Pitan

Kenapa Bung Karno Ceraikan Anak Tjokoraminoto, Istri Pertamanya?

Setelah memulangkan istri pertamanya, Bung Karno mengadu kepada ibunya. Kenapa Bung Karno ceraikan anak Tjoroaminoto?

Ketika bersekolah di HBS Surabaya, Bun g Karno tinggal di rumah HOS Tjokroaminoto. Pemimpin Sarekat Islam itu pun kemudian menjodohkan anaknya, Siti Utari, dengan Bung Karno.

Lulus dari HBS, Bung karno melanjutkan sekolah di Technische Hoogeshool te Bandoeng (THB). Namun, setelah lulus dari THB mengapa ia ceraikan Siti Utari, istri pertamanya itu?

Setelah memulangkan Siti Utari ke orang tuanya, Tjokroaminoto, Bung Karno pulang ke Blitar. Ia sungkem kepada ibunya sebelum mengutarakan isi hatinya, “Ibu, saya tidak beruntung.”

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Oohya! Baca juga ya: OPM, Organisasi Papua Merdeka Vs Organisasi Papua Money

Baru mengungkapkan satu kalimat, air matanya meleleh. Ibu Bung karno menjadi gusar, karena belum memahami maksud kalimat Bung Karno.

“Ya anakku, kau kenapa? Bicaralah yang terang,” kata ibu Bung Karno.

Lama Bung Karno tak menjawab pertanyaan ibunya. Dadanya membuncah. Ibunya terus mendesak, “Karno, bicaralah yang terang. Ibu tidak marah, ada apa?”

“Utari sudah pulang kepada orangb tuanya,” jawab Bung Karno.

“Oh, kenapa ia pulang? Apa kau kurang berharga untuknya?” tanya ibu Bung Karno.

“Bukan begitu, Ibu. Hanya saya yang antarkan pulang,” jawa Bung Karno.

Oohya! Baca juga ya: Setelah Soetomo Bertemu Wahidin Lahirlah Budi Utomo, Hari Kebangkitan Nasional

“Apa ia bersalah?”

“Tidak Ibu, jauh dari itu.”

“Dan kenapa diantarkan pulang?”

“Oh, buat keberuntungannya Utari sendiri,” jawab Bung Karno.

“Oh, Kusno, engkau membuat aku jadi bingung. Tuturkanlah duduk perkaranya,” kata Ibu Bung Karno menyapanya dengan nama kecil anaknya, Kusno.

Mendengar ibunya menyapanya dengan nama kecil, Bung Karno mengangkat kepalanya dari pangkuan ibunya. Setelah itu ia arahkan pandangannya ke luar jendela, lalu menarik napas panjang.

Setelah mengatur hatinya, ia mendapatkan kekuatan untuk melanjutkan perkataannya. Ia lalu menjelaskan kepada ibunya alasan ia ceraikan anak Tjokroaminoto, istri pertamanya.

Oohya! Baca juga ya: Bukan ke Mataram Sultan Agung, Orang India Pasok Emas dari Barus ke Jawa kepada Mataram Siapa?

“Ibu, tentu Ibu tidak kejam untuk kemudian menyalahkan saya dalam hal ini,” kata Bung Karno.

Ia lalu bercerita saat ia meminta restu kepada ibunya untuk menikahi Siti Utari. Ia menyatakan saat itu ia masih terlalu muda untuk memikirkan arti pernikahan.

“Ibu, Utari juga tidka bisa disalahkan karena ia juga masih terlkalu muda,” kata Bung Karno.

Tak ada yang salah dalam cinta mereka. Bung Karno mengaku sangat mencintai Utari kendati pernikahan itu karena dijodohkan oleh ayah Utara, Tjokroaminoto.

Cinta itu juga masih ada ketika ia memulangkan Utari kepada orang tuanya.Demikian juga perasaan cinta Utari kepada Bung Karno, juga masih ada.

“Tapi Ibu, semuanya itu bukanlah cinta sebagai suami istri. Hanya cinta sebagai cintanya orang yang bersaudara. Saya belum mengerti suatu apa ketika orang minta saya untuk menjadi suaminya Utari, cuma saya bergirang karena saya dan Utari akan menjadi teman hidup selamanya,” kata Bung Karno.

