Pitan

Mengapa Bung Karno Memulangkan Sang Istri Utari ke Cokroaminoto?

Bung Karno memulangkan istrinya, Utari, kepada Cokroaminoto pada 1923. ia kemudian mengadu kepada sang ibu, Idayu. Apa yang membuat Bung karno memulangkan Utari dan meminta restu menikahi Inggit?

Saat bersekolah di HBS Surabaya, Bung Karno tinggal di rumah Cokroaminoto. Ia pun kemudian dijodohkan dengan Siti Utari, anak Cokroaminoto.

Bung Karno pun meminta waktu karena harus membicarakannya dengan orang tuanya. Ayah dan ibu Bung Karno menyerahkan keputusan kepada Bung Karno, mau tidaknya menjadikan Utari sebagai istri.

Bung Karno dan Siti Utari kemudian melakukan nikah gantung, Ketika Bung Karno melanjutkan sekolah ke Bandung, Utari ikut tetapi mengapa ia kemudian memulangkan Utari ke Cokroaminoto pada 1923?

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Oohya! Baca juga ya:

Bung Karno Berbicara tentang Tata Tertib di Masjid, Kini Menjelang Ramadhan Ramai Soal Pengeras Suara dan Tidur di Masjid

Setelah memulangkan Utari, Bung Karno mengadu ibunya di Blitar. “Ibu, saya tidak beruntung,” kata Bung Karno

“Ya anakku, kau kenapa? Bicaralah yang terang,” kata ibu Bung Karno, Idayu.

Ketika Bung Karno belum berani mengungkapkan isi hatinya, Idayu terus mendesak. “Karno, bicaralah yang terang. Ibu tidak marah. Ada apa?” tanya Idayu.

“Utari sudah pulang kepada orang tuanya,” jawab Bung Karno, akhirnya, setelah bisa mengatasi sesak dadanya.

“O, kenapa ia pulang? Apa kau kurang berharga untuknya?” tanya Idayu lagi.

Oohya! Baca juga ya:

Samin, Oposisi tak Berlumuran Darah di Bulan Suro Kalender Jawa Islam Sultan Agung

“Bukan begitu, Ibu. Hanya saya yang antarkan pulang,” jawab Bung Karno.

“Apa ia bersalah,” selidik Idayu.

“Tidak ibu, jauh dari itu,” jawab Bung Karno.

“Dan kenapa diantarkan pulang,” tanya Idayu.

“Oh, buat keberuntungannya Utari sendiri,” kata Bung Karno.

Idayu pun semakin bingung, sehingga ia meminta Bung Karno menjelaskan secara gamblang. Bung Karno mengangkat kepala, lalu menengok ke kiri dan kanan dan menarik napas panjang.

Oohya! Baca juga ya:

Sultan Agung, Kalender Jawa-Islam, dan Gerebeg Puasa

Bung Karno mengumpulkan kekuatan. Ia pun mencoba mengatur kata-katanya.

“Ibu, tentu Ibu tidak kejam untuk kemudian menyalahkan saya dalam hal ini,” kata Bung Karno kemudian.

Ia pun mengingatkan petistiwa ketika dulu ia pulang dari Surabaya untuk meminta pendapat soal rencana perjodohannya dengan Utari yang ditawarkan oleh Cokroaminoto. Saat itu Bung Karno masih remaja, masih terlalu muda untuk menjalani kehidupan suami istri.

“Ibu, juga Utari tidak bisa disalahkan karena ia juga masih terlalu muda. Memang saya cinta padanya, dulu maupun sampai sekarang. Begitu juga Utari tetap cinta pada saya,” kata Bung Karno.

Tapi, lanjut Bung Karno, yang mereka jalani bukanlah cinta sebagai suami istri. “Hanya cinta sebagai cintanya orang yang bersaudara,” kata Bung Karno.

Oohya! Baca juga ya:

Hari Perempuan Internasional, Kiara: Perempuan Nelayan Korban Perampasan Ruang Laut

Bung Karno mengaku saat itu belum mengerti apa-apa ketika Cokoroaminoto memintanya untuk menjadi suami Utari. “Cuma saya bergirang karena saya dan Utari akan menjadi teman hidup selamanya,” kata Bung Karno.

