mei 1926 belum terpublikasi. Koran ini sepertinya juga mengamati pertemuan-pertemuan organisasi pemuda yang ingin meneguhkan bahasa Indonesia menggantikan bahasa Belanda setelah Kongres Pemuda Indonesia Pertama.
Di tulisan itu tergambar adanya wacana di kalangan pemuda di organisasi-organisasi pemuda untuk mengganti bahasa Belanda dengan bahasa Indonesia di pertemuan-pertemuan mereka. Penggunaan bahasa Belanda telah dianggap bertentangan dengan cita-cita nasional mereka, meski mereka mengakui bahwa bahasa Belanda telah berjasa membuka pengetahuan Barat.
“Bahasa Indonesia harus dipilih, bukan bahasa Belanda,” tulis De Nieuwe Rotterdamsche Courant. “Dan bahasa Melayu ini harus disebut Bahasa Indonesia mulai sekarang.” Tapi, kata koran itu, penggunaan bahasa Melayu itu akan selalu diselingi bahasa Belanda “karena banyak konsep yang dibawa Barat ke Timur tidak dapat diungkapkan dalam bahasa Melayu asli”. Apalagi, dalam bahasa Melayu pergaulan yang diperjuangkan menjadi bahasa Indonesia.
Karena itu, De Nieuwe Rotterdamsche Courant lantas melontarkan pandangan yang merendahkan bahasa Indonesia. “Mengganti bahasa Barat yang kaya dengan bahasa Timur yang miskin dan rusak seperti bahasa Melayu pergaulan (kami tidak berbicara tentang bahasa Melayu) mungkin memuaskan kalangan tertentu, tetapi tindakan itu akan merugikan diri sendiri para penggunanya.” Demikian penutup tulisan 4.000-an huruf yang terdiri dari tujuh alinea itu.
De Nieuwe Rotterdamsche Courant memberikan contoh kasus. Dalam sebuah pertemuan besar, seorang dari Jawa mencoba berpidato menggunakan bahasa Melayu. Tapi, yang terjadi kemudian, ia melanjutkan pidatonya dalam bahasa Belanda. Orang Jawa itu gagal menggunakan bahasa Melayu karena miskin kosa kata.
Oohya! Baca juga ini ya: Sebelum Kongres Pemuda Indonesia Kedua, Soenario Pun Sudah Ikut Menyebut Nama Bahasa Indonesia.
Tapi, Belandalah yang kemudian merugi, bukan pemuda Indonesia. Pada tahun 1942, penggunaan bahasa Belanda di Indonesia dilarang oleh Jepang. Digantikan dengan bahasa Indonesia --koran di Belanda, De West (30 Oktober 1942), masih menyebutnya sebagai bahasa Melayu. Koran ini menulis berita kecil tentang situasi di Jawa setelah Jepang mengalahkan Belanda berdasarkan informasi dari opsir Belanda yang berhasil melarikan diri dari Jawa.
Menurut opsir itu, bahasa Belanda tidak lagi dijadikan sebagai bahasa resmi, digantikan oleh bahasa Melayu. Papan-papan nama berbahasa Belanda diganti dengan bahasa Melayu. Penyiaran juga tak boleh menggunakan bahasa Belanda. Untuk siaran luar negeri, yang digunakan adalah bahasa Inggris.
Oohya! Jangan lupa baca ini juga ya: Apa Itu Melayu-Gampang yang Disebut Tabrani sebagai Bahasa Indonesia?
Priyantono Oemar