Pitan

Garang Asem, Apanya yang Digarang?

Garang asem, masakan tradisional Jawa. Dari mana namanya didapat? Karena menggunakan asam yang digarang?

Oleh Abdullah Muzi Marpaung, Pengampu mata kuliah ‘Antropologi Pangan’ dan ‘Teknologi Pengolahan Makanan Tradisional Indonesia’ di Program Teknologi Pangan Universitas Swiss German, Tangerang

Garang asem merupakan masakan tradisional Jawa dengan jejak sejarah yang tidak terlalu banyak. Pencarian melalui Google Scholar menghasilkan tak lebih dari 250 entri, dengan entri tertua berasal dari tahun 2007.

Pelacakan melalui berbagai pangkalan data digital menghasilkan tak lebih dari 10 buku resep. Sekalipun demikian, terdapat beberapa catatan menarik terkait garang asem.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

“Garang asem” tergolong kata baru di dalam bahasa Indonesia. Ia belum disertakan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) III tahun 2013.

Oohya! Baca juga ya:

Starbucks Jadi Gunjingan Lagi, Kerbau di Solo Juga Minum Kopi

Baru pada KBBI V (2016) “garang asem” dimuat dan dideskripsikan sebagai lauk kukus yang terbuat dari daging ayam, dicampuri belimbing wuluh, daun salam, bawang merah, bawang putih, dan sebagainya, dibungkus dengan daun pisang. Definisi tersebut jelas membatasi bahwa hidangan ini adalah olahan ayam yang dikukus dan berasa masam karena diberi belimbing wuluh.

Definisi yang sejalan dijumpai pula pada beberapa artikel penelitian ilmiah dengan sedikit variasi berupa penambahan santan dan cabai. Akan tetapi, terdapat pula versi lain yang menyebutkan bahwa garang asem merupakan masakan ayam atau daging yang berkuah mirip sup dengan rasa masam dan manis.

Meski berbeda, kedua definisi itu memiliki satu kesamaan: rasa masam, yang tampaknya masuk akal untuk menjelaskan elemen asem pada “garang asem”. Lantas, dari mana kata “garang” berasal?

Ada yang berspekulasi bahwa nama hidangan itu berasal dari dua rasanya yang dominan, yaitu pedas (garang) dan masam (asem). Ini spekulasi yang menggelikan.

Oohya! Baca juga ya:

Bukan ke Mataram Sultan Agung, Orang India Pasok Emas dari Barus ke Jawa kepada Mataram Siapa?

Garang dalam bahasa Jawa tidak ada kaitannya dengan galak atau pedas. Dalam kamus bahasa Jawa – bahasa Indonesia tahun 1993, nggarang diartikan dengan memanggang.

Pada buku berbahasa Belanda tentang sayuran di Hindia Belanda (1931) terdapat penjelasan tentang garang yang diartikan sebagai aanbakken, droogbakken, boven een vuur drogen of roosteren yang semakna dengan memanggang. Bahkan kata menggarang telah diserap menjadi bahasa Indonesia, paling tidak sejak tahun 1954. Pada kamus umum bahasa Indonesia susunan WJS Poerwadarminta di tahun itu menggarang diartikan sebagai memanggang, mengganggang, memanaskan di atas api.

Kalau demikian, bagaimana ceritanya kata “garang” diberikan kepada nama masakan yang dalam proses pembuatannya hanya melibatkan pengukusan atau dalam versi lain perebusan? Jawabannya mungkin dapat dijumpai pada jejak sejarah.

Meski sangat sedikit dokumen sejarah yang dapat dikumpulkan terkait garang asem, ada keterangan yang berguna untuk menjelaskan kemungkinan asal nama garang asem. Pada sebuah buku masakan Jawa bertarikh 1897 diceritakan tentang ulam-garang-asem, suatu masakan mirip pindang –semacam sup khas Indonesia– yang terbuat dari daging sapi yang telah diolah, baru dimasak dengan garam terasi, bawang merah, bawang putih, gula, asam, cabai, dan lengkuas yang dihaluskan.

Tidak disebutkan cara daging sapi diolah sebelum dimasak, sehingga belum dapat dikaitkan dengan kata “garang”. Yang jelas, deskripsi ini tidak sejalan dengan definisi masakan tradisional Jawa itu menurut KBBI.

Pada sekitar tahun 1939 terbit satu buku masakan berisi 475 resep masakan Cina, Indonesia, dan Eropa. Di dalamnya dimuat satu resep garang asem yang kurang lebih mirip dengan resep pada buku masakan Jawa tahun 1897.

Oohya! Baca juga ya:

Panglima Perang Diponegoro Meracuni Penginjil Belanda di Tondano, Benarkah?

Pertama-tama bumbu-bumbu ditumis, lalu ke dalamnya dimasukkan daging yang telah diiris tipis. Tiga cangkir air ditambahkan dan masakan dibiarkan hingga mendidih. Satu biji asam kemudian ditambahkan. Boleh jadi di sini letak kuncinya. Asam yang ditambahkan itu sebelumnya telah dipanggang terlebih dulu.

Penelusuran catatan sejarah yang terbatas ini menunjukkan bahwa kemungkinan besar nama “garang asem” berasal dari salah satu bahan yang digunakan dalam masakan ini, yaitu asam (buah polong berwarna cokelat berasa masam, Tamarindus indica) yang digarang. Kata asem itu tidak ada kaitan dengan rasa dari masakan tersebut, sebab dalam bahasa Jawa rasa asam disebut dengan masem atau kecut.

Satu pertanyaan kritis kemudian dapat diajukan: bagaimanakah kedudukan asam yang digarang itu di dalam garang asem? Haruskah ia ada, atau dapat diganti dengan bahan lain yang juga berasa masam?

Pada beberapa buku tentang masakan Indonesia terbitan 1998, 2012, 2013, dan 2014 terdapat keterangan tentang garang asem versi kuah yang tetap menyertakan asam –meski tak lagi digarang– sebagai salah satu bahan. Di sisi lain, di berbagai daerah berkembang berbagai versi garang asem, seperti garang asem Pekalongan yang mirip rawon dengan rasa masam berasal dari belimbing wuluh. Versi yang paling populer tampaknya adalah garang asem Kudus yang karakteristiknya sama dengan yang dideskripsikan pada KBBI.

Oohya! Baca juga ya:

Panglima Perang Padri Menikah, Imam Bonjol Beli Tanah untuk Mahar di Manado

Mana di antara berbagai varian itu yang paling layak mewarisi nama “garang asem”, tidak perlu diperdebatkan. Asal muasal adalah satu perkara, perkembangan berikutnya adalah perkara yang lain.

Garang asem tak perlu mengandung asem yang digarang, sebagaimana bakpao, bacang, dan bakso yang tak harus mengandung daging babi. Yang justru lebih penting ialah bagaimana Badan Bahasa meninjau kembali arti “garang asem” sehingga mendapatkan definisi yang lebih lentur yang dapat mengakomodasi varian garang asem yang lain.

Berita Terkait

Image

20 Ribu Keluarga Romawi Dikirim ke Jawa Tersisa 20 Keluarga, Kenapa?

Image

Aji Saka Ternyata tak Sendirian Kalahkan Raksasa di Jawa

Image

Romawi Kirim 20 Ribu Keluarga ke Jawa, Begini Nasibnya Sebelum Aji Saka Setop Wabah