Setelah mengatakan hal ini, Bung Karno kemudian mengutarakan hal yang sebenarnya yang membuat dirinya memulangkan Utari. Ia dan Cokroaminoto memiliki pebedaan paham politik dalam pergerakan Indonesia.

Semasa tinggal di rumah Cokroaminoto, ia berguru kepada Cokroaminoto mengenai politik. Namun setelah tinggal di Bandung, wawasannya berkembang setelah bertemu dengan tokoh-tokoh politik lainnya, seperti Cipto Mangunkusumo, Douwes Dekker, dan Suwardi Suryaningrat.

Bung Karno pun berselisih pendapat dengan mertuanya, Cokroaminoto. “Keyakinan saya dalam politik pergerakan semakin teguh, dan kemudian mendapat kesimpulan tidaklah oantas kalau dunia percaturan pergerakan politik ini nantinya akan terjadi berhadap-hadapan antara mantu dan mertua. Tidak pantas, Ibu,” kata Bung Karno.

Karena itulah, Bung Karno kemudian memulangkan Utari kepada orang tuanya. Tapi yang terpenting dari perselisihan itu, Bung Karno menganggap Utari tak akan bisa membantunya sepenuh hati dalam pergerakan Indonesia.

“Dan mungkin bisa menjadi rintangan,” kata Bung Karno. Tapi, Bung Karno tak mungkin akan menyalahkan Utari jika Utari memihak kepada orang tuanya, bukan kepada suaminya.

Oohya! Baca juga ya:

Roro Mendut, Beda Nasib Pembantu Sultan Agung dan Bung Karno dalam Mencari Istri

Tapi ia mengaku akan menyedsal jika Utari memilih memihaknya. “Dengan demikian ia akan tercatat sebagai anak yang tidak berbakti kepada orang tuanya,” kata Bung Karno.

Bung Karno mengaku tak akan sanggp memberikan penjelasan kepada anak-anaknya kelak jika hal itu terjadi. “Oleh karena itu, Ibu, saya menjadi bingung dan gelisah dan senantiasa diliputi segala kesangsian,” kata Bung Karno.

Rupanya, Utari juga memiliki pemikiran yang sama dengan Bung Karno. Hal itu Bung Karno ketahui ketika membicarakan masalah itu dengan Utari.

“Ia pun mengetahui bahwa di antara saya dan Utari terdapat perpisahan jurang. Utari sekarang bukan anak-anak lagi, tapi sudah menjadi wanita dewasa yang tentunya sudah bisa menimbang hal ini semuanya,” kata Bung Karno.

Bung Karno pun lantas meminta pengadilan dari ibunya, tindakannya itu berdosa atau tidak? “Lantaran bukan kemauanmu sendiri, artinya tidak sepihak, maka dalam hal ini kau tidak berdosa, anakku,” jawab Idayu.

Oohya! Baca juga ya:

Presiden Ini Dicapreskan Lagi oleh Golkar tapi Pilih Mundur, Sikapnya Menuai Pujian

Kesatria atau tidak? “Satria penuhkan kewajiban,” kata Idayu.

Karena menikah gantung, maka Bung Karno dan Utari belum langsung berkumpul sebagai suami istri setelah dinikahgantungkan. Pun, ketika Utari dibawa ke Bandung.

Kemudian, Bung Karno meminta doa restu menikahi Inggit. Ia menikah dengan Inggit pada 24 Maret 1923

Ma Roejan

Sumber rujukan:
Bung Karno Mentjari dan Menemukan Tuhan, karya HA Notosoetardjo (1964, cetakan ketiga)

Untuk Yang Mulia Para Pencuri Naskah/Plagiator

Selama empat hari, Raffles menjarah Keraton Yogyakarta. Dari berbagai jenis barang yang dijarah itu terdapat naskah-naskah Jawa yang kemudian ia pakai sebagai bahan untuk buku The History of Java. Kendati naskah-naskah itu hasil jarahan, ia tetap menyebutkannya ketika ada bagian-bagian yang ia ambil untuk bukunya, seperti dalam kalimat: “Syair berikut adalah dari Niti Sastra Kawi”, “Cerita ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Crawfurd”.

Redaksi
[email protected]