Lincak

Setelah Soetomo Bertemu Wahidin Lahirlah Budi Utomo, Hari Kebangkitan Nasional

Setelah bertemu dokter Wahidin Soedirohoesodo, dokter Soetomo terinspirasi mendirikan Budi Utomo. Hari kelahiran organisasi itu diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Wahidin bercerita apa?

Setelah berkeliling ke berbagai wilayah, dokter Wahidin Soedirohoesodo beristirahat di Batavia pada pertengahan 1907. Dokter Soetomo berkesempatan bertemu dengannya.

Soetomo menyimak cerita Wahidin. Pertemuan inilah yang mendorong Soetomo mewujudkan pendirian Budi Utomo pada 1908.

Delapan pendiri Budi Utomo tindak tanduknya dinilai Douwes Dekker sangat tenang, kurang cocok dengan kondisi zaman saat itu. Tapi, sekarang tanggal lahir Budi Utomo diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional. 

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Oohya! Baca juga ya:

Bukan ke Mataram Sultan Agung, Orang India Pasok Emas dari Barus ke Jawa kepada Mataram Siapa?

Wahidin bercerita mengenai upaya penggalangan beasiswa yang dihalang-halangi pihak Belanda. Saat ia tiba di suatu daerah sudah tersiar kabar para priyayi tak akan menghadiri pertemuan dengan Wahidin.

Para priyayi itu dihalang-halangi oleh asisten residen agar tidak menemui Wahidin. Wahidin pun bergegas menghadap asisten residen itu.

Soetomo, yang dikutip Ketua Budi Utomo periode 1917-1918, menceritakannya sebagai berikut:

Sesoedahnja masoek didalam kantor toean Ass.-Resident itoe, tinggallah beliau berdiri dengan diam, hingga toean Ass.-Resident menengok padanja.

Toean Ass.-Resident mendjadi sabar, seketika itu djoega, moekanja mendjadi manis dan tersenjoem poela. Maka kata Toean Ass.-Resident padanja: “Dokter, maksoedmoe haroes ditoendjang sekoeat-koeatnja. Baiklah berbitjara pada hari malam conferentie, hingga sekalian ambtenaar saja dapat mendengarnja.”

Maka dengan bantoean toean Ass.-Resident ini, jang moela asalnja bermaksoed akan merintangi kemaoeannja itoe, dapatlah beliau perhatian jang loear biasa besarnja.

Oohya! Baca juga ya:

Garang Asem, Apanya yang Digarang?

Kesediaan Wahidin menghadap asisten residen dan berdiam diri selama belum disapa, memberikan gambaran bahwa sebagai orang Jawa Wahidin bisa menunjukkan sikap anak kepada bapak agar keinginannya dituruti orang tua. Demikianlah, sebab orang-orang Belanda memang memosisikan dirinya sebagai “bapak” bagi bangsawan Jawa.

Dengan kesadaran barunya, Soetomo bersama tujuh pemuda bangsawan Jawa yang menempuh studi di STOVIA mendirikan Budi Utomo pada 20 Mei 1908. Di kemudian hari, tanggal kelahiran Budi Utomo diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional.

Budi Utomo yang tenang menggambarkan karakter para pendirinya. Dengan tenang, Budi Utomo memperjuangkan perluasan pendidikan bagi orang Indonesia seperti yang telah diperjuangkan oleh dokter Wahidin Soedirohoesodo, tapi tujuh tahun kemudian, mulai 1915, menekuni urusan politik juga.

Ketenangan Budi Utomo yang didirikan dokter Soetomo itu khas bangsawan Jawa. Itu membuat EFE Douwes Dekker perlu menyentilnya. Douwes Dekker menganjurkan agar anggota Budi Utomo tidak memakai kain saat mengadakan pertemuan.

Sebagai anak bangsawan, mereka selalu mengenakan kain dan blangkon dengan mondolan di bagian belakang ketika belajar di STOVIA dan di dalam pertemuan-pertemuan Budi Utomo. Itu merupakan cara berpenampilan yang baik bagi bangsawan muda Jawa yang mau bangkit pada saat itu, sehingga tanggal lahir Budi Utomo dijadikan sebagai Hari Kebangkitan Nasional.

