Setelah Sumpah Pemuda, Bahasa Indonesia Pernah Disebut Sebagai Bahasa yang Kasar dan Kacau
Belanda menganggap bahasa Indonesia kasar dan kacau.
Pada 1928, tahun diucapkannya Sumpah Pemuda “Menunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia”, jumlah sekolah dengan pengantar bahasa Melayu telah mencapai 17.611 sekolah. Menurut J Stroomberg di buku Hindia Belanda 1930, hingga 1928 itu jumlah muridnya baru mencapai 1.513.085.
Data itu bisa digunakan untuk mengatakan betapa kecilnya jumlah penduduk yang mengerti bahasa Melayu di luar daerah yang menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa ibu. Pun, pada akhir masa penjajahan saja, penduduk Indonesia yang buta huruf mencapai 93,7 persen. Maka, sungguh kuat alasan Tabrani jika tidak menyetujui bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan, dan memilih bahasa Indonesia sebagi bahasa persatuan.
Oohya! Baca juga ini ya: Jika Tabrani tak Tersinggung, akankah Ada Bahasa Indonesia?
Sekolah-sekolah berbahasa Melayu itu, menurut Stroomberg, yang dikelola pemerintah kolonial ada 14.702 sekolah, yang dikelola swasta ada 2.909 sekolah. Di tahun itu, masih ada pula 786 sekolah yang menggunakan bahasa Belanda dengan jumlah siswa 146.275, 81.281 di antaranya adalah siswa pribumi.
Mereka yang mengerti bahasa Melayu, dalam keseharian pun kemudian memilih menggunakan bahasa campuran. Bahasa campuran inilah yang disebut Tabrani sebagai bahasa Indonesia. Orang Belanda menggunakan kata-kata Melayu bercampur dengan kata-kata Belanda dalam struktur kalimat menurut kaidah bahasa Belanda, orang Jawa menggunakan kata-kata Melayu bercampur dengan kata-kata Jawa dalam struktur kalimat menurut kaidah bahasa Jawa. Begitu seterusnya. Bahasa campuran ini terpaksa disebut pula oleh Tabrani sebagai bahasa Melayu-gampang, ketika orang menanyakan pengertian bahasa Indonesia.
Oohya! Baca juga ini ya: Apa Itu Melayu-Gampang yang Disebut Tabrani sebagai Bahasa Indonesia.
Maka, tak heran jika orang Belanda lantas menyebut bahasa Indonesia sebagai bahasa yang kasar dan kacau, tidak memenuhi kaidah bahasa Melayu yang dikembangkan oleh pemerintah kolonial di sekolah-sekolah. Bahasa campuran itu juga tidak mudah dipahami oleh orang Belanda, termasuk juga oleh orang Indonesia yang berbeda daerah. Dalam istilah linguistiknya disebut bahasa patois. Patois telah memiliki makna yang berkembang. Menurut Pierre Bourdieu, dari semula dimaknai sebagai “bahasa yang tidak bisa dipahami”, menjadi “bahasa yang korup dan kasar, seperti bahasa yang digunakan oleh bangsa yang kecil”.
Begitu jugalah bahasa Indonesia pada awalnya. Ada yang kurang setuju dengan pemunculan bahasa Indonesia. Pada saat Muh Yamin mengusulkan bahasa Melayu sebagai sebagai bahasa persatuan di Kongres Pemuda Indonesia Pertama, pengguna bahasa Melayu masih sangat jauh di bawah jumlah pengguna bahasa Jawa. Tapi Tabrani juga tidak mengusulkan bahasa Jawa sebagai bahasa persatuan. Ia memilih bahasa Indonesia, agar tidak ada bahasa yang sudah ada terlebih dulu tersingkirkan oleh bahasa lain yang diangkat sebagai bahasa persatuan.
Oohya! Baca juga ini ya:
- Koran Hindia Baroe Ini Jadi Bukti Nama Bahasa Indonesia Disebut untuk Pertama Kalinya.
- Sebelum Kongres Pemuda Indonesia Kedua, Soenario pun Sudah Ikut Menyebut Nama Bahasa Indonesia.
Priyantono Oemar