Bung Karno dan Siti Utari menikah sebelum Bung karno bersekolah di Bandung. Sebelum memenuhi permintaan Tjokroaminoto, Bung Karno pulang ke Blitar, meminta pendapat dari orang tuanya.

Oohya! Baca juga ya: Starbucks Jadi Gunjingan Lagi, Kerbau di Solo Juga Minum Kopi

“Terserah kepada engkau.” Demikian jawaban dari ayah dan ibu Bung Karno. Bung Karno pun menikah pada usia 17 tahun. Ia kemudian harus pindah ke Bandung, karena diterima di THB.

Baru dua bulan di Bandung, ada kabar Tjokoraminoto ditangkap Belanda, Bung Karno pun keluar dari THB dan pulang ke Surabaya.

Ia menjadi kepala rumah tangga Tjokoaminoro dengan bekerja sebagai juru tulis di Staats Spoor. Gajinya 265 gulden per bulan.

Tetapi, enam bulan berikutnya, Bung Karno berselisih paham dengan ibu mertuanya, membuat Bung Karno kembali ke Bandung. Ia mendaftar lagi ke THB.

Selama di Bandung, pergaulan politiknya bertambah. Ia sering bertukar pikian dengan Tjipto Mangunkusumo, Douwes Dekker, dan Suwardi Surjaningrat. Wawasannya bertambah dari tiga orang sekuler itu.

Tapi hal itu justru membuat diriya berselisih dengan Tjokroaminoto, guru politik pertamanya, yang berpegang teguh pada Islam. Perselisihan kecil ini ternyata membawa pula akibat terhadap Siti Utari. Bung Karno lalu ceraikan Siti Utari, istri pertamanya.

Oohya! Baca juga ya: Panglima Perang Diponegoro Meracuni Penginjil Belanda di Tondano, Benarkah?

“Tapi siapa yang bisa menduga dan mengira, setelah saya bertambah umur saya memperoleh tambah keyakinan bahwa anara saya dan Romo Tjokron terdapat perbedaan azas dan paham dalam politik masyarakat pergerakan Indonesia,” kata Bung Karno kepada sang ibu.

Ia telah memiliki keyakinan politik yang berbeda dengan keyakinan politik Tjokroaminoto. “Kemudian mendapat kesimpulan, tidaklah pantasn kalau dunia percaturan pergerakan politik ini nantinya akan menjadi berhadap-hadapan antara matu dan mertua. Tidak pantas, Ibu,” kata Bung Karno.

Maka, Bung Karno memperkirakan Siti Utari akan lebih berpihak kepada ayahnya kepada suaminya. “Andaikata ia memilih berpihak kepada saya sebagai suaminya, saya juga sangat menyesal karena dengan demikian ia akan tercatat sebagai anak yang tidka berbakti kepada orang tuanya,” kata Bung Karno.

Dengan keadaan rumah tangga seperti ini, Bung karno merasa tak bisa memiliki keluarga yang baik. “Harapan apakah yang akan kami peroleh dari anak-anak kami kemudian hari?

Oohya! Baca juga ya: Garang Asem, Apanya yang Digarang?

Oleh karena itu, Ibu, saya menjadi bingung dan gelisah dan senantiasa diliputi kegala kesangsian,” kata Bung Karno.

Jalan pemecahan yang didapat Bung Karno adalah: ia ceraikan anak Tjokroaminoto, Siti Utari, dengan baik-baik. Perpisahan itu itu diputuskan berdua dengan Utari.

“Ibu, tidak disangka, kiranya bukan saya saja yang berpendapat demikian. Kiranya Utari pun berpendapat demikian juga. Ia pun mengetahui bahwa di antara saya dan Utari ada perpisahan jurang,” kata Bung Karno.

Priyantono Oemar

Sumber rujukan:
Bung Karno Mentjari dan Menemukan Tuhan, karya HA Notosoetardjo (1964, cetakan ketiga)