Oohya! Baca juga ya:

Panglima Perang Diponegoro Meracuni Penginjil Belanda di Tondano, Benarkah?

Penampilan lahiriah ini penting selain juga harus menjaga ucapan. Sastrawan dan budayawan Yogyakarta, Iman Budhi Santosa, mengutip Serat Sasanasunu yang ditulis pujangga Surakarta, Yasadipura II, pada 1820:

Dalam Sasanasunu pupuh 3 bait 16, terdapat ajaran mengenai berbusana sebagai berikut: “Rehning anom sawatawis/bareo bareo aja/iku bangsat panganggone/lan den nganggo masa kala/lulungan pasamuwan/jingkengan sawetareku/pepenyon amomondholan.”

Artinya: “Karena masih muda, baiklah rapi tetapi secukupnya saja/jangan boros dalam hal pakaian/karena seperti itu cara berpakaiannya penjahat/berpakaian rapi perlu melihat situasi/seperti sewaktu bepergian atau pesta/ikat kepala diatur semestinya/dengan mondolan dan bentuk penyunya.”

Tetapi, menurut Douwes Dekker, penampilan lahiriah pemuda bangsawan Jawa itu tidak bisa mewakili karaker pemuda yang diperlukan saat itu. Maka, kepada para siswa STOVIA anggota Budi Utomo itu, pada 1912 Douwes Dekker berkata, ”Hilangkan dan buanglah itu semua.”

Roeslan Abdoelgani pernah menanyakan alasan Douwes Dekker menyarankan hal itu. “Och, Roeslan, onze jongens moeten brutal zijn even brutal als de Nederlanders,” jawab Douwes Dekker.

Oohya! Baca juga ya:

Starbucks Jadi Gunjingan Lagi, Kerbau di Solo Juga Minum Kopi

Roeslan Abdoelgani menceritakan hal itu pada pembentukan Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa (LPKB) Cabang Bandung, 15 Juli 1963. Arti jawaban Douwes Dekker: “Oh, Roeslan, pemuda kita harus kurang ajar seperti kurang ajarnya pemuda Belanda.”

Kain dan mondolan blangkon itu pernah menjadi bahan poyokan orang pesisir utara. Mereka masuk Yogyakarta di zaman revolusi kemerdekaan.

Melihat mondolan di blangkon --seperti diceritakan Sukarno dalam suratnya kepada Douwes Dekker— orang pesisir utara itu menceletuk, “Apa itu, zaman perjuangan, granatnya tidak dilempar, tetapi disimpan di belakang kepala.”

Berbeda dengan para pemuda di Batavia, para pemuda Indonesia yang berada di Leiden, Belanda, sudah mengenakan celana pantalon dan jas. Pada tahun 1917 mereka mulai mengenal nama “Indonesia” yang kemudian dibawa pulang ke Batavia, jauh sebelum Soetomo bertemu Wahidin Soedirohoesodo.

Maka, ketika Soetomo dan kawan-kawan mendirikan Budi Utomo, mereka belum mengenal kata "Indonesia". tapi tanggal lahir Budi Utomo kemudian menjadi Hari Kebangkitan Nasional bagi bangsa Indonesia.

Di Batavia, pusat pemerintahan kolonial Hindia Belanda, nama “Indonesia” itu dipakai secara informal untuk mengganti nama resmi yang dipakai Belanda: Nederlandsch Indie (Hindia Belanda). Inilah contoh dari kuasa bahasa dalam pepatah Belanda: Taal is macht. Bahasa adalah kekuatan. Bahasa adalah kuasa.

Priyantono Oemar

Sumber rujukan:
- “Boedi Oetomo, Verslag Tahoen Ke X, 1908-1918” karya Hoofdbestuur 1917-1918, dalam Aku Pemuda Kemarin di Hari Esok (1981)
- Capita – Selecta: Pembinaan Kesatuan Bangsa (28 Oktober 1928 – 28 Oktober 1964) Dalam Rangka Nation Building & Character Building, karya CST Kansil, Wignjosumarsono, Soe Hok Gie, dan Anis Ibrahim (1964)
- Spiritualisme Jawa, karya Iman Budhi Santosa (2021)

Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator

Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.

Redaksi
[email protected]