Lincak

Panglima Perang Diponegoro Meracuni Penginjil Belanda di Tondano, Benarkah?

Masjid Al Falah Kiai Mojo, Kampung Jaton. Panglima Perang Diponegoro dibuang ke Tondano. Beserta para pengikutnya ia menjadi sasaran kristenisasi penginjil Belanda. Benarkah ia meracuni penginjil itu?

Dibuang ke Minahasa pada 1829, panglima Perang Diponegoro ini beserta 63 pengikutnya mendirikan Desa Tegalrejo di Tondano. “Mereka menikahi wanita Kristen Minahasa yang kemudian masuk Islam,” kata Tim G Babcock, antropolog Kanada.

Ketika penginjil Belanda JF Riedel dan Schwarz datang di Tondano pada 1831, mereka termasuk yang menjadi sasaran kristenisasi. Mengapa panglima Perang Diponegoro lalu disebut pernah berusaha meracuni penginjil Riedel itu?

Dari pernikahan campuran itu, mereka berkembang menjadi masyarakat Jawa Tondano. Desa Tegalrejo kemudian lebih dikenal sebagai Kampung Jawa Tondano (Jaton).

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Oohya! Baca juga ya:

Panglima Perang Diponegoro Ini Jadi Sasaran Kristenisasi di Tondano

Pada 1846 jumlah penduduk Kampung Jaton (Desa Tegalrejo) itu sudah mencapai 273 jiwa. Terdiri dari 63 pria, 55 wanita, 67 anak laki, 88 anak perempuan.

Bahasa yang mereka gunakan pun sudah tidak bisa dikenali sebagai bahasa Jawa. Pun tidak bisa dikenali pula sebagai bahasa Tondano, meski maih ada kata-kata Jawa atau kata-kata Tondano yang utuh seperti aslinya.

Bahasa mereka lalu disebut sebagai bahasa Jaton, karena ada banyak kata yang terbentuk karena pengaruh dua bahasa itu. Misal, mereka menyebut sudah selesai dibajak cukup dengan nilukumomi dalam bahasa Jaton.

Luku merupakan kata Jawa untuk bajak. Selebihnya, awal ni, umbuhan mo, dan akhiran mi berasal dari bahasa Tondano. Dalam bahasa Tondano, sudah selesai dibajak adalah pinajekomomi.

Warga Minahasa dengan gerobak sapinya. Panglima Perang Diponegoro dan pengikutnya mengenalkan peralatan pertanian Jawa ke masyarakat Minahasa di Tondano.

Oohya! Baca juga ya:

Ini Batu yang Dulu Jadi Tempat Shalat Imam Bonjol di Manado

Contoh lain: Endonomi sego wia kure. Artinya: Ambil nasi di belanga. Sego dari bahasa Jawa yang artinya nasi.

Orang-orang Jawa pengikuti panglima Perang Diponegoro itu bernar-benar berbaur dengan orang-orang Minahasa. Bahkan merekalah yang mengajari cara bertani seperti yang ada di Jawa: seperti mengolah lahan basah (sawah) untuk ditanamai padi.

Alat-alat pertanian yang dipakai para petani di Jawa pun diperkenalkan kepada masyarakat Minahasa di Tondano. Bajak yang ditarik sapi, yang disebut luku, kemudian dipakai oleh para petani Minahasa.

Demikian pula cangkul, garu, gerobak yang dipatrik sapi untuk mengangkut padi dari sawah, dan sebagainya. Sebelum ada orang-orang Jawa, para petani Tondano di Minahasa mengolah tanah dengan cara menginjak-injak.

Pendekatan sosiologis ini membuat para pengikut panglima Perang Diponegoro itu bisa dekat dengan penduduk Minahasa. Mereka yang rata-rata masih muda itu kemudian menikah dengan perempuan-perempuan Minahasa.

Panglima Perang Diponegoro itu adalah kiai yang berasal dari Desa Mojo di wilayah Pajang. Ia dikenal sebagai Kiai Mojo. Di Tondano pula ia bertemu dengan penginjil Belanda JF Riedel, dan ia disebut berusaha meracuni penginjil itu.

Oohya! Baca juga ya:

Panglima Perang Padri Menikah, Imam Bonjol Beli Tanah untuk Mahar di Manado

Di tempat pembuangannya di Tondano itu, ia tetap menjadi kiai. Ia dikenal sebagai Kiai Guru, Ki Muslim, atau Mbah Guru. 

Ia membuat masjid di Tondano. Hingga kini masijdnya masih ada meski telah mengalami renovasi beberapa kali.

Tapi, masih ada beberapa bahan kayu yang dipertahankan hingga kini. Masjid itu diberi nama Masjid Al Falah Kiai Mojo.

Nederlandsch Zendeling Genootschap (NZG, Serikat Misionaris Belanda) mengirim Riedel dan Schwarz untuk melakukan kristenisasi di Minahasa. Kiai Mojo sering diajak bertemu oleh Riedel.

Panglima Perang Diponegoro dan 63 pengikutnya dibuang ke Tondano, Minahasa. Mereka juga menjadi sasaran Kristenisasi oleh Penginjil Belanda. Mengapa ia meracuni penginjil itu?

Oohya! Baca juga ya:

Pakai Toga di Depan Ka'bah, ke Kampung Pramoedya Ananta Toer Jadi PPPK Guru, Inilah Kisah Mojang Bandung

Penginjil Belanda itu bahkan memberi hadiah Kiai Mojo berupa Bibel. Oleh karena itu muncul pandangan bahwa Kiai Mojo dan para pengikutnya pun menjadi sasaran kristenisasi penginjil Riedel.

Cerita tutur di Kampung Jawa Tondano menyebutkan bahwa Kiai Mojo pernah berusaha meracuni Riedel. Cerita tutur ini dimasukkan dalam isi diktat Jaton, Identitas Keturunan Pengikut Diponegoro dan Kiai Modjo di Sulawesi Utara.

Tebal diktat itu ada 35 halaman. Tetapi tidak mencantumkan penyusun dan tahun penyusunan.

Saya mendapatkannya dari salah satu tokoh masyarakat Jawa Tondano (Jaton). Bagaimana pernyataan di diktat itu mengenai cerita tentang panglima Perang Diponegoro berusaha meracuni penginjil Belanda?

“Tapi akhirnya diketahui bahwa Kiai Mojo berusaha untuk membunuh Riedel dengan jalan meracunnya. Di sini, ternyata, walaupun Kiai Mojo sudah terasing, sikap menentang Belanda belum padam,” tulis diktat itu.

Priyantono Oemar

Sumberrujukan:
- Jaton, Identitas Keturunan Pengikut Diponegoro dan Kiai Modjo di Sulawesi Utara, tanpa tahun.
- Kampung Jawa Tondano, Religion and Cultural Identity, karya Tim G Babcock (1989)
- Ragi Carita 1, karya Dr Th van den End (2005)

Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator

Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.

Redaksi
[email protected]

Berita Terkait

Image

Siapa Pakualam, Pangeran Yogyakarta yang Mendapat Hadiah Tanah di Grobogan dari Raffles?

Image

Di Grobogan Ada Tanah yang oleh Raffles Dihadiahkan kepada Pakualam